Oleh : M. Rezky Habibi R
Mahasiswa Magister Hukum ULM dan Peneliti, Pusat Studi Hukum dan Demokrasi (PuSdiKraSi)
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan penulis sebelumnya dengan judul “Bau Amis Money Politic” yang diterbitkan pada 13/04/2020 di opini Kalimantan Post.
Upaya untuk menutup kran bau amis money politic juga dilakukan melalui politik hukum pengaturan syarat calon kepala daerah, dengan memperketat syarat bagi mantan terpidana dalam Pasal 58 huruf f UU 32 Tahun 2004 “tidak pernah dijatuhi pidana penjara yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih”.
Adanya pola hubungan kausalitas antara praktik money politic dan korupsi didasarkan pada basis argumentasi bahwa money politic tidak hanya dimaknai secara sempit sebagai pemberian dalam bentuk uang dan barang kepada pemilih, akan tetapijuga persoalan jual-beli e-KTP sebagai syarat dukung calon perseorangan, jual-beli perahu dukungan partai politik dan proses rekrutmen calon oleh partai politik hingga lemahnya regulasi yang mengatur aliran sumber pendanaan swasta (pemilik modal) melalui partai politik untuk kampanye memenangkan calon yang bersangkutan dengan imbalan paska pilkada, pemilik modal tersebut mendapatkan kedudukan istimewa melalui kemudahan akses baik dalam mendapatkan izin investasi di daerah maupun mendapatkan posisi penting dalam perusahaan BUMD dan lain sebagainya.
Akibat tingginya ongkos politik tersebut, calon ketika terpilih baik untuk mengembalikan modal besar yang digelontorkan pada saat proses pencalonan maupun praktik perilaku politik etis terhadap pemilik modal menjadikan tidak sedikit kepala daerah terjerumus dalam perilaku dan tindakan korupsi. Hasil penelitian Indonesia Corruption Watch menunjukan sedikitnya terdapat 253 (dua ratus lima puluh tiga) kepala daerah hingga tahun 2018 yang ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi (Indonesia Corruption Watch, 2019). Sehingga tidak berlebihan jika suatu keyakinan muncul bahwa pelaku money politic diyakini akan melakukan korupsi dalam jabatannya.
Oleh karenanya maka, pelbagai persoalan money politic dan korupsi menunjukkan pentingnya pengaturan tata kelola pilkada, khususnya aspek pencalonan. Hal ini perlu dilakukan agar praktik immoral sebagaimana dimaksud diatasbisa ditekan, pengaturan persyaratan pencalonan kepala daerah menjadi hal penting sebagai hulu dalam perbaikan sistem pilkada langsung.
Dalam pelaksanaan pilkada langsung itu sendiri, persoalan syarat calon bagi mantan terpidana menjadi isu krusial disetiap hajatan pilkada.Sejak syarat ketat yang diatur dalam UU 32 Tahun 2004 kemudian diatur kembali dalamUU 12 Tahun 2008 mendapatkan penguatanmelalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK)17/PUU-V/2007 dan4/PUU-VII/2009 dengan tafsir4 (empat) syarat yang berlaku secara kumulatif bagi mantan terpidana jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Adapun empat syarat tersebut; pertama, sepanjang tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai hukum tetap; kedua, berlaku terbatas untuk jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; Ketiga, kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan keempat, bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Syarat ketat tersebut harus dimaknai sebagai semangat untuk menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur dan berintegritas. Kendati demikian, upaya untuk memperlonggar syarat calon bagi mantan terpidana juga dilakukan oleh sebagian pihak melalui uji materiil UU 8 Tahun 2015 yang telah diganti dengan UU 10 Tahun 2016 dimana melahirkan putusan MK 42/PUU-XIII/2015 dan 71/PUU-XIV/2016 yang pada prinsipnya menghilangkan syarat kumulatif dalam putusan 4/PUU-VII/2009 dan hanya menyisakan satu syarat untuk mantan terpidana dapat menjadi calon kepala daerah, yakni secara terbuka dan jujur menyampaikan kepada publik bahwadirinya adalah mantan terpidana.
