Oleh : Mustam Arif
Direktur Eksekutif JurnaL Celebes, pemerhati masalah sosial dan lingkungan hidup
Semula banyak pihak menyangsikan China membangun dua rumah sakit dalam hitungan hari. Kenyataannya, target ‘gila’ itu bukan hoax. Tanggal 3 Pebruari, satu rumah sakit rampung. Menyusul satu lagi pada 5 Februari. Proyek ala hikayat Roro Jonggrang dan Sangkuriang ini membuat dunia heran dan kagum. Ini tidak sekadar kerja kilat tanggap darurat kemanusiaan. Tiongkok juga memertontonkan aksi darurat virus Corona ini sebagai `perang’ peradaban.
Bagai cerita dongeng, dua rumah sakit dengan kapasitas ribuan tempat tidur dibangun hanya kurang lebih 10 hari. Desember 2019, virus 2019 Novel Coronavirus (2019-nCoV) muncul yang kemudian dikenal virus Corona. Bermula di Wuhan, China, Corona menular secepat kilat ke berbagai negara. Hingga awal Pebruari 2020, wabah virus ini telah menyebar di 25 negara dengan 14.300 kasus, sekaligus merenggut nyawa 304 orang.
Dalam situasi kritis, pemerintah China tidak panik. Penguasa Negeri Tirai Bambu ini bergegas membangun dua rumah sakit baru di Kota Wuhan, Provinsi Hubei.
Rumah sakit pertama diberi nama Huoshenshan Hospital. Rumah sakit ini dibangun di Caidan, sebelah barat Kota Wuhan. Nama Huoshenshan yang berarti Dewa Api ini dibangun di atas tanah 27 ribu meter persegi. Rumah sakit `Dewa Api’ direncanakan menampung 1.000 tempat tidur pasien.
Kemudian yang satu lagi diberi nama Rumah Sakit Leishanshan (Leishanshan Hospital). Leishanshan yang berarti Dewa Petir ini dibangun di Jianxhia, sebelah selatan Kota Wuhan. Leishanshan punya kapasitas lebih besar dari Huoshenshan. Ada dua unit bangunan dengan kapasitas 1.300 tempat tidur, dengan 2 2.000 petugas medis.
Si Dewa Api’ dimulai pembangunannya pada 24 Januari 2020. Sehari kemudian groundbreaking pembangunan untuk si
Dewa Petir’. Huoshenshan Hospital ditarget selesai 3 Pebruari, sementara Leishanshan dituntaskan 5 Pebruari.
Berbagai media memberitakan keraguan berbagai pihak tentang rencana kilat pemerintah China dalam tanggap darurat epidemi Corona ini. Tetapi, bagi China, tindakan antisipatif secepat petir ini bukan hal baru. Mereka punya pengalaman membangun rumah sakit Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) tahun 2003. Saat itu Pemerintah China membangun Rumah Sakit Xiaotangshan di Beijing hanya dalam tujuh hari. Kerja ini memecahkan rekor dunia pembangunan rumah sakit tercepat.
Tak heran, kurang lebih 17 tahun kemudian, China tak sedikit pun ragu kembali mengukir sejarah membangun rumah sakit tercepat. Di tengah situasi darurat epidemi virus yang mengancam masyarakat China dan umat manusia di seluruh dunia. Kali ini dengan dua rumah sakit hanya butuh waktu sekitar 10 hari.
Sinergi dalam Darurat
Para ahli tentu juga menyangsikan bagaimana kualitas konstruksi dan ketahanan bangunan yang dibangun instan itu. Ada pihak yang menyatakan ini antitesis dengan perhitungan teknis konstruksi konvensional. Pihak lain menyatakan rumah sakit yang dibangun dalam kondisi darurat ini tidak menjamin keberlanjutannya di kemudian hari. Terutama ketika wabah penyakit telah mampu diatasi. Ada yang menilai apa yang dilakukan ini bukanlah sebuah rumah sakit paripurna, tetapi merupakan penyediaan sarana dalam kondisi darurat.
Kita coba menyampingkan adu pendapat tentang mekanisme teknis, kualitas, ketahanan, dan keberlanjutan dua rumah sakit dalam kondisi darurat ini. Sebuah proses yang melibatkan 3.000 pekerja, termasuk personel yang ahli di bidang masing-masing. Mereka bahu-membahu dalam perhelatan kerja luar biasa. Kerja nonstop 24 jam ini membutuhkan keterpaduan luar bisa untuk memburu target luar biasa.
Bisa dibayangkan, dalam `kerja rodi’ ini apabila tidak didukung oleh sinergi yang menyatu dalam kemampuan, keahlian, ketekunan, ketahanan fisik, perbedaan, dan dukungan teknologi. Jika pola kerja luar bisa ini tidak disokong keterpaduan dan manajemen kerja yang baik, bangunan rumah sakit ini tentu tidak akan bisa rampung dalam hitungan hari.
