RESES — Anggota DPRD Kalsel dari Fraksi Golkar saat melakukan reses di Desa Kolam Makmur, Kecamatan Wana Raya, Kabupaten Batola. Pada kegiatan reses yang berlangsung 7 sampai 11 November 2018 ini, Karli menyambangi lima titik pertemuan, yaitu Desa Karang Indah, Kecamatan Mandastana, Desa Kolam Makmur, Desa Sido Mulyo, Desa Simpang Jaya, dan Desa Pinang Habang.(KP/lili)
BANJARMASIN, KP – Harga komoditas pertanian di Kalimantan Selatan (Kalsel) belakangan ini benar-benar anjlok. Kondisi ini tentu saja disambut gembira masyarakat konsumen, karena bisa mendapatkan berbagai hasil pertanian yang diinginkan, seperti padi atau beras, sayuran, dan aneka buah-buah dengan harga yang sangat murah.
Namun sebaliknya, kondisi anjlok atau terpuruknya harga jual berbagai hasil pertanian itu menjadi keluhan bahkan jeritan para petani, karena hasil yang mereka peroleh tidak memadai dengan jerih payah dan biaya operasional yang dikeluarkan selama proses pertanian berlangsung.
Anjloknya harga hasil-hasil pertanian terlihat di beberapa pasar tradisional yang ada di Banjarmasin maupun pasar-pasar lainnya yang ada di kabupaten di Provinsi Kalsel. Seperti cabe merah besar saat ini hanya dijual Rp20.000 per kilo, sebelumnya selalu diatas Rp30.000, cabe hijau besar Rp10.000 dari kisaran Rp20.000 per kilo, cabe tiung Rp25.000 dari Rp35.000 hingga Rp40.000 per kg, cabe rawit Banjar Rp30.000 per kilo dari Rp40.000 hingga Rp50.000 per kilogram. Buah-buah seperti jeruk manis di tingkat pedagang berkisar Rp8.000 hingga Rp10.000 per kilogram, sedangkan di tingkat petani di kawasan sentra penghasil jeruk seperti di wilayah Kecataman Mandastana, Kecamatan Wanaraya, maupun Kecamatan Anjir Pasar, Kabupaten Batola harganya berkisar dari Rp2.000 hingga Rp3.500 per kilogram. Buah mangga lokal seperti gadung, golek, ampalam, dan lain-lain saat I ni harganya juga ikut turun.
Derita yang dirasakan petani akibat murahnya harga berbagai komoditas pertanian mereka curahkan sebagai uneg-uneg kepada anggota DPRD Kalsel dari Fraksi Partai Golkar, DR.H.Karli Hanafi, Kalianda, SH.MHum yang melakukan reses ke daerah pemilihanya di Kabupaten Barito Kuala (Batola) tanggl 7 sampai 11 Nopember kemarin.
Titik reses yang dilakukan Ketua Fraksi Partai Golkar (FPG) DPRD Kalsel itu adalah Desa Karang Indah, Kecamatan Mandastana, Desa Kolam Makmur, Desa Sido Mulyo, Desa Simpang Jaya, dan Desa Pinang Habang.
Pardi, Kepala Desa Karang Indah, Kecamatan Mandastana di hadapan Karli mengatakan, panen melimpah, namun harga anjlok, seperti jeruk di tingkat petani jeruk harga per kilogram hanya berkisar Rp2.000 hingga Rp3.500 saja. Itu sangat tidak memadai dengan dengan biaya operasional yang dikeluarkan. Demikian juga padi, harga per blek untuk padi karang dukuh atau siam unus hanya berkisar Rp50.000 sampai Rp55.000 saja. Sedangkan berasnya di tingkat pedagang bisa mencapai Rp180.000 per bleknya. ‘Kesenjangan harganya ini sangat jauh sekali,” ujarnya dalam reses yang dihadiri puluhan warga setempat.
Tidak hanya harga komoditas pertanian yang terpuruk, harga hasil perkebunan seperti kelapa sawit dan karet juga ikut anjlok.
“Kelapa sawit yang ditanam warga secara swadaya, hampir tidak ada nilainya, yaitu hanya Rp600,- per kilogram atau Rp 600 ribu per ton, itu pun belum tentu kami yang menikmati, karena maling juga suka beraksi di wilayah kami,” ujar Umar dari Desa Kolam Makmur.
Untuk kelapa sawit, katanya melanjutkan, memang terasa adanya kesenjangan karena mereka tidak bisa langsung menjual ke pabrik, tetapi terlebih dahulu disambang para tengkulak. Selain itu kualitas buah yang kurang bagus, juga merupakan penyebab rendahnya harga.
Sementara, untuk ternak sapi yang juga banyak dikembangkan di Batola, harganya juga mengalami penurunan, karena pengaruh dari luar pulau yang harganya lebih murah pada musim-musim tertentu.
Menanggapi keluhan warga tersebut, Karli Hanafi menegaskan dia akan memperjuangkan apa yang menjadi aspirasi warga, terutama untuk memberikan nilai tambah terhadap hasil-hasil pertanian.
“Permasalahan terlebih dahulu akan dipilah-pilah sesuai kewenangan provinsi atau kabupaten. Seperti jeruk dan sawit, perlu ada tata niaga yang mengatur dan mengurangi peranan tengkulak. Selain itu, perlu ada koperasi yang menjembatani kepentingan warga dan pembeli atau membantu masyarakat bertransaksi dengan pengusaha atau pabrik,” ujarnya.
Dan untuk jeruk maupun yang lainnya, perlu ada home industri yang bisa memberikan nilai tambah terhadap komoditas tersebut, misalnya dijadikan buah kaleng, atau pun minuman dalam kemasanan. ‘Untuk itu perlu dilakukan studi banding, misalnya ke Malang, yang sudah maju dalam pengolahan hasil-hasil pertanian atau perkebunan,”
Pada kesempatan itu masyarakat juga menyampaikan aspirasi terkait jalan dan jembatan penghubung yang mengalami kerusakan, soal tenaga honorer di sekolah-sekolah yang gajinya sangat minim, soal BPJS, serta berbagai permasalahan lainnya. (lia/k-7)