Oleh : Togi Leonardo Situmorang, SH
Asisten Penerimaan & Verifikasi Laporan Ombudsman RI Perwakilan Kalsel
Covid-19 yang saat ini sedang mewabah dan dinyatakan sebagai pandemi, memaksa pemerintah untuk mengakuinya sebagai jenis penyakit yang memiliki faktor resiko yang tinggi. Atas pandemi ini, pemerintah kemudian menetapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020. Maka, berbagai macam himbauan terus disampaikan, social distancing, physical distancing, sampai kepada yang lebih tegasya itu penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Membatasi orang keluar rumah, meminimalisir berkumpulnya orang di fasilitas publik, meniadakan kegiatan keagamaan di tempat ibadah, peliburan sekolah dan tempat kerja, semua langkah ini diterapkan semata-mata demi mencegah penularan penyakit ini yang tergolong sangat cepat.
Konsekuensi dari pembatasan ini sangat berdampak luas. Aktivitas di luar rumah terbatas. Tempat usaha banyak yang tutup. PHK terjadi, pengangguran meningkat, karena tempat usaha tidak lagi menjalankan usahanya. Akhirnya, masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari usaha seperti ini, dan dari sektor informal lainnya kemudian kehilangan penghasilan.
Melihat hal ini, maka diperlukan suatu kebijakan guna meminimalisir resiko yang timbul, dalam berbagai sektor. Salah satunya adalah dampak ekonomi. Ini menjadi sangat penting, karena pembatasan ini mengakibatkan perputaran ekonomi di masyarakat menurun, bahkan terhenti. Salah-salah, konflik sosial bisa terjadi, karena orang perlu makan, memenuhi kebutuhan hidupnya. Bagaimana bisa itu terpenuhi, sedangkan penghasilan mereka saja tidak ada.
Salah satu kebijakan yang kemudian diambil, dan menjadi titik harapan masyarakat, bermula dari pidato Presiden RI, yang menyatakan akan meringankan cicilan, bahkan melakukan penangguhan pembayaran kredit bagi pihak yang terdampak Covid-19. Sebagaimana diketahui, mungkin banyak masyarakat yang mengajukan kredit, baik itu di bank maupun di lembaga keuangan lainnya. Ini dilakukan sebagai sarana penunjang hidupnya, baik sebagai modal usaha maupun fasilitas pendukung lainnya. Pidato inilah yang menjadi dasar pemikiran masyarakat, harapan baru, di tengah krisis saat ini, bahwa beban mereka tidak bertambah berat. Di satu sisi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah susah, penghasilan jauh berkurang, ditambah lagi kewajiban membayar angsuran kredit sampai saat ini. Ini salah satu kebijakan yang sangat dinantikan.
Pidato ini kemudian dilegalisasikan sebagai suatu peraturan yang tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11/POJK.03/2020, sebagai payung hukum pemberian keringanan kredit bagi nasabah dari pihak Perbankan, dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 14/POJK.05/2020 sebagai payung hukum pemberian keringanan kredit bagi nasabah dari pihak jasa keuangan non bank/leasing menghadapi pandemic ini. Istilahnya pun menjadi restrukturisasi kredit.
Namun, harapan kadang tak sesuai kenyataan. Banyak masyarakat yang kemudian berbondong-bondong mengajukan keringanan. Tapi tidak sedikit yang menjadi keluhan, karena berbagai hal. Keringanan ini tidak seperti apa yang disampaikan. Kembali lagi, masyarakat harus bersandarkan pada aturan. Tidak bisa merujuk pada pidato.
Saat awal diterapkansaja, masyarakat sudah dibuat bingung. Bagaimana SOP pengajuan keringanan kreditnya, seberapa cepat prosesnya, berapa jangka waktu persetujuannya, standar penilaian yang digunakan seperti apa. Bahkan, beberapa leasing yang menerima pengajuan menyatakan bahwa belum ada instruksi dari pimpinan untuk pemberian keringanan. Selain itu makna mengenai nasabah yang terdampak Covid-19 di aturan ini terkesan dapat ditafsirkan beragam. Apakah orang yang dinyatakan positif, apakah hanya untuk ojek maupun taksi online saja, atau yang seperti apa. Akhirnya, tergantung penilaian masing-masing perbankan/leasing. Bisa saja seseorang dianggap tidak terdampak dan ditolak pengajuannya, karena tidak terjangkit, bukan merupakan ojek maupun taksi online. Padahal ternyata semenjak Covid-19, ekonominya sangat terpuruk, akibat keterbatasan akses kegiatan di luar rumah.
