Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Rehabilitasi Hutan dan Penanganan Karhutla Bukan Sekedar Teknis Tapi Juga Sistemik

×

Rehabilitasi Hutan dan Penanganan Karhutla Bukan Sekedar Teknis Tapi Juga Sistemik

Sebarkan artikel ini

Oleh : Bunda Khalis
Pemerhati Sosial dan Kemasyarakatan

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan Selatan bukanlah peristiwa biasa yang datang lalu pergi seiring musim kemarau. Ia adalah bencana berulang yang meninggalkan luka mendalam, bukan hanya pada lingkungan, tetapi juga pada kesehatan publik, ekonomi lokal, dan keberlanjutan ekosistem yang menopang kehidupan masyarakat. Asap pekat mengganggu pernapasan, aktivitas ekonomi lumpuh, sekolah diliburkan, dan kualitas hidup rakyat merosot. Karhutla telah menjelma menjadi ancaman serius bagi masa depan daerah ini.

Kalimantan Post

Data deforestasi dan hilangnya tutupan hutan di wilayah Kalimantan, termasuk Kalimantan Selatan, menunjukkan tren penurunan yang nyata dalam beberapa tahun terakhir. Hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyangga ekosistem, penyimpan air, dan pengendali iklim lokal, terus menyusut. Hilangnya tutupan hutan ini memperbesar risiko karhutla karena lanskap kehilangan kemampuan alaminya untuk menahan api dan menjaga kelembapan tanah. Dalam kondisi seperti ini, sedikit percikan saja dapat berubah menjadi kebakaran besar yang sulit dikendalikan.

Sering kali karhutla dipersepsikan sebagai kegagalan teknis, yaitu kurangnya alat pemadam, lemahnya patroli, atau keterlambatan respons. Sebagian pihak juga menuding pembukaan lahan oleh individu secara salah sebagai penyebab utama. Namun, jika jujur melihat kenyataan, semua itu hanyalah gejala di permukaan. Karhutla di Kalimantan Selatan bukan semata-mata soal teknis pengawasan atau perilaku individu, melainkan cerminan dari masalah yang jauh lebih mendasar dalam tata kelola lahan dan sumber daya alam.

Akar persoalan karhutla terletak pada politik tata kelola lahan yang berbasis kapitalisme. Dalam sistem ini, orientasi utama pengelolaan hutan adalah keuntungan ekonomi, bukan kelestarian. Hutan dipandang sebagai aset yang harus dieksploitasi semaksimal mungkin untuk menghasilkan profit. Akibatnya, aspek keberlanjutan dan keseimbangan ekosistem sering kali dikorbankan demi kepentingan jangka pendek.

Baca Juga :  PERUSAK LINGKUNGAN

Dalam paradigma kapitalisme, korporasi besar menjadi aktor dominan dalam penguasaan dan pengelolaan lahan. Mereka memiliki modal, akses politik, dan pengaruh kebijakan, sehingga mampu menguasai kawasan hutan dalam skala luas. Sementara itu, negara lebih sering berperan sebagai regulator yang lemah dengan memberi izin, menyusun aturan, tetapi tidak memiliki keberanian atau kekuatan untuk menegakkan hukum secara tegas ketika terjadi pelanggaran. Penegakan hukum kerap tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Lebih jauh, kerusakan ekologis ini terjadi karena paradigma kepemilikan yang tidak berlandaskan amanah. Hutan diperlakukan seolah-olah milik bebas yang boleh dieksploitasi tanpa tanggung jawab moral dan spiritual. Padahal, dalam pandangan Islam, alam adalah titipan Allah yang harus dijaga, bukan dirusak. Ketika amanah ini diabaikan, kerusakan menjadi keniscayaan, dan karhutla hanyalah salah satu bentuk manifestasinya.

Islam menawarkan solusi yang tidak parsial, tetapi sistemik dan mendasar. Dalam Islam, negara yang menerapkan hukum Allah diharamkan membiarkan eksploitasi yang merusak. Hutan diposisikan sebagai milik umum, bukan komoditas privat yang bebas diperdagangkan. Negara berkewajiban mengelola dan menjaganya demi kemaslahatan seluruh rakyat, sekaligus memastikan keberlanjutan ekosistem bagi generasi mendatang.

Negara Khilafah yang pernah tegak dalam sejarah Islam memberikan contoh nyata bagaimana pengelolaan alam dilakukan dengan paradigma amanah. Khilafah tidak menempatkan hutan sebagai objek komersial, melainkan sebagai bagian dari kekayaan publik yang harus dijaga. Negara tidak berfungsi sebagai regulator bagi investor, tetapi sebagai pengurus urusan rakyat. Paradigma kebijakannya bukan profit, melainkan maslahat bukan tambal-sulam, melainkan penjagaan permanen terhadap keseimbangan alam.

Dalam sistem Khilafah, privatisasi sumber daya alam strategis dicegah, hukum ditegakkan tanpa tebang pilih, dan setiap bentuk perusakan lingkungan dikenai sanksi tegas. Negara memastikan bahwa eksploitasi yang merusak tidak terjadi, sekaligus melakukan pengelolaan yang selaras dengan fungsi ekologis hutan. Dengan cara ini, generasi mendatang tidak diwarisi bumi yang hangus, tetapi bumi yang hidup dan produktif.

Baca Juga :  Menakar Spiritualitas Ekologi

Sejarah mencatat, pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat, prinsip penjagaan alam telah diterapkan. Rasulullah menetapkan kawasan hima, yaitu wilayah lindung yang tidak boleh dieksploitasi sembarangan demi menjaga keseimbangan alam dan kepentingan umum. Khalifah Umar bin Khattab melanjutkan kebijakan ini dengan tegas, memastikan bahwa sumber daya alam tidak dikuasai segelintir orang dan tidak dimanfaatkan secara merusak. Semua itu dilakukan karena kesadaran bahwa alam adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban.

Karena itu, sudah saatnya kita jujur melihat kenyataan. Kerusakan ekologis, termasuk karhutla di Kalimantan Selatan, adalah produk langsung dari sistem yang salah. Daerah ini membutuhkan lebih dari sekadar rehabilitasi teknis dan pemadaman darurat. Ia membutuhkan perubahan paradigma dalam memandang hutan, alam, dan peran negara. Paradigma ini hanya akan tegak ketika pengelolaan bumi ditempatkan kembali sebagai amanah Ilahi, diatur dengan hukum Allah, dan dijalankan oleh negara yang benar-benar mengurus rakyat.

Iklan
Iklan