Iklan
Iklan
Iklan
OPINI

Kesiapan Banua Menghadapi Covid-19

×

Kesiapan Banua Menghadapi Covid-19

Sebarkan artikel ini

Oleh : Siti Rahmah, S.Pd
Pemerhati Masalah Sosial

Kementerian kesehatan RI akhirnya menetapkan tambahan Laboratorium Pemeriksaan Coronavirus Disease 2019 di Indonesia. Salah satu yang terpilih adalah Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Penegndalian Penyakit (BBTKLPP) Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

Android

Penetapan lokasi laboratorium Covid-19, langsung dibahas oleh Tim Gugus Tugas pencegahan Pengendalian dan Penenganan Covid-19 di Gedung Idham Chalid, Setdaprov Kalsel.

Tim Gugus Tugas Covid- 19 telah menyatakan satu pasien dalam pemantauan (PDP) positif terpapar virus Corona atau Covid-19. Selain diterapkannya satu orang pasien yang terpapar virus corona. Terjadi penambahan jumlah PDP di kalsel. Ketua Tim Gugus Tugas kalsel., muslim, mengatakan ada satu orang yang ditetapkan sebagai PDP.

Muslim juga merunutkan bahwa sebelumnya satu orang PDP sempat dinyatakan meninggal dunia. Namun, ia memastikan bahwa pasien yang ,meninggal tersebut dinyatakan negative virus corona. Atas kondisi ini, muslim menghimbau Bupati dan walikota di kalselsigap mengantisipasi penyebaran Covid-19 seiring ada satu orang positif corona.

Corona Virus Disease 19 (Covid-19) terus menyebar ke berbagai arah. Semua disasar. Tak peduli agama, suku, ras, tempat tinggal maupun status social. Per 1 April 2020 sudah mencapai 1.677 kasus positif , 167 meninggal dunia dan 103 sembuh. Artinya, rata-rata tingkat kematiannya mencapai 9,36 persen .

Data-data penyebaran dan korban kasus Covid-19 bukan sekedar data statistic. Didalamnya ada kepiluan, kelelahan dan tangisan. Sebabnya, Negara tak hadir mengurusi kesehatan rakyatnya.

Saat ini paramedic yang berada di garda terdepan penanganan Cpvid-19 sudah mengalami kelelahan. Pasalnya, jumlah pasien lebih banyak dari kapasitas rumah sakit. Kesedian alat pelindung diri (APD) bagi para medis sangat minim. Mereka harus bertarung di garda terdepan tanpa perlindungan yang memadai. Karena itu mereka juga rawan terpapar oleh Covid-19. Beberapa dokter dan tenaga kesehatan telah menjadi korban keganasan Covid-19. Saat yang sama, kapasitas rumah sakit rujukan terbatas. Tak bisa melayani semua pasien. Rumah sakit terpaksa harus membuat prioritas.

Arus perpindahan manusia, barang dan angkutan dari dan ke zona merah terus berlangsung, bahkan saat ini terjadi fenomena mudik skala besar dari Jakarta ke daerah asal karena ekonomi sedang lesu di Jakarta. Hal ini tentu akan menyebabkan penyebaran Covid-19 semakin tak terkendali.

Seiring waktu, kasus terkait Covid-19 di Indonesia semakin meningkat. Beberapa kepala daerah berusaha membuat kebijakan masing-masing untuk menangani Covid-19. Hampir tidak ada kepemimpinan dari pusat dalam penaganan Covid-19. Desakan lockdown atau karantina wilayah pun disampaikan oleh banyak kalangan.

Tampaknya, banyak hal yang membuat pemerintah galau dan sangat gagap menghadapi kasus wabah Corona. Buruknya kualitas kepemimpinan, parahnya kondisi keuangan negara serta kuatnya ketergantungan kepada asing nampak menjadi alasan utama.

Namun ironisnya yang selalu jadi alasan adalah kepentingan rakyat banyak. Jika Indonesia benar-benar lockdown, maka terlalu banyak risikonya. Ekonomi akan mandek. Dan ujung-ujungnya, rakyatlah yang akan menderita. Begitu katanya.

Akibatnya, rakyat dibiarkan dalam ketidakpastian. Edukasi dan informasi yang kurang membuat mereka mengambil sikap yang beragam. Sosialisasi protokol kesehatan yang lamban disampaikan dan setengah-setengah ditegakkan pun tak efektif membantu langkah pencegahan.

