Oleh : AHMAD BARJIE B
Banjir sudah terjadi sejak zaman lampau. Namun faktor penyebab dan cara melihatnya berbeda antara zaman dulu dengan sekarang.
Di zaman lampau, fenomena banjir cenderung dilihat dari sudut metafisika. Bangsa Mesir kuno misalnya, bila melihat sungai Nil banjir, mereka yakin hal itu disebabkan oleh luapan airmata Dewi Isis yang sedang menangisi suaminya Dewa Osiris yang dibunuh oleh Dewa Tefnit.
Bangsa Persia kuno beranggapan, banjir tidak lain karena ulah Ahriman (tuhan kejahatan) penguasa kegelapan yang selalu berbuat usil merugikan dan membahayakan manusia. Untuk itu mereka memohon kepada Ahura Mazda (tuhan kebaikan) penguasa cahaya untuk menghantam Ahriman. Tetapi Ahriman tidak akan mati kecuali pada hari kiamat nanti. Karenanya Ahura Mazda harus selalu dipuja melalui simbol api supaya ulah Ahriman bisa dikalahkan. Itu sebabnya penganut Majusi (Mazdaisme) yang diajarkan oleh Zoroaster menyembah api, walaupun mereka tahu bahwa air (banjir) dapat mengalahkan api.
Alquran ternyata juga ada bercerita tentang fenomena banjir, baik sebagai azab dari Allah maupun sebagai fenomena alam karena kerusakan lingkungan dan ekosistem. Tulisan ringan ini membahas sepintas kilas. Ada banjir di zaman Nabi Nuh, di negeri Saba dan lain-lain.
Banjir di negeri Saba (Yaman) terjadi pascazaman Nabi Sulaiman yang menjadi Nabi dan memerintah Bani Israil. Kaum Saba adalah penyembah tuhan matahari, dan mereka termasuk salah satu rumpun bangsa Arab. Kerajaan besar yang mereka dirikan bernama Sabaiyyah, dengan ibukotanya al-Ma’rib. Teknologi yang mereka kuasai cukup canggih, dari pertanian hingga mampu membangun bendungan raksasa, bernama bendungan Ma’rib. Dari sini mereka berhasil hidup sejahtera dan makmur melebihi bangsa-bangsa di sekitarnya. Beragam produk pertanian dan buah-buahan tumbuh sangat subur dan enak rasanya. Selain dikonsumsi dalam negeri juga mampu diekspor.
Di saat Nabi Sulaiman berkuasa di tanah Yudea (Israil kuno), beliau sempat mendakwahi Ratu Balqis yang memerintah Saba dan ratu ini pun masuk Islam hingga wafatnya. Namun sepeninggalnya, bangsa Saba ingkar kembali dan tidak mau menyembah Allah. Suku bangsa Himyar ini selain syirik kepada Allah juga suka cekcok antar sesamanya karena berebut kekuasaan dan kekayaan. Mereka lalai merawat, mengawasi dan memelihara bendungan raksasa ini. Akhirnya bendungan ini semakin rapuh dan tidak kuasa lagi menahan air, sehingga terjadilah banjir besar.
Banjir besar ini dalam Alquran diistilahkan dengan sailul ‘arim, yaitu banjir karena runtuhnya bendungan Ma’rib. Banjir ini berakibat punahnya populasi, baik manusia, hewan ternak maupun tanaman yang sebelumnya sangat produktif, dan menjadi komoditas andalan negeri Saba. Sebagian penduduk sempat bermigrasi ke negeri-negeri sekitar, tapi umumnya mereka yang kafir binasa oleh banjir. Pasca banjir, tanah Saba menjadi tandus, dan hanya ditumbuhi pohon Atsl dan Sidr (sejenis cemara dan pidara) yang berbuah pahit. Perihal banjir di negeri Saba ini diceritakan di dalam Alquran surat Saba ayat l5-l7 beserta tafsirnya.
Bila diamati, banjir besar ini dipicu oleh dua faktor. Pertama, sebagai hukuman Allah karena kekafiran penduduknya, padahal sudah diberi nikmat yang luar biasa. Kedua, para elit beserta rakyatnya lalai dalam memelihara bendungan, mereka lebih disibukkan berebut kekuasaan dan kekayaan, sehingga bendungan yang amat vital itu akhirnya ambrol.
Banjir yang terjadi sekarang lebih karena kerusakan alam, penguasa tidak menegakkan hukum, dan pengusaha demi keuntungan merusak dan mengeksploitasi alam dengan tidak mengindahkan hukum. Mereka tidak lagi mempertimbangkan akibatnya dan melupakan bahwa alam juga warisan generasi yang akan datang yang harus terjaga dan lestari. Kalau alam terus terus dirusak, maka selain bencananya dirasa sekarang, generasi yang akan datang tinggal mewarisi kerusakan dan bahayanya yang sangat mengerikan.












