Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Adil Sejak Dalam Pikiran

×

Adil Sejak Dalam Pikiran

Sebarkan artikel ini

Oleh : Rahmad Hidayat
Pegiat Demokrasi

Pebruari, Selain bulan kasih sayang, juga merupakan bulan, dimana Pramoedya Ananta Toer lahir. Tepatnya pada 6 Februari 1925 di Blora, Jawa Tengah. Tokoh phenomenal yang dalam sejarah sastra melahirkan 50 karya dan diterjemahkan ke lebih dari 42 bahasa asing ini, meninggal pada 30 April 2006. Merupakan anak sulung dari Pasangan Oemi Saidjah dan Mastoer Imam Badjoeri. Ayahnya adalah seorang guru sedangkan ibunya seorang penjual nasi. Nama asli Pram adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora.

Baca Koran

Etalase kerja-kerja intelektual Pram terlalu sempit bila hanya kita maknai sebagai sebuah sastra. Lebih dari itu. Karyanya adalah sebuah perlawanan. Atas nama manusia dan kemanusiaan. Baginya, tidak fair apabila rakyat hanya dijejali oleh suatu narasi tunggal yang ditampilkan kekuasaan. Melalui karyanya, ia hendak membangun kesadaran dengan memunculkan narasi alternativ.

Narasi yang didistribusikan Pram melalui tulisan-tulisannya lahir pada situasi dimana bangsa ini dihadapkan pada kenyataan, bahwa terdapat penguasa yang keberpihakannya bukan kepada rakyat, tapi pada kekuasaan, oleh karenanya, setiap yang berbeda adalah dosa, bersuara berarti binasa. Untuk menjaga kestabilan kekuasaan, rezim melakukan pengkaburan fakta melalui wacana tunggal yang disebarkan secara terus menerus. Barangkali ini yang disebut Antonio Gramsci Sebagai hegemoni.

Hegemoni Orde Baru menjadi subur, karena bertemu dengan budaya feodal yang masih berakar kuat di republik ini. Bahwa, terdapat manusia-manusia Indonesia bermental kuli, yang merasa kerdil dengan bangsanya sendiri. Hidup, cukup dengan bekerja menjadi bawahan orang lain. Melalui kata yang betenaga, Pram melawan, bahwa “Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri, dan maju karena pengalamannya sendiri.

Membangun narasi alternatif dimasa itu berarti melakukan penentangan terhadap Soeharto yang telah menampilkan diri “sebagai juru selamat”, bahwa, atas nama Pancasila, ia telah menyelamatkan negara dari kepungan komunisme dan orde lama. Pada situasi ini, rezim, dalam Bahasa pram telah melakukan “pembantaian” terhadap rakyat yang tidak bersalah.

Baca Juga :  IKN Bukan Lorem Ipsum

Selain nafas kemanusiaan, karya-karya pram kental dengan agitasi perlawanan yang di desain untuk menghidupkan keberanian, berjuang melawan segala syak wasangka, dan semua “kriminal” yang papa, “kalian pemuda, kalau, kalian tidak punya keberanian, sama saja dengan ternak karena fungsi hidupnya hanya beternak diri” demikian tulis Pram dalam Novel Bumi Manusia.

Pram bermaksud melakukan Revolusi Mental melalui karyanya. Meskipun karena ini, ia dimasukan kedalam penjara di Pulau Buru, dilarang Menulis, dan beberapa “anak ideologisnya” dimatikan dalam masa tiga belas tahun penahananya.

Melalui karya-karyanya, pram hendak mengajarkan kita semua, utamanya Suharto, kaum terdidik dan penguasa hari ini. Untuk menjadi manusia yang sebenar-benarnya manusia, yang dimulai dari berlaku adil sejak dalam pikiran.

Relevansi Masa Kini

Empat belas tahun sepeninggal Pram, pikiranya tentang adil sejak dalam pikiran semakin menemukan relevansi. Dalam soal keadilan, dan demokrasi, dibawah rezim yang ada, republik ini dalam beberapa catatan sudah berlaku tidak adil.

Kita semua tentu masih ingat kasus nenek Minah berusia 55 Tahun dari Banyumas, yang karena perbuatan “isengnya” memetik tiga buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) membuatnya dihukum 1 bulan penjara. Ditahun 2016, AAL seorang remaja berusia 15 Tahun asal Kota Palu, hanya karena mencuri sandal jepit dan dihukum 5 Tahun penjara. Kasus serupa juga dialami nenek asyani, 63 tahun, yang di denda 500 juta atau 1 tahun penjara, karena himpitan ekonomi membuatnya terpaksa mencuri. Dan yang terbaru adalah kisah dari Simalungun, kakek Samirin yang divonis 2 bulan 4 hari, hanya karena terpaksa mencuri 1,9 Kg Getah karet senilai Rp17 ribu.

Beberapa kasus diatas seakan kontras, apabila kita bandingan dengan kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara ataupun tokoh politik. Bila proses hukum orang melarat begitu cepat, lain halnya dengan para pejabat. Untuk mereka, proses pengadilan berjalan begitu lambat. Bahkan berhenti ditengah jalan, tanpa ada kejelasan.

Baca Juga :  HALAL BIHALAL

Sejarah mencatat, bahwa kasus pidana ataupun korupsi apabila menyeret tokoh ataupun keluarga pejabat, maka akan sulit menemukan proses pengadilan yang fair dan cepat. Hari ini, ada banyak kasus yang tidak memiliki penjelasan dan kejelasan, Seperti kasus suap di kementriaan agama yang membawa nama mantan Mentri Agama, Lukman Hakim Saiffuddin. Hingga kasus “kardus durian” yang di anggap batu sandungan bagi ketua PKB Muhaimin Iskandar. Hingga kepada kasus pembunuhan yang dilakukan Rasyid Rajasa bebas begitu saja.

Apa yang menyebabkan ketidakadilan ini terjadi adalah keberpihakan, dan Tarik menarik kepentingan. Pada faktanya, suka atau tidak, keberpihakan negara melalui penegakan hukum dan beberapa haluan kebijakan pemerintah, harus secara jujur kita katakana bahwa, belum memiliki kejelasan. Bahkan, dalam banyak kesempatan, keberpihakan negara lebih banyak terlihat pada koorporasi dan oligarki ketimbang rakyat melarat.

Kasus vonis Pidana Lansia melakukan pencurian karena kelaparan vs lambatnya proses hukum para pejabat. Sejatinya adalah ketidakadilan negara sejak dalam pikiran,

Dari kenyataan yang ada, boleh kita simpulkan bahwa, keadilan di republik ini ditentukan oleh bargening position atau nilai tawar politik seseorang. Bukan karena kebenaran. Sehingga pameo “hukum tumpul keatas dan tajam ke bawah” menemui keshahihanya di republik ini.

Dalam rangka mengenang hari lahir Pramoedya Ananta Toer di bulan Pebruari ini, mari kita kembali pada keadilan yang sejati, merenungkan kembali kalimat sakti dari seseorang yang sudah 14 tahun pergi. Bagi penguasa, bagi kaum terpelajar, bagi penegak hukum, bagi para apparat, bagi kita semua. “Adilah Sejak Dalam Pikiran”. Demikian. Salam.

Iklan
Iklan