Oleh : Benny Sanjaya, SH, MH
Asisten Muda bidang Penerimaan Verifikasi Laporan
Ombudsman RI Prov Kalsel.
Sudah lumrah, bila pengurus RT diisi oleh orang-orang sepuh di lingkungan tempat tinggal, oleh para “tetuha” kampung, pensiunan pegawai, ada juga beberapa yang diisi jagoan kampung. Tidak menyangsikan. Tapi dirasa kreatifitas mereka terbatas. Pasif dan agenda tahunan yang dikerjakan itu-itu saja. Bisa dibaca selain tugas administrasi kependudukan warga, bila ada agenda yang melibatkan warga, fokus tetuha tadi di hari besar keagamaan, menghias sebanyak-banyaknya bendera dan umbul-umbul bila sudah di bulan Agustus, mengelola iuran warga, atau mengurus rukun kematian.
Andai saja milenial ambil bagian dalam mengurus RT nya. Kreatifitas tanpa batas pasti turut menyokong warga sekitarnya. Boleh jadi kreatifitasnya bisa mendatangkan nilai ekonomis bagi warga di lingkungannya. Contoh saja, bila milenial terdidik andil dalam masalah politik skala kecil di lingkungannya, serangan fajar politikus, spanduk wajah nampang musiman tanpa dikenal, tidak sembarangan bisa masuk mengganggu pemandangan lingkungan.
Jangan diragukan. Mereka sangat kompeten hanya sekedar jadi panitia pemilu di TPS lingkungannya, kenapa tidak? Integritas mereka belum diragukan, mereka lebih cekatan, mobilitas kuat, fisik pun kuat. Boleh jadi keadaan Pemilu sebelumnya, yang mengakibatkan banyaknya sepuh-sepuh petugas TPS tumbang akibat kelelahan, tidak lagi banyak terjadi. Menyangsikan mereka mengurus TPS, padahal mereka lah kelak yang menggerakkan roda ekonomi dan pemerintahan bangsa ini
Penulis miris. Melihat para milenial lebih memilih bergerombol di warung kopi mahal, sibuk mengisi waktunya tidak untuk hal yang produktif, bersantai sekedar bermain game online bersama, hingga berlarut pagi.
Gardu-gardu RT jadi markas domino para bapak penghobi bergadang, satu persatu tertular bergabung ke gardu dari rayuan di grup WA. Se ecek WA, padahal Milenial tadi lebih melek teknologi, dari si bapak. Boleh jadi saat mereka yang dipercaya mengelola data warga lingkungan, urusan bansos covid yang diserahkan kepada RT, tidak sampai dobel-dobel, kepada si mampu yang tetap maruk menerima, dan yang prasejahtera turut terverifikasi menerima, karena proaktifnya milenial di lapangan.
Bonus demografi 10 tahun kelak, membuat mereka perlu dipersiapkan mengelola masyarakat, tidak melulu dijejali ilmu kesarjanaan, biarkan mereka mendapat bekal praktik pengetahuan dari skala kecil di lingkungannya.
Milenial yang dapat disebut juga Pemuda, berusia 16–30 tahun menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan. Secara garis besarnya UU ini, memberi amanat pemuda untuk berperan aktif dalam kontrol sosial, membangkitkan sikap kritis terhadap lingkungan. Pemuda mempunyai pintu partisipatif, dalam perumusan kebijakan publik, bahkan menjamin transparansi dan akuntabilitas publik.
Konkritnya, mereka berkesempatan berperan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, sampai evaluasi, bahkan terlibat dalam pengambilan keputusan strategis program kepemudaan di pemerintahan. Memang aplikatifnya, pemerintah daerah (Pemda) menyodorkan urusan kepemudaan di tangan Komisi Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) daerah, Karang Taruna di desa/kelurahan. Tapi belum menyentuh sampai tingkat RT, bukan ide lucu, mobilitas milenial dalam bergaul, nyatanya lebih jauh hanya sekedar di sekitaran Kelurahannya, mobilitas luas tanpa batas ruang, patut juga membawa ide gagasan yang lebih terbuka, bila diterapkan di lingkungannya sendiri.
