Oleh : Winda Widiya
Pemerhati Ekonomi dan Remaja, Pegiat Pena Banua
Sunda Empire yang beberapa waktu lalu sempat menjadi viral, memang menjadi topik perbincangan yang tidak biasa. Sejatinya, Sunda Empire atau yang juga disebut Earth Empire merupakan sebuah perkumpulan yang mendasarkan diri pada romantisme sejarah pada masa lalu, yang mencita-citakan kerajaan Sunda kembali berjaya seperti dahulu.
Dalam sebuah berita yang dilansir dari laman tagar.id (29/01/2020), Sekretaris Jenderal De Heren XVII Sunda Empire, Rangga Sasana menyatakan bahwa Sunda Empire merupakan suatu bentuk kekaisaran yang ada sejak masa Alexander The Great (Alexander Agung) yang berdiri sejak 324 SM.
Namun sayangnya, para petinggi Sunda Empire beberapa hari yang lalu ternyata terjerat kasus berita bohong dan terancam mendekam dalam bui lebih dari lima tahun. Keberadaan tiga petinggi yang menjadi tersangka kasus tersebut diantaranya Nasri Bank selaku Perdana Menteri, Raden Ratna Ningrum selaku Kaisar dan Ki Ageng Rangga Sasana selaku pejabat tinggi lainnya (cnnindonesia.com, 28/01/2020).
Kemunculan sebuah kerajaan ditengah-tengah penerapan sistem pemerintahan demokrasi ini tentu menuai gejolak dari berbagai kalangan. Asumsi-asumsi subjektif terlontar dengan berbagai alasan diantaranya ingin kembali berjaya sebagaimana masa kerajaan di nusantara di masa lampau, bahkan ada yang mengatakan bahwa ini adalah bentuk kekecewaan rakyat terhadap penguasa.
Munculnya polemik kerajaan abal-abal ini memang masih simpang siur. Tetapi yang pasti, para petinggi Sunda Empire menyebutkan bahwa mereka bisa menyejahterakan masyarakat dunia (harianaceh.co.id, 30/01/2020). Dari keterangan tersebut, terdapat sedikit gambaran bahwa saat ini keadaan masyarakat di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Maka dari itu, muncullah Sunda Empire yang ingin memperbaiki kesejahteraan masyarakat.
Terlepas dari itu, muncul isu lain yang dilontarkan oleh Said Aqil Siroj, selaku Ketua Umum PBNU yang menuding bahwa Hizbut Tahrir Indonesia ada dibalik keberadaan Sunda Empire. Bahkan nama Rangga Sasana diisukan sebagai simpatisan dari Partai Politik berbasis Islam yang pernah dibubarkan Pemerintah dua tahun silam (detik.com, 26/01/2020).
Tak seperti yang diisukan, justru Rangga menyatakan bahwa drinya adalah NU tulen, bukan simpatisan atau bahkan anggota dari HTI. Dan menyatakan dirinya bahwa tudingan bahwa dia adalah HTI adalah fitnah.
Isu HTI lagi-lagi kembali mencuat ditengah-tengah permasalahan yang ada di negara ini. Dan sekali lagi, dituduh sebagai dalang atau makar. Hal ini karena HTI adalah salah satu partai politik yang menginginkan kemerdakaan hakiki bagi umat manusia, khususnya umat muslim, melalui penerapan Islam secara kaaffah dalam institusi Negara Islam.
Sejatinya, penuduhan HTI sebagai dalang dibalik kasus kerajaan fiktif tersebut adalah fitnah yang nyata. Bagaimana tidak, sistem pemerintahan Islam dengan sistem kerajaan tentu sangat jauh berbeda. Saat ini, diseluruh belahan dunia manapun, belum ada negara yang menerapkan sistem pemerintahan Islam sejak runtuhnya Negara Islam di Turki, Istambul tahun 1924 silam oleh Mustaffa Kemal Attaturk.
Sistem pemerintahan Negara Islam, atau yang biasa disebut dengan Khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan yang khas. Khilafah bukanlah negara demokrasi atau republik, yang memisah-misahkan satu wilayah dengan wilayah lain dengan sebutan national state. Khilafah justru menyatukan wilayah demi wilayah agar tunduk pada satu komando yang sama, yakni Khalifah sebagai pemimpin negara, bukan Presiden.
Khilafah juga tidak sama dengan sistem federasi atau negara perserikatan, yang menyatukan negara-negara menjadi satu bagian, namun hanya urusan politik dan umum yang diatur oleh pemerintah pusat, sedangkan negara bagian yang lain mengatur sendiri urusan ekonomi dan lainnya. Pemerintah pusat akan berlepas tangan terhadap permasalahan ekonomi, kesehatan, pendidikan, sosial dan lain sebagainya di negara bagian lainnya sehingga berpotensi pada terjadinya diskriminasi dan kesenjangan antar negara bagian.
Khilafah juga bukan sistem pemerintahan yang bernafaskan kerajaan atau kekaisaran yang dipimpin oleh Raja atau Kaisar. Islam tidak pernah mengenal istilah putra mahkota, karena metode pengangkatan Khalifah dalam Islam adalah menggunakan metode baiat. Meskipun dalam sejarahnya, bisa saja anak Khalifah yang menjadi penerus, tapi tak menutup kemungkinan, bahwa anak tersebut juga memiliki hak sebagai calon Khalifah dan tetap dengan baiat oleh seluruh warga negara Islam.
Disamping itu, Raja, Kaisar serta para keluarga termasuk keturunannya memiliki hak istimewa dan mereka adalah simbol negara sehingga mereka adalah orang-orang yang kebal hukum. Hal tersebut sangat jelas berbeda dengan Khilafah yang tidak membedakan siapa saja untuk dijatuhi hukum jika perbuatannya adalah pelanggaran hukum syara.
Khilafah berdiri atas prinsip-prinsip aturan Islam yang paripurna. Khilafah adalah sebuah metode dalam penerapan syariah agar apa yang Allah dan Rasulullah perintahkan dapat dijalankan dan diterapkan dengan sempurna. Tanpa adanya Khilafah, mustahil umat muslim dapat melaksanakan syariat secara totalitas.
Dalam kehidupan, hubungan muamalah adalah yang paling banyak dikerjakan oleh umat muslim. Dari perkara ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kesehatan, jual-beli (perdagangan) bahkan hukum (persanksian) hanya bisa dilaksanakan oleh negara. Negara yang mengatur itu semua, bukan individu.
Semua aspek hubungan manusia dengan sesamanya adalah perkara penting, yang jika tidak diatur dengan benar, maka rusaklah kehidupan manusia, jatuhlah peradaban manusia hingga nampak saat ini kerusakan-kerusakan yang tak terbilang jumlahnya. Dan itu semua tak mungkin diperbaiki oleh sistem pemerintahan selain Islam.
Hanya Islam yang datang dengan aturan sempurna dari Sang Pencipta, bukan buatan manusia. Oleh karena itu, kerusakan yang merajalela ditengah-tengah umat perlu segera diperbaiki dengan ditegakkannya Khilafah agar umat kembali bangkit dari keterpurukan panjangnya. Cukuplah Allah yang menjadi satu-satunya pengatur dalam urusan manusia. Karena Dia tak memiliki kepentingan dan Maha Tahu atas segalanya. Wallahua’lam.