Oleh : Fathul Jannah S.S.T
Pemerhati Ekonomi dan Sosial
Tren perceraian di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya. Pada 2018, angka perceraian Indonesia mencapai 408.202 kasus, meningkat 9 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Penyebab terbesar perceraian pada 2018 adalah perselisihan dan pertengkaran terus menerus dengan 183.085 kasus. Faktor ekonomi menempati urutan kedua sebanyak 110.909 kasus. Sementara masalah lainnya adalah suami/istri pergi (17,55 persen), KDRT (2,15 persen), dan mabuk (0,85 persen). (databoks.katadata.co.id 20/2/2020)
Sementara itu di tahun 2019, nyaris setengah juta pasangan suami istri (pasutri) di Indonesia cerai sepanjang 2019. Dari jumlah itu, mayoritas perceraian terjadi atas gugatan istri. Berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung (MA) 2019 yang dikutip detik.com, Jumat (28/2/2020) perceraian tersebar di dua pengadilan yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama. Pengadilan Agama untuk menceraikan pasangan muslim, sedangkan Pengadilan Negeri menceraikan pasangan nonmuslim.
Dari data Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, hakim telah memutus perceraian sebanyak 16.947 pasangan. Adapun di Pengadilan Agama sebanyak 347.234 perceraian berawal dari gugatan istri. Sedangkan 121.042 perceraian di Pengadilan Agama dilakukan atas permohonan talak suami. Sehingga total di seluruh Indonesia sebanyak 485.223 pasangan. (detik.com 28/2/2020)
Meningkatnya perceraian di kota-kota besar di Indonesia, memang menjadi bagian daftar panjang permasalahan yang dihadapi oleh negeri ini. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah untuk menekan angka perceraian yang semakin hari semakin meningkat, mulai dengan membangun program-program ditengah masyarakat seperti program pembangunan keluarga, program ketahanan ibu sampai membentuk undang-undang yang tersusun didalam draft RUU Ketahanan Keluarga.
RUU Ketahanan Keluarga bertujuan untuk membentuk keluarga yang berkualitas dan untuk menyelamatkan generasi mendatang, ditengah maraknya angka perceraian yang semakin meningkat. Dan RUU ini di kritik sejumlah kalangan karena dianggap terlalu mencampuri ranah privasi masyarakat dan merampas Hak Asasi Manusia. Di tambah adanya tumpang tindih dengan UU yang ada, misalnya pada pasal 25 tentang kewajiban suami dan istri yang telah diatur oleh dalam UU perkawinan No 1 Tahun 1974, kesehatan reproduksi yang juga sudah diatur dalam UU kesehatan. Dan saat ini program-program dari UU tersebut sudah berjalan.
Faktanya, UU tersebut nyata-nyata tidak bisa menghentikan berbagai masalah yang menimpa keluarga. Kemiskinan keluarga, krisis moral, kejahatan seksual terhadap anak dan perempuan, perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, dan sejumlah problem lainnya, alih-alih berkurang, justru dilaporkan meningkat jumlahnya
RUU Ketahanan Keluarga sejatinya, hanyalah solusi tambal sulam yang lahir dari sistem kapitalis sekuler yang memberikan hak kepada manusia, yang memiliki kekurangan dan keterbatasan untuk membuat hukum. Akhirnya menuai berbagai konflik dan permasalahan kehidupan termasuk permasalahan kekerasan pada perempuan yang mengakibatkan maraknya tingkat perceraian, yang berimbas pada ketahanan keluarga.
Hal ini menunjukan bahwa ketahanan keluarga tidak akan bisa terwujud jika RUU yang digunakan merujuk kepada sistem kapitalis sekuler. Karena sistem ini memandang perempuan dengan kacamata bisnis. Eksploitasi perempuan terus dilakukan dibarengi dengan opini pemberdayaan ekonomi perempuan, perempuan sebagai penggerak roda perekonomian, dan opini-opini lainnya, yang sebenarnya inilah yang menjadi akar permasalahan. Rezim sekuler tidak mampu memberi solusi tuntas atas problem keretakan RT karena akar masalahnya sistemis dan penyelesaiannya parsial bahkan cenderung kontraproduktif atau memunculkan masalah baru dalam Rumah Tangga
Ini bukti nyata bahwa konstitusi yang lahir dari pemikiran manusia yang pragmatis tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Dari paparan realita di atas, menguatkan keyakinan kita sebagai muslim bahwa aturan yang tidak bersumber dari syariah Allah subhanahu wa ta’ala telah menghasilkan gunungan masalah.
