BANJARBARU, Kalimantanpost.com– Usulan penetapan Taman Nasional (TN) Meratus terus menuai perdebatan. Pemerintah menilai kebijakan ini sebagai solusi konservasi, sementara masyarakat adat khawatir akan hilangnya akses dan hak atas ruang hidup mereka.
Isu tersebut mengemuka dalam dialog publik bertajuk “Taman Nasional Meratus: Solusi Konservasi atau Konflik Agraria dan Perampasan Hak Masyarakat Adat” yang digelar Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Banjarbaru, Kamis (18/12/2025), di Kopi Kala, Banjarbaru.
Kepala Seksi Pengukuhan dan Penggunaan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan Kalsel, Arifuddin menyebutkan, usulan TN Meratus berasal dari pemerintah pusat dan bertujuan menjaga kelestarian kawasan.
Menurutnya, pelibatan berbagai pihak akan dilakukan setelah proses usulan berjalan lebih lanjut.
Penolakan tegas disampaikan perwakilan masyarakat adat Dayak Pitap, Anang Sahrani. Ia menilai penetapan taman nasional berpotensi membatasi akses masyarakat adat terhadap hutan yang selama ini menjadi sumber penghidupan dan identitas budaya.
“Hutan adalah ibu bagi kami. Jika akses dibatasi, maka sumber hidup dan tradisi kami ikut terancam,” ujarnya.
Dari kalangan akademisi, Netty Herawati dari Pusat Studi HAM Universitas Lambung Mangkurat menegaskan pentingnya keterlibatan penuh masyarakat adat sejak awal proses kebijakan.
“Konservasi tidak boleh mengabaikan hak masyarakat adat. Mereka harus dilibatkan sebagai subjek utama, bukan hanya sebagai pihak yang terdampak,” tegas Netty.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Raden Rafiq, menyebut sekitar 119.779 hektare atau 52,84 persen wilayah hidup masyarakat adat Meratus masuk dalam usulan TN.
Ia mengingatkan bahwa konservasi tanpa keadilan sosial berpotensi mempersempit ruang hidup masyarakat adat.
Diskusi ditutup dengan seruan agar perlindungan Pegunungan Meratus dilakukan secara adil, dengan mengakui dan melindungi hak masyarakat adat sebagai penjaga hutan yang sesungguhnya.(dev/KPO-4)














