Oleh : Odjie Samroji
Analis Kebijakan Publik & Budaya Lokal Banjar
Menjadi urang Banua itu sering terasa sederhana: kita tumbuh dengan bahasa yang akrab, dengan sungai dan pasar yang membentuk irama harian, dengan rasa “bubuhan” yang membuat orang lain cepat jadi saudara. Tapi menjelang Haul Sekumpul ke-21, kesederhanaan itu seperti naik kelas seakan-akan Banua sedang mengingat kembali jati dirinya, lalu memakainya sebagai baju terbaik: rapi dalam adab, lapang dalam melayani, dan hangat dalam gotong royong.
Bagi banyak orang Banjar, haul bukan sekadar “acara besar” yang menghadirkan lautan manusia. Ia momen untuk berhenti sejenak dari riuh urusan dunia, lalu kembali ke inti: zikir, selawat, tahlil, doa, dan memperkuat silaturahmi—cara kolektif untuk mengenang dan meneladani Abah Guru Sekumpul. Di titik ini, saya merasa ada pelajaran khas Banjar yang bekerja diam-diam: kita tidak hanya datang sebagai individu yang ingin “mengambil bagian”, tetapi datang sebagai komunitas yang ingin menjaga adab dan keteraturan, karena yang kita hormati adalah guru. Dalam keyakinan yang hidup di masyarakat kita, menghormati guru adalah jalan batin untuk meraup keberkahan—bukan semata karena keramaian, melainkan karena adab.
Yang paling menyentuh justru bukan ramainya, melainkan cara ramainya itu diurus. Orang-orang yang biasanya tidak saling kenal mendadak padu: ada yang mengatur arus, ada yang menyiapkan minum, ada yang menyediakan tempat singgah, ada yang jaga kebersihan, ada yang bantu kesehatan, ada yang menuntun orang tua agar aman. Ini bukan gerakan yang lahir dari perintah satu arah; ini semacam kesadaran kolektif yang tumbuh dari budaya: “kada kawa sorangan”—kita tidak bisa sendiri. Di haul, kita melihat gotong royong bukan sebagai slogan, tetapi sebagai kebiasaan yang otomatis hidup ketika ada hajat besar.
Gotong Royong sebagai Wujud Adab
Dalam kearifan lokal Banjar, rasa kebersamaan itu punya banyak rupa: “bubuhan” yang membuat urusan terasa lebih ringan karena dipikirkan bersama, “bedingsanakan” yang membuat orang luar pun terasa seperti keluarga, dan kebiasaan saling menolong yang tidak menunggu diminta. Di momen haul, nilai-nilai itu seperti naik ke permukaan. Banua seakan berkata: silakan datang, kami jadi tuan rumah bersama. Rumah yang pintunya terbuka bukan karena kaya, tapi karena hati yang lapang.
Saya juga teringat tradisi kerja bersama yang sudah lama melekat dalam masyarakat kita—apa pun istilah yang dipakai di kampung masing-masing, intinya sama: memikul beban secara kolektif. Kerja bersama mengajarkan bahwa tenaga, waktu, bahkan biaya, bisa terasa ringan ketika dipikul ramai-ramai. Dalam konteks haul, kerja bersama menjelma menjadi banyak hal: mengatur parkir, membuka jalur, menyiapkan konsumsi, memberi tumpangan, sampai memastikan orang tidak tersesat. Dan anehnya, semakin banyak yang dikerjakan, wajah-wajah itu sering justru semakin ikhlas—seakan-akan melayani jemaah adalah bentuk ibadah yang tidak perlu panggung.
Di situlah saya merasa haul menguji sekaligus merawat identitas urang Banua. Bukan hanya identitas “asal mana”, tetapi identitas nilai: apakah kita masih punya rasa handak tulung tanpa hitung-hitungan, masih punya adab dalam memuliakan orang alim, masih punya kesanggupan menata diri di tengah kerumunan. Karena penghormatan kepada Guru Sekumpul bukan hanya soal hadir; ia juga soal meniru akhlak: merendah, menyayangi, tidak menyulitkan orang lain, tidak merebut hak orang, tidak memotong jalan orang. Haul mengajarkan itu lewat hal-hal kecil yang sering diremehkan: mau antre, tidak buang sampah sembarangan, tidak memaksakan diri, dan rela berjalan jauh tanpa mengeluh. Hal-hal kecil yang justru menentukan apakah kita pulang membawa ketenangan, atau pulang membawa lelah yang sia-sia.
Ada sisi lain yang juga penting untuk kita renungkan: haul bukan hanya puncak kegiatan spiritual, tetapi juga cermin tata kelola sosial kita. Dari tahun ke tahun, kita melihat relawan bergerak semakin rapi, pembagian tugas makin jelas, dan semangat melayani makin luas. Ini bukan semata urusan teknis; ini pengetahuan sosial. Banua punya kapasitas untuk mengorganisasi keramaian dengan modal utama kepercayaan dan kerja sukarela. Di zaman ketika banyak orang skeptis pada kerja kolektif, haul menjadi bukti bahwa gotong royong belum mati ia hanya butuh makna untuk menyala.
Namun refleksi juga perlu jujur. Setiap keramaian besar selalu membawa risiko: macet, kelelahan, sakit, tersesat, bahkan potensi gesekan kecil. Karena itu, menyambut haul juga berarti menyambut tanggung jawab: menjaga diri agar tidak membebani orang lain. Mungkin inilah bentuk kearifan lokal yang paling relevan hari ini: semangat melayani harus berjalan beriringan dengan disiplin dan kesadaran bersama. Ikhlas itu penting, tetapi ikhlas tanpa tertib bisa berubah menjadi masalah. Dan tertib tanpa kasih bisa terasa dingin. Haul mengajari kita menyeimbangkan keduanya: kasih dalam pelayanan, dan tertib dalam pergerakan.
Pada akhirnya, saya melihat Haul Sekumpul ke-21 sebagai ruang belajar besar bagi urang Banua: belajar tentang menjadi masyarakat yang menyatu oleh iman sekaligus budaya; belajar bahwa menghormati guru bukan hanya ritus, tetapi laku hidup; belajar bahwa keberkahan tidak selalu terasa seperti “dapat sesuatu”, tetapi sering hadir sebagai kemampuan untuk memberi, menahan ego, dan pulang dengan hati yang lebih lembut. Kita datang membawa niat, dan pulang membawa cermin. Kalau di perjalanan pulang kita masih menjaga adab di jalan, masih mengucap terima kasih pada yang melayani, masih menahan diri untuk tidak menyalahkan keadaan, mungkin itulah tanda kecil bahwa haul benar-benar bekerja di batin kita.
Dan ketika Banua kembali sepi setelah lautan manusia surut, saya berharap yang tertinggal bukan hanya cerita “ramainya Sekumpul”, tetapi kebiasaan baik yang ikut terbawa pulang: saling menolong, saling menyapa, saling menjaga agar Banua tetap jadi rumah yang teduh. Rumah yang menyambut tamu dengan kasih, dan menyambut guru dengan hormat. Selamat Menyambut Haul Sekumpul.













