BANJARMASIN, Kalimantanpost.com – Dugaan praktik korupsi di Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Bangun Banua yang tengah disidik aparat penegak hukum tidak dapat dipahami sebagai kesalahan individu semata.
Temuan dividen perusahaan yang tidak disetorkan ke kas daerah hingga mencapai Rp41 miliar justru dinilai mencerminkan indikasi korupsi berjamaah yang berkelindan dengan kebijakan dan relasi kekuasaan politik.
Pakar Politik dan Kebijakan Publik Politeknik Indonesia Banjarmasin, Prof Dr Muhammad Uhaib As’ad menegaskan bahwa sorotan publik terhadap figur Direktur Utama PT Bangun Banua merupakan konsekuensi logis dari jabatan strategis yang diemban.
Namun secara akademik, ia menilai tidak mungkin praktik pengelolaan keuangan perusahaan daerah dijalankan tanpa jejaring kekuasaan di belakangnya.
“Kalau ada indikasi korupsi, itu bukan personal. Ini indikasi korupsi berjamaah, korupsi kebijakan, dan korupsi politik. Tidak mungkin seorang direktur utama bergerak sendiri tanpa relasi kuasa,” tegas Uhaib.
Ia menilai, relasi kedekatan antara pengelola perusahaan daerah dengan penguasa pada masanya menjadi konteks penting untuk membaca kasus ini secara utuh.
Menurutnya, jabatan strategis di BUMD tidak hadir dalam ruang hampa, melainkan lahir dari patronase politik yang sarat kepentingan.
“Kalau tidak ada relasi kekuasaan, tidak mungkin seseorang bisa menduduki posisi itu. Ini bukan soal kemampuan personal semata, tapi soal relasi politik dan kepentingan,” ujarnya.
Kasus PT Bangun Banua mencuat setelah lembaga pengawasan negara menemukan adanya dividen perusahaan yang tidak disetorkan ke kas daerah, sehingga berpotensi menimbulkan kerugian keuangan daerah hingga puluhan miliar rupiah.
Temuan tersebut kemudian ditindaklanjuti aparat penegak hukum dengan meningkatkan penanganan perkara ke tahap penyidikan.
Sebagai bagian dari proses hukum, Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan telah melakukan penggeledahan kantor PT Bangun Banua di Banjarmasin serta menyita sejumlah dokumen keuangan penting. Penyidik juga telah memanggil sejumlah mantan pejabat direksi untuk dimintai keterangan, guna menelusuri alur pengelolaan dan pertanggungjawaban dividen perusahaan.
Uhaib menilai, temuan tersebut memperkuat dugaan adanya masalah sistemik dalam tata kelola perusahaan daerah.
Ia menegaskan, jika benar terjadi penyimpangan, maka itu merupakan produk kebijakan yang dijalankan secara kolektif.
“Kalau dividen tidak masuk ke kas daerah, itu bukan keputusan satu orang. Itu pasti melalui proses kebijakan, pembiaran, dan persetujuan struktural,” katanya.
Lebih jauh, Uhaib juga menyoroti konteks politik daerah, khususnya menjelang dan saat berlangsungnya Pilkada. Menurutnya, dinamika pengelolaan BUMD kerap tidak terlepas dari kebutuhan pendanaan dalam kontestasi elektoral.
“Ketika terdapat figur yang memiliki hubungan keluarga dengan kepala daerah dan ikut berkontestasi dalam Pilkada, maka secara akademik itu sudah masuk kategori potensi konflik kepentingan,” ujarnya.
Ia menegaskan, analisis tersebut bukan dimaksudkan sebagai tuduhan personal terhadap individu tertentu, melainkan sebagai pembacaan struktural atas relasi kuasa dan patronase politik dalam pengelolaan sumber daya negara.
“Dalam situasi seperti itu, perusahaan daerah sangat rawan dijadikan instrumen politik, bukan lagi semata entitas ekonomi yang bertujuan menghasilkan pendapatan daerah,” lanjutnya.
Untuk memperkuat argumentasinya, Uhaib merujuk pada pemikiran filsuf politik Hannah Arendt dalam buku Eichmann in Jerusalem. Dalam karya tersebut, Arendt memperkenalkan konsep “the banality of evil”, yakni gagasan bahwa kejahatan kerap dilakukan bukan karena pelakunya memiliki watak jahat, melainkan karena kepatuhan pada sistem dan keinginan menyenangkan atasan dalam struktur kekuasaan.
“Dalam relasi patron klien, seseorang bisa secara sadar menjalankan kebijakan yang menyimpang demi menjaga kenyamanan dan loyalitas politik. Ini sangat relevan untuk membaca praktik korupsi dalam struktur kekuasaan,” jelas Uhaib.
Ia menegaskan, pengungkapan kasus PT Bangun Banua tidak boleh berhenti pada satu figur semata. Menurutnya, penegakan hukum harus mampu membongkar jejaring kebijakan dan aktor kekuasaan yang memungkinkan praktik tersebut terjadi.
“Kalau ingin pembenahan serius, yang dibongkar bukan hanya orangnya, tapi sistem dan relasi kekuasaannya. Kalau tidak, praktik serupa akan terus berulang,” pungkasnya. (sfr/KPO-4)