Institusi Islam, Rumah Besar Bagi Keluarga Berkualitas
Ketahanan keluarga hanya bisa diwujudkan dengan sistem yang bertingkat yakni sistem sahih yang datang dari Islam. Keluarga dalam naungan Institusi Islam mendapat support dari supra sistem untuk melangsungkan berbagai fungsinya. Fungsi agama, fungsi ekonomi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi perlindungan, kasih sayang, fungsi reproduksi, sosial dan lingkungan dapat berjalan ideal dengan adanya peran negara secara benar dan bertanggung jawab penuh.
Sistem ekonomi Islam yang menekankan pada distribusi kekayaan yang adil dan merata, menjamin pemenuhan kebutuhan setiap individu. Dengan kewajiban bekerja kepala keluarga untuk menafkahi keluarganya, memastikan bahwa para perempuan dan anak-anak yang berada dibawah tanggung jawabnya mendapat pemenuhan kebutuhan ekonominya. Bagi para janda atau sebatang kara dan tidak mampu bekerja maka negara menjamin pemenuhan kebutuhannya. Dan menjamin keluarga tersebut mampu untuk merealisasikan hukum syara’ dalam pengaturan keluarga. Seperti bisa membangun rumah dengan jumlah kamar sesuai dengan jumlah anggota keluarga, bisa memisahkan kamar orang tua dari anak-anak, dan juga kamar anak laki-laki dan perempuan.
Sistem pendidikan Islam didesain untuk melahirkan manusia baik (saleh) dan mushlih (memberi kebaikan) untuk kebaikan kehidupan dunia. Pendidikan keluarga menekankan pembentukan pribadi yang beriman kukuh dan bertakwa sebagai modal untuk ketundukan dan ketaatan kepada syariat-Nya. Pendidikan di tengah masyarakat melahirkan pribadi calon pemimpin dari hasil interaksi dengan umat, tempat menimba pengalaman hidup dan menempa mentalitasnya.
Pendidikan formal sekolah yang diselenggarakan negara menyempurnakan penguasaan murid terhadap ilmu dan pemahaman Islam, keterampilan hidup, dan penyiapan mereka untuk menjadi calon orang tua yang akan mendidik generasi selanjutnya. Pendidikan rumah, masyarakat dan juga sekolah yang mengacu pada hukum-hukum Islam, melahirkan calon suami dan istri yang paham hukum syara’ yang mengatur keluarga. Mulai dari memilih pasangan, pelaksanaan walimah yang syar’i, punya bekal untuk pendidikan agama bagi anak-anak, paham hak dan kewajiban suami-istri, dan sebagainya.
Sistem informasi dan media massa Islam menjadi bagian integral dari pembinaan keluarga yang berkualitas. Tidak ada kebebasan pers dalam Islam. Program-program pemberitaan dan acara dibuat untuk mencerdaskan publik akan hukum syara’. Cerdas karena memiliki tuntunan yang jelas dalam semua urusan hidupnya dan mampu memilah mana yang benar dan mana yang salah. Dan sistem layanan publik lainnya seperti kesehatan, transportasi, perumahan, informasi, pertanian dan sebagainya dikhidmatkan untuk melayani kebutuhan masyarakat akan hal tersebut, dengan penyediaan sarana yang memadai dan berkualitas. Sehingga semua keluarga dimudahkan untuk memperoleh hajat publiknya.
Alhasil, institusi Islam adalah rumah besar yang dapat mewujudkan ketahanan keluarga, sebagai dasar pembentukan bangsa yang berkualitas, dan umat terbaik yang mampu menjadi pemimpin peradaban dunia. Wallahu’alam