Oleh : Ahmad Barjie B
Pemerhati Lingkungan
Banjir sudah lama menjadi masalah bagi banyak pulau dan daerah di negeri kita. Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan dan kawasan timur Indonesia telah dilanda banjir, bahkan ada yang disertai tanah longsor. Baru-baru ini paling parah berupa banjir bandang di Provinsi Sumatra Utara, Aceh, dan sekitarnya yang banyak sekali memakan korban harta benda, bahkan jiwa. Akibat lumpuhnya aktivitas perekonomian, perdagangan, perbankan dan transportasi, dan rusaknya harta benda, banjir juga sangat merugikan perekonomian bangsa.
Bila dicermati, tampaknya ada dua penyebab banjir di tanah air. Faktor metafisika berupa mewabahnya kemunkaran dan semakin cueknya para elit terhadap amanah untuk mensejahterakan rakyat tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Elit kita saat ini terlihat lebih mementingkan kedudukan, kekuasaan dan kekayaan saja sambil tetap memelihara korupsi dan bergaya hidup mewah, sementara sense of crisis mereka sangat tipis. Lalu di tengah rakyat awam juga menjalar berbagai penyakit mental dan moral seperti perjudian, perzinaan, pelacuran, pornografi/aksi, narkoba, miras, dan materialistik.
Alm Gus Dur mensinyalir, bisa saja wabah banjir merupakan peringatan Tuhan, karena pemimpinnya banyak yang lupa memikirkan dan memperjuangkan nasib rakyat. Mengejar pangkat dan jabatan senang, tapi tanggung jawabnya kurang. Gus Dur berpesan agar jangan saling menyalahkan, melainkan harus mawas diri dan segera mencari solusi yang tepat.
Di sisi lain faktor-faktor fisika tentunya mendesak untuk terus dikaji secara jujur, benar, objektif, dan ditindaklanjuti secara nyata. Sebenarnya di daerah kita sudah amat banyak “bendungan” alam penahan air yang disediakan Tuhan maupun buatan. Sungai-sungai besar dan kecil, parit, selokan, kawasan hutan dan daerah resapan air lainnya, pada hakikatnya merupakan penyangga air yang luar biasa pentingnya. Bila dijaga dengan baik, maka hujan sederas apapun, dan berapa lamapun, diperkirakan masih bisa disedot olehnya, tanpa melahirkan banjir fatal seperti sekarang.
Tapi kenyataan di lapangan sebaliknya. Jangankan membuat bendungan baru, sekadar memelihara bendungan ciptaan Tuhan dan warisan nenek moyang saja kita tidak sanggup. Hutan ramai-ramai ditebang dan ditambang. Nyaris semua saluran air menjadi tong sampah. Daerah serapan air terus mengecil, terdesak oleh belantara gedung perkantoran, bisnis, perumahan dan lainnya yang tidak lagi efektif menyangga air. Banjarmasin yang dijuluki kota seribu sungai, yang logikanya tidak akan kebanjiran, nyatanya selalu menjadi langganan banjir. Sekadar hujan sekian jam saja, banyak kawasan sudah calap. Di antaranya penyebabnya, urugisasi dibiarkan saja terjadi di depan mata. Sistem bangunan rumah panggung tidak kunjung diberlakukan. Padahal para kepala daerah sejak 1970-an sudah mewajibkan bangunan dengan rumah panggung.
Karena itu dari sekarang, mari kita berpikir ulang. Kondisi tata ruang kota dan daerah harus terus dibenahi, dan rakyat hendaknya mendisiplinkan diri dalam mengelola sampah. Para elit dan pengusaha hendaknya tidak menjadikan kawasan hutan dan tambang sebagai alternatif mencari duit. Hutan-hutan kita yang tidak seberapa itu biarlah sebagai hutan lindung dan serapan air saja. Cobalah dicari sumber duit dan PAD dari aktivitas usaha yang tidak berisiko mengundang banjir, katakanlah agroindustri, perdagangan, pariwisata, maritim dan sejenisnya, yang ramah lingkungan.
Kalau kita masih saja acuh tak acuh terhadap sinyal bahaya banjir, tidak mustahil bahaya yang lebih besar akan datang. Allah pasti akan menimpakan bencana di laut dan di darat akibat ulah tangan manusia itu sediri (al-Rum : 4l). Maksudnya agar manusia menyadari kesalahannya dan kembali ke jalan yang benar, yaitu bertaqwa kepada Allah, berbuat baik kepada sesama manusia, dan tidak merusak alam dan lingkungan hidup. Alam dan segala potensinya pada hakikatnya milik generasi sesudah kita, jadi kita yang hidup sekarang hendaknya memanfaatkan seperlunya saja. Kalau kita habiskan sekarang, mereka nanti kebagian apa. Apalagi barang-barang tambang adalah SDA yang tergolong tidak dapat terbarukan kembali. Pohon yang dapat terbarukan pun butuh waktu ratusan tahun untuk bisa ditebang kembali. Wallahu A’lam.













