Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
Opini

Sejahterakan Guru Tanpa Status Honorer

×

Sejahterakan Guru Tanpa Status Honorer

Sebarkan artikel ini

Oleh : Nor Aniyah, S.Pd
Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi. Berdomisili di HSS, Kalsel.

Penghapusan pegawai honor secara bertahap, dan menggantinya dengan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K), disambut kecewa, khususnya guru honor yang bertugas di desa terpencil Loksado. “Apalagi guru PNS untuk di Loksado sini jarang ada yang bertahan lama. Baru berapa tahun sudah minta pindah. Mereka juga jarang mau tinggal di Loksado, agar dekat sekolah,” ungkap guru pendidikan Bahasa Inggris di SMPN 1 Loksado, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), yang menjadi guru honor sejak 2012.

Baca Koran

Dikatakan, beban kerja guru honor, selama ini sama saja dengan PNS. Mulai kerja pukul 08.00, pulang pukul 14.25 Wita. Jika ada rapat di kabupaten, mereka pun hadir dengan biaya sendiri, dengan jarak sekitar 45 kilometer. Ia membeberkan, honor berdasarkan dana BOS dihitung per jam, yaitu Rp4 ribu per jam. Dalam sekali seminggu ia mengajar 24 jam, sehingga total yang dia terima sekitar Rp384 ribu. Sedangkan bantuan BOSDA Rp500 ribu per bulan, yang kadang dibayar per bulan, kadang per triwulan.

Harapan yang sama disampaikan guru berstatus honor di TK Aisyiah Kandangan, yang mengabdi sejak 2006. Namun, Ia mengaku belum mendapat kesempatan mengikuti tes P3K 2019 lalu, karena pemerintah masih memprioritaskan honorer K2 tahun 2005 ke bawah. Padahal, fakta di lapangan guru TK masih sangat kurang. Disebutkan, saat ini guru honor makin bertumpuk, namun tidak ada kejelasan terkait kesempatan mengikuti P3K. Bahkan, untuk yang sudah lulus 2019 ini pun belum ada kejelasan SK-nya. Sementara formasi di CPNS untuk guru TK jarang ada. “Beban kerja sebagai honorer sama saja dengan guru PNS. Kerja pukul 07.00 pulang pukul 12.00 Wita,” katanya. (banjarmasinpost.co.id, 22/01/2020).

“Kami (FHGT) merasa keberatan dengan wacana penghapusan tenaga honorer itu,” ucap Ketua Forum Honorer Guru dan Tenaga Kependidikan (FHGT) Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS). Menurutnya, berdasarkan fakta di lapangan, sekolah di Kabupaten HSS masih banyak kekurangan tenaga pendidik. Padahal, jumlah pegawai honorer di HSS saat ini mencapai 975 orang, termasuk 505 guru honorer.

Baca Juga :  PERBANDINGAN SESUATU

“Justru pegawai honorer yang melengkapinya. Jadi pegawai honorer memiliki peran aktif, khususnya di dunia pendidikan. Para PNS pun merasa terbantu dengan adanya tenaga honorer,” ujarnya (koranbanjar.net, 24/01/2020).

Negeri ini tengah menerapkan sistem Kapitalisme neo-liberal, yang sangat mempengaruhi kebijakan publik, termasuk sistem pendidikan. Hal ini menegaskan cara pandang pengurusan penguasa terhadap rakyat yang hanya dipandang secara ekonomis (menghitung untung rugi) sehingga menganggap guru sebagai beban anggaran. Persoalan ditribusi guru yang tidak merata dan tidak bisa menggaji agar sejahtera masih dihadapi guru. Anehnya, saat ini subsidi rakyat terus dikurangi, malah melakukan pembangunan gedung dan infrastruktur yang bukanlah urgen.

