Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
HEADLINEOpini

Bencana Alam, Amdal dan Tata Kelola Kapitalistik

×

Bencana Alam, Amdal dan Tata Kelola Kapitalistik

Sebarkan artikel ini

Oleh : Nor Aniyah, S.Pd
Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi

Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) melalui Badan Penanggulangan Bencana, Kesatuan Bangsa dan Politik (PB dan Kesbangpol) HSS menetapkan status siaga banjir, tanah longsor dan puting beliung di wilayah HSS. Penetapan status ini berdasarkan Keputusan Bupati HSS, Nomor 188.45/381/KUM/2019 dan berlaku sejak 1 Desember 2019 hingga 31 januari 2020. Dijelaskan, wilayah rawan longsor berada di Kecamatan Loksado, Padang Batung dan Telaga Langsat. Rawan banjir wilayah Kecamatan loksado, Padang Batung, Angkinang dan Kecamatan Sungai Raya (kalsel.antaranews.com, 02/01/2020).

Baca Koran

Tingginya curah hujan, membuat jalur transportasi darat, Loksado, Hulu Sungai Selatan-Batulicin, Tanah Bumbu, sempat terputus. Kondisi itu terjadi pada 30 Desember 2019, ketika jalan terputus akibat tebing di kilometer 78 Desa Emil Baru Kecamatan Mentewe, Kabupaten Tanah Bumbu, longsor. Kondisi jalan, rata-rata sudah beraspal. Namun musim hujan jalan di kawasan pegunungan tersebut memang rawan longsor. (banjarmasinpost.co.id, 02/01/2020).

Sebelumnya, hasil verifikasi lapangan Pemkab HSS di aliran sungai yang terletak di lereng Pegunungan Meratus diduga tercemar limbah tambang pasir-batu (Sirtu) dan batu bara. Adapun nama-nama perusahaan yang terlibat pencemaran sungai yang kerap dijadikan arena arung jeram dan bamboo rafting itu adalah PT AGM dan KUD KM. Selain itu, Pemkab setempat mendapati sejumlah tambang batu bara tanpa izin alias ilegal ikut berperan serta (apahabar.com, 26/06/2019).

Saat ini jumlah perusahaan tambang batu bara di Kalsel yang aktif sebanyak 236 perusahaan, tersebar di Kabupaten Tanah Bumbu, Banjar, Tapin, Hulu Sungai Selatan, Balangan, Tabalong Kotabaru dan Tanah Laut. PT Antang Gunung Meratus merupakan salah satu perusahaan tersebut berniat meningkatan kapasitas pertambangan batu bara di beberapa daerah di banua. Wilayah konsesi PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara) PT Antang Gunung Meratus tak hanya meliputi HST, melainkan tiga daerah lainnya, yaitu Kabupaten Tapin, Kabupaten Banjar dan Kabupaten HSS. Tak seperti HST yang tegas menolak, HSS masih memperbolehkan asalkan perusahaan melakukan sesuai aturan. Rencana peningkatan produksi batu bara akan dilakukan dari 10 juta menjadi 25 juta ton per tahun (kalsel.prokal.co, 27/2/2019).

Baca Juga :  Buyung Ismu di Kartu Merah, Barito Putera Ditaklukkan Persija 2-3

Analisis dampak lingkungan (Environmental impact assessment) atau analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan di Indonesia. Dasar hukum Amdal adalah Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan Hidup, yang merupakan pengganti PP 27 Tahun 1999 tentang Amdal. Amdal sangat diperlukan karena harus ada studi kelayakan di dalam undang-undang atau peraturan pemerintah, menjaga lingkungan dari sebuah operasi proyek kegiatan industri atau kegiatan yang dapat menyebabkan kerusakan di suatu lingkungan.

Akan tetapi, Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyampaikan, wacana penghapusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) melalui Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dapat mempercepat investasi di dalam negeri. Ia mengemukakan, dengan telah dikeluarkannya Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pengecualian Kewajiban Menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Untuk Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang Berlokasi Di Daerah Kabupaten/Kota yang Telah Memiliki Rencana Detail Tata Ruang, maka peluang penyederhanaan perizinan melalui penghapusan Amdal terbuka lebar. Ia mengatakan, wacana penghapusan IMB dan Amdal merupakan bagian-bagian yang diupayakan pemerintah untuk mereformasi aturan sehingga investasi lebih mudah (akurat.co, 10/11/2019).