Walaupun MK memerintahkan calon yang pernah dipidana untuk mengumumkan kepada masyarakat secara terbuka, ternyata secara empirik hal ini sulit mencapai tujuannya, bahkan cenderung dilakukan dengan asal-asalan. Pengumuman kepada publik secara terbuka yang dilakukan oleh calon berstatus mantan terpidana tidak secara signifikan diketahui oleh rakyat daerah. Bahkan, pengumuman dilakukan hanyalah menjadi prasyarat formal untuk pelengkap syarat pencalonan semata.
Lebih dari itu, calon berstatus mantan terpidana hanya mengumumkan status mantan terpidananya melalui iklan layanan masyarakat yang sangat kecil di kolom koran daerah. Pada saat yang sama, KPU tidak punya instrumen untuk bisa menolak atau menafsirkan kualifikasi pengumuman tersebut apakah sudah bisa dianggap layak atau tidak untuk diketahui publik.Di sisi lain, KPU juga tidak memiliki instrumen hukum terkait teknis tersebut. Misalkan saja, apakah pengumuman melalui koran tersebut boleh dilakukan di daerah lain atau hanya di daerah mantan terpidana tersebut mencalonkan diri? apakah terdapat batasan besaran ukuran pengumuman melalui koran yang dipasang oleh calon?
Tidak adanya batasan yang terukur dan jelas bagi mantan terpidana, telah membuat banyaknya calon kepala daerah yang berstatus mantan terpidana ikut berkompetisi. Bahkan tanpa adanya waktu tunggu atau jeda, telah membuktikan mantan terpidana menjadi calon kepala daerah, kemudian terpilih secara faktual kembali melakukan tindak pidana yang sama, yakni korupsi. Dari beberapa data yang penulis himpun, kejadian tersebut terjadi di Kabupaten Kudus yang dilakukan oleh M. Tamzil. Bahwa ketika menjabat sebagai Bupati Kudus periode 2003-2008, kemudian menjadi terpidana kasus korupsi APBD tahun anggaran 2004 yang ditangani oleh Kejaksaan Negeri Kudus pada tahun 2014. Setelah bebas dari menjalani hukuman pidana pada tahun 2015, yang bersangkutan maju menjadi Bupati Kudus pada Pilkada 2018dan kemudian terpilih. Belum cukup satu tahun menjadi kepala daerah, yang bersangkutan ditangkap KPK karena kasus korupsi (Kompas, 2707/2019).
Berkenaan dengan hal tersebut,di Kabupaten Minahasa Utara. Pada 2008 Vonnie Anneke P yang saat itu menjabat sebagai Bupati Minahasa Utara divonis bersalah dalam kasus korupsi (kpk.go.id,08/05/2008). Pada Pilkada 2015, Vonnie dicalonkan kembali menjadi Bupati Minahasa Utarakemudian menang dengan perolehan suara 49.745, hanya terpaut 2.000 suara dari pesaingnya. Hingga kasus paling mutakhir adalah operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Bowo, di mana KPKmenemukan 400 ribu amplop dengan total 8 miliar rupiah yang siap digunakan Bowo untuk “serangan fajar” pemilu (Detik.com,29/03/2019).
Bahwa fenomena yang terjadi di Kabupaten Kudus dan Kabupaten Minahasa Utara serta kasus Bowo merupakan gambaran tentang lemahnya syarat pencalonan bagi mantan terpidana dan menjadi bukti setelah bertahun-tahun syarat longgar untuk menjadi calon kepala daerah dalam putusan MK42/PUU-XIII/2015 dan 71/PUU-XIV/2016 tidak memberikan penguatan nyata terhadap demokrasi lokal dan justru malah merusak sendi demokrasi itu sendiri.