Apa yang dilakukan melalui pembangunan rumah sakit yang mahacepat, dengan kapasitas ribuan tempat tidur ini memberikan pembelajaran, terutama tentang penyatuan berbagi potensi, kekuatan, dan sumber daya. Paling penting adalah keterpaduan para pihak. Semua yang terlibat di bawah komando pemerintah China sehingga mampu menyelesaikan target yang idealnya hitungan tahun, menjadi hanya hitungan hari.
Kasus ini memberikan pembelajaran, dalam situasi darurat bencana, apakah itu bencana alam, bencana sosial, maupun bencana epidemi, sinergi dan penyatuan kekuatan menjadi kunci penentu. Dalam tanggap darurat bencana hendaknya tidak saling lempar tanggung jawab dan wewenang. Apakah wewenang pemerintah pusat atau daerah. Apakah wewenang istana presiden atau kantor gubernur dan wali kota. Tidak dengan polemik teknis. Apalagi kemudian dengan susupan kepentingan politik. Sebab, bencana, termasuk bencana epidemi adalah ancaman massal yang tidak mengenal batas wilayah administratif, batas geografi, strata masyarakat, dan pilihan politik.
`Perang’ Peradaban
Kita patut memuji kesigapan pemerintah China bersama masyarakat dalam tanggap darurat bencana epidemi Corona. Berpengalaman dengan SARS 17 tahun silam, pemerintah China langsung memutuskan membangun rumah sakit dalam waktu singkat, untuk menampung dan merawat para korban virus Corona.
Langkah yang sempat diragukan banyak pihak ini, tidak menemui kendala. Dalam waktu singkat, pemerintah China mampu menyatukan berbagai potensi di bawah koordinasi apik untuk mewujudkan rumah sakit dalam hitungan hari.
Tidak perlu diskusi panjang tentang lokasi, biaya, pembebasan tanah, wewenang siapa, siapa yang tender, dan izin. Dalam sekejap, tiba-tiba semua pihak telah menyatu. Aneka alat berat dan sarana konstruksi modern telah memenuhi lokasi pembangunan rumah sakit. Lalu, berikutnya, capaian-capaian kerja konstruksi ini penyelesaiannya tampak seperti seorang pelukis menyelesaikan setiap detail sebuah lukisan.
Proses ini memertontonkan kita tentang sebuah kerja tanggap darurat kemanusiaan yang bukan hanya super cepat. Tetapi sebuah kerja kolektif yang paripurna, taktis, praktis, dan canggih. Kerja yang bermuara pada upaya luar biasa dalam menyelamatkan nyawa manusia dari ancaman virus Corona.
Dalam kerangka kemanusiaan, kerja kilat tanggap darurat ini menuai pujian. Tetapi lebih luas, China tidak hanya mendapatkan sanjungan lantaran sukses kerja kemanusiaan ini.
China memetik prestise dalam proyek kilat memerangi virus Corona. Ini menjadi etalase bagi China memperlihatkan kekuatan, kekompakan, soliditas dan solidaritas yang mampu mengantisipasi keadaan darurat luar biasa.
Lewat proyek darurat Corona, menjadi arena bagi China memperlihatkan kekuatan mengantisipasi epidemi virus menyakit menular, sebagai salah satu potensi bencana di masa depan. China seolah menyatakan bahwa mereka telah punya kesiapan antisipatif, andainya hari ini dunia dilanda peperangan menggunakan senjata kimia atau senjata biologis, seperti dikhawatirkan banyak orang.
Dalam proses membangun rumah sakit kilat ini, Pemerintah China membuka akses siaran langsung nonstop dari media milik pemerintah dan swasta. Siaran dibuka luas melalui televisi dan live streaming di internet. Sampai proses pengadukan bahan-bahan bangunan justru menjadi tontonan menarik di tengah-tengah keprihatinan mewabahnya Corona.
Siaran langsung itu bukan sekadar bukti proses proyek rumah sakit kilat. Bisa jadi merupakan sarana propaganda di balik kerja kemanusiaan ini sebagai mainan dalam `perang’ peradaban.
Corona menjadi bencana yang bisa melumpuhkan ekonomi China. Negara-negara ramai mengisolasi dan memutus sementara aktivitas ekonomi, terutama distribusi barang dari dan ke Tiongkok. Pasar saham di Shanghai terjun bebas.
Namun, lewat proyek rumah sakit kilat, China seperti memerlihatkan eksistensi dari sisi lain terhadap Amerika Serikat dan Eropa. Bahwa saat ini dan ke depan, rivalitas ekonomi tidak sebatas saling mengeksekusi dalam perang dagang. Lebih luas adalah `perang’ peradaban. Sejauh mana memiliki kekuatan antisipatif untuk bertahan dan menyelamatkan manusia dalam bencana epidemi penyakit menular.