BANJARMASIN, Kalimantanpost.com — Kiamat ekologis dinilai tengah mengintai Kalimantan Selatan seiring banjir yang terus berulang dan meluas di berbagai wilayah.
Fenomena tersebut bukan semata dipicu faktor alam, melainkan disebut sebagai dampak langsung dari kebijakan eksploitasi sumber daya alam, khususnya pertambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit, yang dijalankan tanpa etika lingkungan dan keberpihakan pada keselamatan rakyat.
Penilaian itu disampaikan akademi Politeknik Indonesia Banjarmasin, Dr Muhammad Uhaib As’ad, yang juga menjabat Direktur Kajian Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik serta President International Institute of Influencers Indonesia.
Menurut Uhaib, jika ditelisik dari perspektif kebijakan publik, pengelolaan sumber daya alam di Kalsel selama ini lebih didorong oleh logika ekonomi semata. Negara dan pemerintah daerah dinilai menjadikan tambang dan perkebunan skala besar sebagai objek pendapatan, tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan dan risiko ekologis jangka panjang.
Ia menilai, argumentasi yang kerap menyebut curah hujan tinggi sebagai penyebab utama banjir tidak dapat dijadikan satu-satunya alasan. Pasalnya, kerusakan hutan, daerah tangkapan air, dan bentang alam akibat eksploitasi yang masif telah memperparah dampak hujan, sehingga banjir terjadi dengan skala dan frekuensi yang semakin tidak wajar.
“Banjir hari ini bukan peristiwa alam biasa, melainkan akumulasi dari kebijakan eksploitasi yang dilegalkan. Ketika tambang batu bara dan sawit dijadikan tulang punggung pendapatan tanpa etika lingkungan, maka yang muncul adalah kutukan ekologis bagi daerah yang dikeruk,” ujarnya.
Uhaib menyebut, kondisi banjir yang melanda wilayah seperti Balangan, Kandangan, dan kawasan Hulu Sungai lainnya telah melampaui ambang batas kewajaran.
Ia menilai situasi tersebut sebagai tanda kerusakan struktural lingkungan yang tidak bisa lagi ditangani dengan pendekatan darurat semata.
Lebih jauh, ia mengkritik keras peran negara yang dinilainya justru ikut terlibat dalam persoalan. Dalam konteks ini, negara disebut telah menjadi bagian dari kebijakan predatoris, dengan melindungi kepentingan kelompok pengusaha tambang dan sawit atas nama pendapatan negara dan daerah.
“Yang terlihat adalah kolaborasi antara aktor politik dan aktor bisnis. Keselamatan rakyat tidak menjadi pertimbangan utama, yang ada hanya ketamakan dan keserakahan. Ini adalah kebijakan yang tidak manusiawi,” tegasnya.
Ironisnya, lanjut Uhaib, masyarakat justru menjadi pihak yang paling merasakan dampak dari kebijakan tersebut. Rakyat yang terdampak banjir tidak pernah benar-benar menikmati manfaat eksploitasi sumber daya alam, namun harus menanggung kerugian sosial, ekonomi, dan psikologis setiap kali bencana datang.
Dalam situasi krisis ini, ia juga menyoroti absennya suara wakil rakyat dan partai politik. Menurutnya, ketika masyarakat membutuhkan kehadiran negara, yang justru tampil di garis depan adalah relawan dan solidaritas warga.
“Negara tidak hadir, suara politik menghilang. Padahal hari ini masyarakat membutuhkan keberpihakan dan perlindungan nyata,” katanya.
Uhaib menegaskan, sudah saatnya pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pengelolaan sumber daya alam, termasuk peninjauan izin pertambangan dan perkebunan yang berdampak pada lingkungan.
Tanpa perubahan arah kebijakan, ia memperingatkan Kalimantan Selatan akan terus bergerak menuju krisis ekologis yang lebih dalam.
“Jika kebijakan predatoris ini terus dibiarkan, maka banjir bukan lagi bencana musiman, melainkan warisan kerusakan yang ditinggalkan untuk generasi berikutnya,” pungkasnya. (sfr/KPO-4)