Hal ini tentu menjadi polemik baru, walaupun Amdal dan segala jenis persyaratan untuk memperoleh izin yang sudah diterapkan secara ketat pun tidak menutup peluang kegiatan investasi merusak lingkungan dan merugikan masyarakat. Apalagi pembangunan suatu proyek tanpa menggunakan Amdal tentu jauh lebih merugikan masyarakat.

Kini negara masih lalai untuk menjamin keselamatan rakyat dan lingkungan dan terindikasi terjebak dalam balutan kekuatan korporasi dan pengusaha tambang. Sementara, kerusakan dan dampak buruk akibat daya rusak tambang yang ada tidak sebanding dengan royalti maupun PAD yang diterima daerah. Akibat pertambangan batubara memicu bencana banjir dan longsor saat musim hujan, kekeringan saat musim kemarau serta rusaknya sumber daya air mengakibatkan kesengsaraan masyarakat.

Sistem kapitalisme telah memberi ruang bagi penguasa dan pemilik modal (pengusaha) meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Tata kelola dan pembangunan diserahkan pada kemauan kaum kapitalis, berorientasi memenangkan bisnis dan tidak memperhatikan lingkungan, sementara masih terjadi kemiskinan massal yang mempengaruhi pola kehidupan seperti perumahan di bantar kali, tidak bisa menjaga kebersihan lingkungan dan sebagainya.

Baca Juga :  Pajak dan Sistem Kapitalisme Gagal Mensejahterakan Rakyat

Bencana alam pun berulang setiap tahun, jelas bukan karena faktor alam semata. Juga tidak hanya problem teknis (tidak berfungsi drainase, resapan air, kurang kanal dan sebagainya) tapi masalah sistemik yang lahir dari berlakunya sistem kapitalistik. Jadi, persoalan mendasarnya yaitu kesalahan paradigmatis pemerintahan hari ini terhadap pengaturan urusan masyarakat, pengelolaan SDA dan pemanfaatannya. Ini karena pandangan sekuler, syari’ah Islam tidak diterapkan dalam pengaturan berbagai urusan.

Menurut aturan Islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi asing. Rasulullah Saw bersabda: “Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api.” (HR Ibnu Majah).

Penyelesaian masalah ini tidak cukup hanya perbaikan teknis tapi harus menyentuh perubahan ideologis. Dengan menyadari sistem kapitalistik mufsiduna fil ardh sedangkan pemberlakuan Islam mewujudkan khilafah fil ardh. Sistem ekonomi Islam meniscayakan negara mengelola seluruh kekayaan yang dimiliki untuk kemaslahatan rakyat.

Dalam mencegah pencemaran dan perusakan lingkungan akibat pertambangan, harus didasarkan rencana pertambangan sistematis, mempertimbangkan aspek lingkungan dari eksplorasi sampai reklamasi. Termasuk, urusan bencana menjadi urusan serius yang akan ditangani khalifah sebagai kepala negara. Penangangan pra-bencana meliputi pembangunan sarana-sarana fisik untuk mencegah bencana, reboisasi, pemeliharaan daerah aliran sungai, relokasi, tata kota berbasis Amdal, memelihara kebersihan lingkungan, dan lain-lain.

Penerapan seluruh syariah Islam tentu membutuhkan peran negara. Pasalnya, banyak ketentuan syariah Islam berurusan langsung dengan hajat hidup orang banyak, seperti pengelolaan sumberdaya alam. Tanpa peran negara yang menerapkan syariah Islam, rakyatlah yang dirugikan. Maka, momentum bencana alam harus menjadi pengingat kita agar dilakukan taubat nasional, mengubah pola hidup dan membuang pandangan hidup kapitalisme serta mengadopsi Islam.

Iklan
Iklan