Oleh : Dhiya
Pemerhati Lingkungan
Bencana yang melanda pulau Sumatra telah menyita perhatian tidak hanya dalam negeri, namun juga luar negeri. Memang sangat wajar, bencana yang memilukan tersebut begitu besar dampaknya, belum lagi berbagai pro dan kontra yang terjadi antara pemerintah dan rakyat. Yang tidak kalah penting menjadi sorotan publik saat ini adalah penyebab banjir dan longsor di Sumatra. Menurut para ahli, banjir yang melanda tiga kabupaten tersebut disebabkan oleh iklim ekstrem dan perusakan alam yang sangat masif di Pulau Sumatera, khususnya sejak 2016 hingga 2025.
Tidak berselang lama dari bencana pulau Sumatera, melalui Kepala Stasiun Klimtologi, BMKG Kalsel juga turut memberi himbauan kepada masyarakat agar waspada terhadap potensi cuaca ekstrem yang dapat menyebabkan bencana hidrometeorogi, tanah longsor dan angin kencang di Kalsel (staklim-kalsel.bmkg.go.id, 12/12/25).
Direktur Eksekutif Walhi kalsel, Rafiq, dan Manager Advokasi Kampanye Walhi, M. Jefri Raharja, mengingatkan bahwa Kalimantan Selatan harus belajar dari bencana yang terjadi di Pulau Sumatera agar tidak menimpa Kalsel. Terlebih deforestasi di Kalsel juga tergolong masif. Sejak 2001 hingga hari ini, Kalimantan Selatan sudah kehilangan 150.000 hektare tutupan pohon alami akibat pembukaan lahan besar-besaran, baik untuk industri ekstraktif seperti tambang maupun untuk sawit. Warga Kalsel harus ingat bahwa lima tahun lalu banjir terparah dalam sejarah banua pernah terjadi hingga menelan puluhan korban jiwa dan ratusan ribu orang menjadi korban.
Sebagai salah satu efek dari maraknya deforestasi Kalsel adalah longsor yang baru saja terjadi di Banjarsari, Angsana, Tanah Bumbu karena aktivitas tambang ilegal. Saat ini, sekitar 51,57% dari luas Kalsel telah dibebani izin konsesi. Hal tersebut merupakan ancaman bagi jika tata kelola lingkungan di Kalsel tidak pernah optimal dan selalu berpihak pada kepentingan kacamata ekonomi bisnis elite (Baritopost.co.id, 04/12/25). Jangan sampai pemerintah menunggu bencana datang baru merasa terpanggil untuk bertindak sebagaimana yang telah terjadi di Pulau Sumatra.
Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera memiliki permasalahan yang tidak jauh berbeda, yaitu deforestasi. Meskipun topografi kedua pulau ini berbeda pada dasarnya tetap lebih aman dari bencana alam jika manusia pandai menjaga dan mengelolanya. Menurut Jefri, Kalimantan Selatan harus belajar dari Sumatera bahwa apa yang disebut bencana saat ini bukanlah faktor alam semata, tapi juga kegagalan sistem menjaga alam.
Fakta yang kini terjadi memang bukan murni faktor alam. Sebab pada dasarnya alam bekerja dengan seimbang jika manusia tidak seenaknya melakukaan kerusakan. Namun sistem Kapitalisme akan terus memberi ruang kepada siapa pun mengeruk sumber daya alam, menebangi pohon, melakukan industrialisasi besar-besaran tanpa pertimbangan matang terhadap dampak ekologis, yang terpenting adalah seberapa banyak keuntungan yang masuk kantong. Efeknya bisa disaksikan bumi Kalsel yang dibanggakan dengan Geopark Meratus tersebut justru hutannya dihiasi oleh ratusan lubang tambang, lahan gersang, resapan air hilang, bentangan pohon kelapa sawit menenggelamkan hutan tropis, global warming semakin terasa hingga merusak atmosfir dan keseimbangan alam.
Lapisan masyarakat, khususnya pemerintah Kalsel harus menyadari bahwa kekayaan alam Kalimantan adalah karunia besar dari Allah yang harus dijaga dan dikelola dengan benar. Allah sudah penah menegur kita pada tahun 2021 untuk kembali merenungi fiman-Nya, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh ulah manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar”. (QS. Ar-Rum: 41).
Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur manusia bagaimana mengelola bumi ini dengan amanat mereka sebagai seorang khalifah. Dari Ibnu Al Mutawakkil bin Abdi AlMadan berkata, dari Abyadh bin Hamal, bahwa dia pernah datang menemui Rasulullah SAW dan meminta diberi tambang garam. Lalu Rasulullah menyerahkan tambang tersebut kepada Abyadh. Katika Abyadh pergi, salah seorang laki-laki dari majelis berkata, “Apakah Engkau tahu apa yang Engkau berikan kepada dia? Tidak lain Engkau memberi dia air yang terus mengalir”. Ibnu Al-Mutawakkil berkata, lalu beliau menarik kembali tambang itu dari dia (Abyadh bin Hamal). (HR. Abu Dawud, At-Tirmizi, An-Nasai, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi dan Ath-Thabrani).
Hadis tersebut menunjukkan sikap Rasulullah yang tidak membiarkan tambang yang mengalir dimiliki oleh individu atau, melainkan harus dikelola oleh pemerintah. Rasulullah juga pernah bersabda, “Setiap muslim yang menanam pohon atau tanaman, lalu dimakan oleh manusia, burung, ata hewan, maka hal itu menjadi sedekah baginya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Maka penting bagi penguasa untuk melakukan pengelolaan alam yang benar sesuai dengan syariat Islam, melakukan reboisasi, dan mitigasi sebaik mungkin untuk mencegah bencana. Selama Kapitalisme masih dijadikan sebagai sistem pengatur hidup, maka menjadi keniscayaan terjadi kerusakan karena kapitalisme akan terus melayani kerakusan manusia. Apa yang terjadi pada saudara kita di Sumatera sudah cukup menjadi pelajaran bagi kita akibat berpalingnya kita dari Islam.