Jadi, jangan jadikan lingkungan tempat tinggalnya, lebih asing daripada lingkup bergaulnya yang sudah sedemikian luas. Rekan seusia di lingkungannya, yang seharusnya bisa bergabung menuangkan ide-ide kreatifnya untuk membangun lingkungannya, tidak lebih dikenalnya dari teman nongkrong dan partner game online nya yang ada di sebrang pulau.
Siapa yang kemudian di sorot, Pemda utamanya, mestinya peka akan hal ini. Semangat kepemudaan untuk bergotong-royong, membangun menggerakkan warganya, yang dahulu menjadi-jadi sudah purna, padahal dahulu kemajuan teknologi menyokong keterbukaan informasi, jauh sangat terbatas.
Bila masih semua urusan di handle sepuh-sepuh tadi, Prabot Gardu masih cukup tersedia TV dan teko kopi, bila untuk milenial, coba pemerintah daerah sediakan wifi. Menjadikan gardu pusat informasi, sangat luar biasa bila informasi terkoneksi rapi hingga tataran ini. Penulis pribadi lebih cocok dengan pemuda yang nongkrong di lingkungannya, memanfaatkan teknologi informasi untuk hal yang produktif lingkungannya. Tidak dibiarkan autis dengan gadget nya di warung-warung kopi.
Pemda mampu menstimulus, untuk menciptakan semangat kompetitif yang produktif, bagi milenial di tiap lingkungannya, membuat kampung yang biasa-biasa saja, menjadi istimewa. Lebih jeli lagi bila bisa mendatangkan nilai ekonomis lingkungannya, di tengah pandemi yang kian menggerus pendapatan masyarakat, baik di sektor formal maupun informal.
Kemungkinan terburuk, tiba fase bunus demografi kelak, diisi oleh milenial sarjana prematur, dan sarjana stok lama, yang kelimpungan mencari kerja, tanpa punya pengetahuan praktik, sedikit jiwa kompetitif dan produktif, apalagi bermental wirausaha. Berbanding terbalik, jadilah mereka-mereka lurus dengan mental konsumtifnya kelak, yang telah dipupuk sejalan keadaan mayoritas milenial kini. Negeri Tiongkok besar dan mapan, menjadi raksasa dunia, karena diisi orang tangguh bermental wirausaha mandiri, bukan mental fighter 1 vs 1000, bertarung untuk menjadi PNS berbekal sarjana sebagai pelengkap CV, bukan penunjang keahlian.
15 Juli tadi, ditetapkan sebagai hari keterampilan pemuda se dunia. Sibuk berjibaku dengan virus pelemah imun seluruh sektor, sayup tak terdengar, pemerintah mungkin lupa memberikan penghargaan, kepada para milenial berprestasi, yang senada dengan hak pemuda berprestasi untuk mendapat penghargaan, di Pasal 21 UU Nomor 40 Tahun 2009 tadi. Penghargaan sebagai pemecut bagi milenial, berkarya turut membantu, ditengah negara ini sedang ringkih, menahan gempuran krisis ekonomi di masa pandemi.
Sederhana saja. Penulis berharap, pemerintah tidak teledor mengarahkan kepintaran dan kelebihan milenial, untuk memanfaatkannya dalam hal yang produktif. Beri mereka ruang melalui skala kecil membangun lingkungan dari tempat tinggalnya sendiri. Manfaatkan KNPI yang sudah dibentuk, mengelola dan menunjuk penggerak muda, di lingkungan terkecil, yakni RT masing-masing, Adakan evaluasi bahkan kompetisi untuk menilai hasil. Petik hasilnya di tahun kemudian.
Milenial berpotensi terutama melek teknologi pasti dikatakan banyak. Pemerintah perlu mendorong, menyediakan tempat menumbuhkan dan menyalurkan potensi positifnya di lingkungannya. Berandai seolah kuda tangguh, sejatinya kuat dan gagah, tapi ada saatnya perlu dipecut agar semakin berlari, semakin maju.
Kampus tidak mesti menyuruh mahasiswanya kuliah kerja nyata (KKN), di lokasi yang jauh-jauh. Ataupun memaksakan mahasiswanya magang secara daring di kantor-kantor. Tidak terlalu efektif hemat penulis. Pandemi kali mau tidak mau mengubah kebiasaan normal perkuliahan. Pinta mereka, para milenial mengaplikasikan keilmuan, menelurkan kreatifitasnya, di lingkungannya sendiri, lingkup kecilnya di RT nya sendiri.