Tidak ada perhatian serius penguasa terhadap pendidikan saat ini. Padahal, bukanlah rahasia bila gaji guru honorer saat ini terbilang rendah, bahkan di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Polemik masalah nasib guru honorer ini telah lama terjadi. Namun, negara nampak masih belum mampu memberi solusi tuntas atas persoalan minimnya kesejahteraan mereka. Nyatanya, untuk memenuhi yang minimal saja, negara masih berhitung. Artinya, problem pendidikan ini tak akan lepas selama kemiskinan negara ada. Oleh karena itu, negara harus keluar dari kemiskinan ini. Di antaranya dengan sumber daya alam yang dikuasai swasta dan asing, akibatnya negara tidak punya pemasukan yang memadai. Jika sistem ekonomi kapitalislah yang menjadi penyebab kemiskinan itu, maka negara harus menanggalkan sistem tersebut dan menggantinya dengan sistem yang benar dan menyejahterakan.

Sebenarnya Islam telah menjawab problematika guru secara memuaskan. Tenaga guru sangatlah dibutuhkan negara untuk mencerdaskan para generasi. Menjadi kewajiban setiap Muslim untuk menuntut ilmu dan membekali dirinya dengan berbagai macam ilmu yang dibutuhkannya dalam kehidupan. Hanya dalam sistem Islam, guru mendapatkan kesejahteraan yang layak, tanpa memandang perbedaan statusnya. Posisi guru dalam sistem Islam semuanya adalah sebagai aparatur negara (muwazif daulah). Tidak ada pembedaan status guru negeri dan honorer. Semua guru dimuliakan dalam sistem Islam karena perannya yang begitu strategis. Semua dikembalikan pada profesionalitas dan keahlian guru. Sebab, menganggap pendidikan sebagai kebutuhan publik, dan negara adalah pelayan umat.

Rasulullah Saw bersabda: “Seorang Imam (khalifah/ kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Baca Juga :  PERDA KEBUDAYAAN, "SAHIBAR" PROYEK SOSPER?

Dalam Islam, negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek kehidupan masyarakat, termasuk yang berkenaan dengan sistem pendidikan. Agar dapat profesional dan optimal mencerdaskan generasi, guru harus mendapatkan pengayaan, sarana dan prasarana yang memadai, serta jaminan kesejahteraan sebagai tenaga profesional. Semua hal tersebut wajib diperhatikan oleh penguasa, khususnya kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat diperhatikan dan merupakan beban negara yang diambil dari kas Baitul Mal. Bila kas baitul maal tidak mencukupi, maka bisa ditarik dlaribah/pajak yang bersifat temporer.

Sejarah telah mencatat bahwa guru dalam naungan Khilafah mendapatkan penghargaan yang tinggi dari Negara, termaksuk pemberian gaji yang layak. Di riwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dar al- Wadl-iah bin Atha, bahwasanya ada tiga orang guru di Madinah yang mengajar anak-anak dan Khalifah Umar bin Khattab memberi gaji lima belas dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63,75 gram emas; bila harga 1 gram emas Rp650 ribu, berarti gaji guru setiap bulannya Rp41.437.000).

Perhatian negara terhadap guru juga diwujudkan dalam bentuk mencukupi kebutuhan anak-anak guru. Kebutuhan pokok dan biaya sekolah ditanggung Negara sehingga membuat hidup mereka menjadi nyaman. Pada masa Khilafah Abbasiyah, tunjangan guru pun begitu tinggi seperti yang diterima oleh Zujaj pada masa Abbasiyah. Setiap bulan beliau mendapat gaji 200 dinar. Sementara Ibnu Duraid digaji 50 dinar perbulan oleh al-Muqtadir.

Penguasa dalam sistem Khilafah Islamiyah mampu menjamin pekerjaan bagi setiap rakyat yang bekerja. Rekrutmen pegawai negara dalam Islam tidak mengenal istilah honorer. Karena pegawai negara akan direkrut sesuai kebutuhan riil negara untuk menjalankan semua pekerjaan administratif maupun pelayanan dalam jumlah yang mencukupi. Semua digaji dengan akad ijarah dengan gaji yang layak, dari dana pengelolaan sumber daya alam dan kepemilikan umum. Hal ini, tentu akan membuat guru bisa fokus untuk menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak generasi berkualitas yang dibutuhkan negara untuk membangun peradaban gemilang dan mulia.

Iklan
Iklan