Oleh karena itu maka, lahirnya putusan MK 56/PUU-XVII/2019 yang mengembalikan syarat ketat calon bagi mantan terpidana dengan berpegang kembali pada pendirian ratio decidendi putusan MK4/PUU-VII/2009merupakan upaya MK sebagai negatif legislator untuk menghadirkan pilkada demokratis substansial. Bahkan dalam logika alam demokrasi modern sekali pun, tidaklah tepat jika proses pemilihan sepenuhnya diserahkan kepada rakyat daerah tanpa persyaratan sama sekali dan semata-mata atas dasar alasan bahwa rakyatlah yang akan memikul segala resiko pilihannya. Dengan segala keterbatasan rakyat daerah, menjadi penting keterlibatan pemerintah dalam arti luas (MK) untuk berperan sebagai the guardian of democrazy dalam menyaring calon kepala daerah.
Berkenaan dengan hal itu, guna rakyat daerah dapat secara kritis menilai calon yang akan dipilihnya, perlu ada ketentuan bagi calon yang pernah menjadi terpidana karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara lima tahun atau lebihuntuk memenuhi empat syarat sebagaimana putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019, agar dapat beradaptasi kembali kepada rakyat daerah selaku konstituen sebelum ikut dalam kontestasi pilkada. Terpenting yang harus dipahami adalah syarat ketat tersebut bukanlah dalam kerangka MK mencabut hak politik mantan terpidana sebagai WNI yang haknya dijamin dalam UUD NRI 1945, akan tetapi mengingat hak politik dalam disiplin hukum HAM bersifat derogable rights maka syarat ketat tersebut harus dimaknai dalam rangka peran serta pemerintah untuk membatasi melalui instrumen hukum yang bersifat mengatur.
Dalam persoalan lain menurut hemat penulis, jika pun muncul pertanyaan terkait konsistensi pendirian MK pada putusannya maka,persoalan MK tidak konsisten terhadap putusan sebelumnya bukanlah pelanggaran terhadap UUD NRI 1945, selama terdapat argumentasi kuat yang mendasari sebagaimana dalam putusan MK.56/PUU-XVII/2019 dengan memperhatikan perkembangan dinamika proses demokrasi kekinian untuk membangun peradaban demokrasi ke-Indonesia-an itu sendiri. Lebih dari itu, persoalan MK tidak merujuk pada putusan 42/PUU-XIII/2015 dan71/PUU-XIV/2016 tetapi meloncat dengan merujuk pendirian putusan 4/PUU-VII/2009mestinya tidak perlu diperdebatkan lagi, mengingat yurisprudensi bukanlah sumber hukum utama dalam hukum Indonesia.
Paska ketuk palu putusan MK56/PUU-XVII/2019 yang merubah makna isi Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10 Tahun 2016 dan dengan terbitnya PKPU 1 Tahun 2020 yang mengakomodir pengaturan teknis syarat ketat calon bagi mantan terpidana harus menjadi momentum bagi KPU dan Bawaslu sebagai bagian dari lembaga tripartit penyelenggara pemilu yang diamanatkan Pasal 22Eayat (5) UUD NRI 1945 untuk membangun komunikasi intensif guna memastikan pada proses tahapan pencalonan yang sedang ditunda ini,4 (empat) syarat yang bersifat kumulatif harus dipenuhi bagi calon yang berstatus sebagai mantan terpidana, khususnya calon yang pernah melakukan tindak pidana kejahatan dengan ancaman pidana penjara lima tahun atau lebih.
Di sisi lain, partai politik sebagai peserta pilkada juga harus selektif dalam melakukan rekrutmen calon kepala daerah dengan memperhatikan jejak rekam sang calon, agar jangan sampai calon yang diusung adalah calon yang tidak memenuhi prasyarat yang ditetapkan UU, putusan MK dan PKPU. Sehingga harapan untuk menghadirkan kontetasi Pilkada demokratis substansial melalui calon kepada daerah yang bersih, berkualitas dan berintegritas menjadi hulu dalam mewujudkan pembangunan daerah.