Oleh : Afrizal Qosim
Pegiat di Lingkar Studi Sosiologi Agama Yogyakarta
Malam senyap, dingin dan berkabung. Teras rumah itu ramai, berkerumun orang-orang bertakziah. Seusai berdoa, di sebuah sudut, saya hanyut dalam percakapan tentang kematian jenazah. Kronologis demi kronologis diceritakan. Pun perihal kasus seorang pemuda (22) yang bunuh diri yang santer dibicarakan di desa dalam sepekan terakhir, masih menjadi bahan percakapan yang menarik dan mengandung misteri.
Percakapan tampak santai sebelum lelaki paruh baya di depanku berseloroh, “Sekarang itu sudah banyak orang yang otaknya ndlodhok!”
Kata “ndlodok” merujuk pada stres atau depresi. Sehimpun orang di lingkarnya ikut mengiyakan dengan tertawa, termasuk saya. Tapi seketika batinku kelu dan menggumam, “Ini keliru! Kita terlalu fokus pada akibat dan meniadakan sebab kenapa pemuda itu bunuh diri. Sebegitu mudahnya kita menertawakan penderitaan orang lain?” Ejekan sosial sering dipakai sebagai bumbu percakapan. Dan karena itu, kini, empati menjadi barang mahal.
Perihal bunuh diri yang menjadi tren baru milenial di dekade ini menunjukkan ruang gerak milenial yang menyempit, sedang atap perlindungan dan perbekalan hidup tersamarkan sebab disentralisasi kebudayaan, menarik garis singgung antara ketahanan mental dengan budaya anomik. Penyebab dari serangkaian kasus bunuh diri kini mulai terpola. Bunuh diri kerap diawali oleh dua faktor kecemasan; ekonomi dan asmara.
Seperti kejadian di desa tetangga saya beberapa hari silam. Pemuda milenial berusia 22 tahun mengakhiri hidupnya dengan nekat melompat ke Sungai Bengawan Solo karena tidak sabar mendapat pekerjaan (detikcom, 12/1). Praktik ini menambah kelam daftar bunuh diri milenial yang terjadi dalam sepekan terakhir. Mulai dari pelajar di Surabaya yang gantung diri, siswi SMP Jaktim yang lompat dari gedung sebab bullying, pria depresi dicerai istri di Bayuwangi, hingga seorang dokter yang gantung diri.
Di kasus pemuda 22 tahun itu, terlalu pagi untuk menyimpulkan bahwa senarai “tidak sabar mendapat pekerjaan” menjadi faktor tunggal yang membuat pria itu mengakhiri hidupnya. Menurut saya, terdapat tiga penyebab pemuda itu bunuh: ketimpangan ekonomi, konstruksi budaya baru, dan kecemasan anomik.
Pertama, anomali dan ketimpangan di “kota industri”, Gresik. Ekonom Chatib Basri (2019) berpendapat, walau pertumbuhan ekonomi berhasil mengurangi penganggur muda (15-24 tahun), dari 22 persen pada 2014, menjadi 20 persen pada 2018, persentase penganggur muda yang berpendidikan SMA ke atas meningkat cukup tajam. Tidak seluruhnya lapangan pekerjaan menyerap kelompok usia muda.
Diaspora lapangan pekerjaan tidak terbuka dengan permintaan massa. Sebagai kota industri, pemerintah semestinya memiliki keterbukaan terhadap lapangan pekerjaan. Kooperatif. Konsisten dengan Chatib Basri, mungkin hal itu disebabkan karena meningkatnya ekspektasi pekerjaan. Gaji UMR Kabupaten Gresik yang menduduki peringkat teratas ketiga di Jawa Timur (4,2 juta) tidak hanya menjadi jaminan tersendiri bagi para pekerja, tetapi juga merangsang andai-andai kepastian penghasilan.
Apa lacur, opini kerja di pabrik pascalulus SMA kini melekat dengan konstruksi masyarakat Gresik. Karena hal itu mendapat nilai superioritas di masyarakat. Tak ayal kesuksesan lalu diukur dengan pekerjaan di perusahaan tersohor, seperti Petrokimia, Semen Indonesia dan Smelting, dan lain sebagainya. Fakta ini mendukung pendapat Niall Ferguson dari Harvard University bahwa yang kita butuhkan saat ini bukanlah penciptaan lapangan kerja, tapi lapangan kerja yang layak (decent jobs).
Kedua, kasus ini sepintas menjadi kepanjangan tangan dari produk budaya baru kota industri. Prasangka-prasangka stabilitas lingkungan direduksi nilainya dalam koridor kemapanan material atau fisik belaka. Prasangka tersebut secara tidak langsung meniadakan budaya sosialisasi berupa “cangkruk” yang secara khas berperan sebagai ruang publik kesetaraan bagi masyarakat Gresik.