Aturan ini juga menyatakan pihak bank/leasing “dapat” memberikan restrukturisasi kredit/pembiayaan bagi terdampak Covid-19. Artinya bukan merupakan suatu kewajiban. Kalau perbankan/leasing maumeberikan keringanan, aturan ini sebagai dasarnya, kalaupun tidak ya tidak masalah. Sanksinya pun tidak ada. Penilaian terhadap nasabah yang akan diberikan keringanan juga ditentukan oleh pihakbank/leasing itu sendiri. Diberikan atau tidak, hanya berdasarkan subjektifitas lembaga. Kalau kata merekatidak pun, masyarakat pun tidak bisa berbuat banyak. Tidak ada pengawasan dalam pemberian semacam ini, karena bukan merupakan kewajiban.
Masyarakat berpendapat soal penangguhan yang disampaikan, adalah diberikan kesempatan untuk tidak membayar cicilan sampai maksimal 1 (satu) tahun, sampai pandemi ini mereda. Mereka tetap akan membayar cicilan sampai lunas. Namun bentuknya tidak demikian. Penangguhan model seperti itu hanyalah salah satu opsi. Mau dipakai atau tidak, itu kebijakan masing-masing pemberi kredit. Kebanyakan yang terjadi adalah meringankan tagihan bulanan, tapikemudian masa kredit diperpanjang. Artinya kewajiban membayar tiap bulan tetap harus dilakukan. Masyarakat kemudian bingung, diturunkan nominal, tetap saja mereka kesulitan membayar. Untuk kebutuhan sehari-hari saja kesusahan. Belum lagi debt collector yang terus mengejar untuk melakukan penagihan. Padahal sudah dilarang.
Hal ini menekan masyarakat, tersandera, tidak mampu bayar, kemudian menerima saja tawaran relaksasi dengan mengurangi nominal cicilan per bulan, namun tenornya diperpanjang. Apabila dikalkulasi, ternyata total bayarannya lebih besar. Masyarakat mau tidak mau akhirnya menerima tawaran ini, mekanismenya pun lebih kepada negosiasi. Dalam hal negosiasi seperti ini, masyarakat tidak dalam posisi diuntungkan. Kalau mau silahkan, kalau tidak ya bayar seperti biasa.
Karena bukan keharusan. Tidak ada pengawasan, apalagi sanksi bagi yang tidak mengikuti program ini. Pengimplementasiannya juga beragam. Otoritas Jasa Keuangan seharusnya dapat melakukan pengawasan sampai kepada berkas pengajuan yang diajukan nasabah di awal. Apabila masyarakat ditolak, dapat mempertanyakan kepada pihak perbankan/leasing soal alasan penolakan. Tapi tidak demikian, kenyataan yang terjadi di lapangan, tidak sesuai harapan di awal.
Seharusnya program ini jadi landasan untuk berbuat sosial, dan membantu pemerintah meringankan beban masyarakat. Kedepan, fasilitas kredit ini pasti masih akan sangat dibutuhkan. Tentu tidak ada salahnya di masa seperti ini juga turut berkontribusi. Selektif dalam memilih nasabah untuk diringankan tentu perlu, guna menghindari masyarakat mampu yang turut mengambil kesempatan. Tapi jangan sampai menutup mata bagi masyarakat yang memang sangat membutuhkan. Apalagi sampai mencari peluang keuntungan tambahan. Program ini harus tepat sasaran dan sesuai yang dijanjikan. Bukan pepesan kosong belaka. Ekonomi yang terpuruk masih bisa dibangkitkan, tapi kepercayaan masyarakat yang jatuh susah untuk dibangun kembali.