Oleh : Mahrita Julia Hapsari, M.Pd
Praktisi Pendidikan
Silakan pergi ke Pasar Lama di pagi hari, akan anda dapati interaksi pembeli dan penjual seperti biasa, seperti sebelum Covid-19. Coba keluar rumah ketika jelang buka puasa, sekitar jam 5 sore, akan anda lihat kerumunan orang di setiap warung wadai dan makanan. Bedanya, mereka semua menggunakan masker. Itu saja, selebihnya, sama seperti sebelum covid.
Wajar jika Ketua IDI Kalsel, Dokter Rudiansyah mengatakan bahwa PSBB Banjarmasin abal-abal (jejakrekam.com, 09/05/2020). Hanya terlihat ketika malam saja. Sedikit sepi karena masjid-masjid tidak mengadakan tarawih dan tadarus berjama’ah.
Memang dilematis bagi Kota Banjarmasin untuk memaksa semua warga di rumah saja sepanjang hari selama 2 pekan. PAD hanya dari pajak pariwisata dan perdagangan.
Pintarnya pemerintah pusat, kebijakan PSBB diserahkan kepada pemerintahan daerah dengan segala konsekuensi. Termasuk menanggung dana Bansos. Tentu takkan mampu mengcover semua warga yang terkategori tak mampu.
Bagi pedagang di pasar, jika tidak berjualan maka dari mana bisa menghidupi keluarga. Penjual makanan pun mengemukakan alasan yang sama. Apalagi bulan Ramadan, biasanya ada pasar Wadai yang dibanjiri pembeli. Namun tahun ini, terpaksa membuka lapak-lapak sendiri di depan rumah ataupun di pinggir jalan raya, demi tetap bisa berjualan dan menambah pemasukan keluarga.
Sementara, jumlah kasus positif covid dan korban yang meninggal di Banjarmasin masih menunjukkan tren kenaikan. Artinya, PSBB dalam dua pekan ini masih belum signifikan menurunkan laju penyebaran virus. Wajar, PSBB nya abal-abal.
Posisi pemerintah daerah memang serba salah. Ingin bertindak lebih protektif ke warga, terkadang justru dihambat oleh pemerintah pusat. Masih ingat dengan pencabutan perda larangan miras oleh pemerintah pusat. Atau gagalnya menyelamatkan meratus dari eksploitasi SDA oleh asing karena perusahaannya telah mendapat izin dari pusat. Pemerintah daerah bisa apa?
Sebenarnya Banjarmasin bisa melakukan lebih dari sekedar pengumuman PSBB. Asalkan ada kerjasama semua pihak. Dan yang utama, basic need masyarakat terpenuhi. Rakyat akan patuh tidak keluar rumah jika semua kebutuhannya dipenuhi.
Pemerintah hanya menjamin ketersediaan kebutuhan pokok, namun tidak menjamin sampai tidaknya di tangan setiap orang. Hanya menyebutkan stok beras aman, gula aman, dan lain-lain. Sementara di sudut kota, ada yang tidak memiliki beras satu butir pun karena tak memiliki uang untuk membeli beras.
Inilah cara-cara kapitalisme dalam mengurusi rakyat. Pemerintah hanya berfungsi sebagai regulator. Terutama pengatur bagi para kapital dalam menguasai SDA dan hajat hidup manusia. Sementara pemerintah hanya mengambil pajak yang jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan hasil SDA jika mengelola sendiri.
Pandemi ini jadi berlarut-larut karena tidak seriusnya penguasa negeri menangani wabah. Semestinya, semua sumber daya yang ada dimaksimalkan untuk kesehatan dan pemenuhan kebutuhan pokok seluruh rakyat.
Nanti dulu masalah ekonomi, apalagi “ekonomi” yang dimaksud pemerintah adalah perbankan, bursa saham, dan asuransi. Bukan ekonomi kerakyatan atau Usaha Menengah, Kecil dan Mikro (UMKM). Padahal 90% tenaga kerja terserap oleh UMKM.
Jaring Pengamanan Sosial (JPS) yang digelontorkan oleh pemerintah ternyata penuh intrik. Untuk BLT dan Bansos, mulai dari data yang tidak valid hingga pengurusan administrasi yang berbelat-belit. Untuk kartu PraKerja, mulai dari salah sasaran, ketidaksesuaian materi tutorial dengan harga pelatihan, hingga belum cairnya dana segar yang hanya Rp600.000/bulan selama empat bulan. Kesan asal ada, asal dibilang care, pun berasa di tiga JPS itu.
Namun, itulah cacat permanen dari sistem kapitalisme. Mereka tak memiliki konsep dalam menangani wabah. Mereka hanya punya cara mempertahankan kekuasaan dan memperkaya diri sendiri serta golongan. Hingga wajar tak ada dana mengurusi rakyatnya.
Alasan inilah mengapa kita harus merujuk kembali kepada sistem Islam. Sistem yang penuh barokah ini bukanlah sistem yang bebas dari wabah. Karena sistem Islam adalah sistem manusiawi. Sistem ini mampu menangani wabah secara manusiawi dan penuh keberkahan.
Pertama, wilayah asal wabah segera dikunci. Tidak ada yang diijinkan masuk dan keluar dari wilayah wabah. Sebagaimana hadits Rasul SAW : “Barangsiapa mendengar suatu wabah di suatu tempat, janganlah memasuki tempat itu dan apabila terjadi wabah sedangkan engkau berada pada tempat itu maka janganlah keluar dari tempat itu”. (HR. Muslim dan Ahmad)
Kedua, segera dilakukan screening antara yang sakit dan sehat. Kemudian dilakukan pemisahan dengan mengkarantina yang sakit di suatu wilayah. Sementara yang sehat, bisa beraktifitas normal seperti biasa, di luar wilayah karantina.
Kepada yang di karantina, dijamin kebutuhan pokoknya hingga pelayanan kesehatan yang terbaik. Diberi bekal ruhiyah untuk bersabar dan janji pahala syahid jika meninggal selama masa karantina. Sementara yang di luar, diminta tidak memasuki wilayah karantina. Hal ini berdasarkan hadits Rasul SAW : “Hindari orang yang berpenyakit kusta seperti kalian menghindari singa”. (HR. Abu Hurairah).
Ketiga, sistem kesehatan yang mumpuni. Mulai dari screening hingga pengobatan dan penemuan vaksin pencegah penyakit. Memerlukan peran penuh negara, karena biaya yang dibutuhkan tidak sedikit.
Pemenuhan kebutuhan pokok berupa jaminan pangan, kesehatan, dan keamanan merupakan kewajiban negara kepada seluruh rakyat. Sebagaimana hadits Rasul SAW : “Barangsiapa yang bangun di pagi hari mendapati sehat badannya, aman kelompoknya, dan ada makanan untuk dimakan, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya”. (HR. Bukhari, Abu Daud). Integrasi sistem ekonomi dan politik Islam akan memback up seluruh dana untuk pemenuhan kebutuhan pokok rakyat.
Dan satu-satunya negara yang bisa melaksanakannya adalah negara bersistem Islam kaffah. Karena penerapan syariat Islam akan menjadi rahmat bagi semesta alam. Menjadi urgen bagi kita untuk meninggalkan sistem kapitalisme dan kembali pada sistem Islam. Bukan hanya untuk menyelesaikan wabah, namun juga untuk kelangsungan hidup seluruh manusia. Wallahu a’lam.