Selain karena ada masyarakat yang “terpaksa” wara-wiri untuk mencari penghidupan, tak sedikit pula yang berkeliaran karena kebodohan. Sekolah diliburkan. Tapi sebagian malah memakainya untuk jalan-jalan dan liburan. Mal, pasar, warnet, bioskop tetap saja ramai dikunjungi warga termasuk anak-anak sekolah tanpa rasa bersalah.

Untuk memutuskan lockdown saja, galaunya luar biasa, serba dilema. Hari ini, banyak rakyat yang marah, karena dalam situasi gawat seperti ini pemerintah masih melegalkan puluhan tenaga kerja asal Cina –wilayah sumber wabah Corona– masuk ke Indonesia.

Semua ini adalah dampak sistem hidup yang diterapkan penguasa. Mulai dari politik, ekonomi, sosial, hukum, dan lainnya yang terbukti telah sukses menjatuhkan Indonesia pada multi krisis. Sehingga anugerah kelebihan yang Allah beri, mulai dari SDM, SDA, posisi geopolitik dan geostrategis, tak berhasil membuat negeri ini kuat dan berdaya. Malah jadi sasaran empuk penjajahan.

Posisi rakyat di negeri ini pun mirisnya luar biasa. Bak tikus mati di lumbung padi. Jauh dari kata sejahtera. Kesehatan, pendidikan, keamanan, semua serba mahal. Rakyat bahkan harus membeli haknya kepada penguasa atau pada pengusaha yang dibeking dan membekingi penguasa.

Berbeda dengan paradigma kepemimpinan dan watak sistem Islam. Dalam Islam, kepemimpinan dinilai sebagai amanah berat yang berkonsekuensi surga dan neraka. Dia wajib menjadi pengurus dan penjaga umat.

Seorang pemimpin pun dipandang seperti penggembala. Layaknya gembala, dia akan memelihara dan melindungi seluruh rakyat yang menjadi gembalaannya. Memperhatikan kebutuhannya, menjaga dari semua hal yang membahayakannya, dan menjamin kesejahteraannya hingga bisa tumbuh dan berkembang biak sebagaimana yang diharapkan.

Sistem Islam, betul-betul menempatkan amanah kepemimpinan selaras dengan misi penciptaan manusia dan alam semesta. Yakni, mewujudkan rahmat bagi seluruh alam, tanpa batas imajiner bernama negara bangsa. Sistem ekonomi Islam akan membuat negara punya otoritas terhadap berbagai sumber kekayaan untuk mengurus dan membahagiakan rakyatnya. Di antaranya menerapkan ketetapan Allah swt bahwa kekayaan alam yang melimpah adalah milik umat yang wajib dikelola oleh negara untuk dikembalikan manfaatnya kepada umat.

Bayangkan jika seluruh kekayaan alam yang ada di negeri ini dan negeri Islam lainnya diatur dengan syariat, maka umat Islam akan menjadi negara yang kuat, mandiri dan memiliki ketahanan secara politik dan ekonomi. Bukan seperti sekarang, negara malah memberikannya kepada asing.

Dengan demikian, negara akan dengan mudah mewujudkan layanan kebutuhan dasar baik yang bersifat individual dan publik bagi rakyatnya, secara swadaya tanpa bergantung sedikitpun pada negara lain. Bahkan negara lainlah yang bergantung kepada negara khilafah.

Sehingga saat negara dilanda wabah penyakit, sudah terbayang negara akan mampu mengatasinya dengan kebijakan tepat dan komprehensif. Lockdown akan mudah diterapkan sebagai bagian dari pelaksanaan syariat, tanpa khawatir penolakan, tanpa halangan egoisme kelokalan dan tanpa khawatir kekurangan banyak hal.

Rakyat pun akan taat karena paham kepentingan dan merasa tenteram karena semua kebutuhannya ada dalam jaminan negara. Sementara tenaga medis akan bekerja dengan tenang karena didukung segala fasilitas yang dibutuhkan dan insentif yang sepadan dengan pengorbanan yang diberikan. Bahkan riset pun memungkinkan dengan cepat dilakukan. Hingga ditemukan obat yang tepat dan wabah pun dalam waktu cepat bisa ditaklukkan.

Iklan
Iklan