Kecemasan Anomik
Saya ingin mengajak pembaca berkaca pada kasus bunuh diri tersebut, dan ini menjadi faktor ketiga, bahwa terkuak semacam mata rantai keganjilan terhadap realitas berupa “aspek lain” dari realitas yang sebenarnya rapuh atau palsu.
Keadaan-keadaan gangguan dari aspek lain realitas tentu beragam. Gangguan itu bisa melibatkan unsur kolektif yang besar dan bisa juga lebih sempit secara biografis. Dalam beberapa pemaparan yang saya temukan, ada dua faktor penyebab pria tersebut bunuh diri. Pertama, broken home, tekanan muncul dari orang tuanya yang mengharapkan agar anaknya lekas mendapat pekerjaan. Selagi itu, orang tuanya bisa segera pensiun sebagai sopir truk.
Kedua, broken heart, ia ditinggal kekasihnya menikah. Bagi sebagian orang ditinggal kekasih menjadi frasa yang menyakitkan dan memaksanya untuk menelan pil pahit. Daripada itu, kedua hal ini menekan kecemasan moral individu secara radikal. Ia lalu tumbuh menjadi pribadi yang terasing dalam situasi-situasi marjinal.
Peter L Berger (1991) dalam The Sacred Canopy menyebut kedua penyebab itu menjadi indikasi dari gangguan kecemasan anomik. Dia kehilangan orientasinya dalam berpengalaman. Dalam keadaan ekstrem, dia bahkan kehilangan rasa realitas dan identitasnya. Kedua kecemasan itu menyudutkan psikisnya menjadi anomik dalam pengertian menjadi tanpa-dunia.
Menghentikan Siklus
Bagaimana memperbarui tatanan sosial yang berperan dalam menghentikan siklus bunuh diri terpola? Pertanyaan ini terkesan diulang-ulang di banyak perdebatan. Secara psikologis, barangkali pertanyaan itu dicukupkan dengan jawaban ditemani dan konsultasi.
Namun, secara sosiologis perlu adanya upaya preventif seperti pengembangan prosedur-prosedur yang membantu para anggota untuk tetap berorientasi realitas, menghargai setiap kehadiran individu, memberikan ketahanan dari rangsangan kultural yang ia temukan dalam bermasyarakat dan berempati; inilah hijrah sosial.
Hijrah, dalam konteks ini, secara sosiologis menunjukkan ketahanan mental dalam menemukan titik baru perubahan. Pencarian tatanan baru tidak berarti perpindahan geografis, melainkan merangsang realitas individu dalam bersosialisasi untuk menemukan atap pelindung.
Dalam sebuah anatomi bunga, matahari membantunya dalam bermetamorfosis, selain ditopang oleh kondisi tanah yang membuat mereka tumbuh cantik dan beraneka rupa. Demikian halnya dengan kualitas atap pelindung pada tatanan sosial menjadi jelas apabila kita mengenali situasi marjinal dalam kehidupan individu, yaitu pada situasi di mana dia bergerak mendekati atau melewati batas-batas tatanan yang menggerakkan eksistensi rutin di setiap harinya.
Manusia, menurut Ernest Becker (1974) dalam The Denial of Death adalah makhluk unik yang sanggup mengonsep hidupnya meskipun dalam bentuk yang sangat abstrak. Kesempurnaan dia berdasar pada seberapa sanggup dia mensosialisasikan “kedua dirinya”: diri fisik dan diri konseptual.
Dalam kasus bunuh diri, individu dalam “diri konseptual” mendapati dirinya merasakan takut, tertindas dan tertekan yang bermuara dari ejekan atau stigma sosial yang terangkum dalam kecemasan anomik. Pada titik ini, situasi-situasi marjinal eksistensi manusia mengandung kerawanan bawaan dari tatanan sosial yang buruk. Eksistensi (chance and survival), dilihat dari perspektif masyarakat, diadopsi dari suatu wilayah makna yang luas, terbuka, seperti hutan yang gelap dan menyembunyikan bahaya.
Prosedur baku dalam meraih eksistensi di masyarakat berkelindan dengan ikhtiar kita membangun model pencarian orientasi realitas yang tepat. Oleh karena itu, hijrah sosial harus dibarengi dengan orientasi ke depan yang diikuti oleh penghargaan yang cukup kepada kompetisi dan capaian (achievment), supaya terbentuk tatanan sosial yang berempati. Sehingga individu yang berada dalam situasi-situasi marjinal bisa lebih hidup. Dan kita tidak lagi menjadi manusia yang mengolok-olok.