Oleh : Betty JN, S.Pd
Warga Banjarmasin, anggota komunitas menulis Revowriter
Kemiskinan menjadi sebuah kata yang tak asing lagi. Wujudnya pun nyata di tengah-tengah kita. Apalagi di masa pandemi seperti saat ini, diprediksi jumlahnya semakin meningkat.
Kepala Bappeda Kalsel H Nurul Fajar Desira, usai rapat bersama Pansus III LKPj 2019 DPRD Kalsel, Senin (18/5/2020), menyebutkan prediksi kenaikan angka kemiskinan hingga 25 persen atau mencapai lebih 5 persen. Menurutnya lagi, prediksi adanya peningkatan angka kemiskinan ini disebabkan penduduk yang sebelumnya tidak miskin kemudian menjadi miskin akibat tidak bisa mencari penghasilan selama pandemi Covid-19. Termasuk yang terkena PHK. (baritopost.co.id, 18/05/2020)
Kendati Pemerintah Provinsi Kalsel sudah menyiapkan strategi mengatasi angka kemiskinan agar jumlahnya tidak semakin bertambah. Namun, akankah angka kemiskinan akan bisa ditekan bahkan dihilangkan?
Selama ini diakui, tidak diketahui secara pasti mengapa jumlah penduduk miskin selalu ada dan cenderung bertambah. Biasanya dikaitkan dengan banyaknya musibah kebakaran atau gagal panen oleh petani di musim kemarau. Seperti dinyatakan oleh kepala BPS Kalsel pada 2019 lalu. (kalsel.prokal.co, 24/01/2020)
Karenanya, adanya pandemi covid-19 seolah mendapatkan alasan mengapa angka kemiskinan akan meningkat di tahun 2020 ini.
Sejatinya hal ini perlu ditelaah lebih mendalam, apakah benar musibah ataupun wabah menjadi penyebab utama meroketnya kemiskinan di Kalsel? Padahal musibah dan wabah adalah salah satu ketetapan Allah SWT. Artinya bukan ranah manusia, pun seharusnya bukan menjadi kambing hitam adanya kemiskinan. Dan manusia telah diberikan bekal akal oleh Allah SWT untuk bisa memikirkan dan mengupayakan hal-hal dalam jangkauannya. Termasuk memahami sebab kemiskinan dan bagaimana mengentaskannya.
Kemiskinan biasanya dikaitkan dengan kemampuan pemenuhan kebutuhan mendasar. Baik makanan maupun bukan makanan. Yang diukur dari sisi pengeluaran. Dari sinilah dinyatakan seorang warga miskin atau tidak. Yaitu ketika pengeluaran perkapita perbulan mereka di bawah garis kemiskinan disebut miskin. Dengan kata lain semakin konsumtif dianggap semakin sejahtera.
Sebagai contoh, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat garis kemiskinan pada September 2019 sebesar Rp440.538 per kapita per bulan. Sehingga mereka yang pengeluaran perkapitanya Rp445.000 saja sudah dianggap bukan miskin. Tanpa mempedulikan terpenuhi atau tidaknya seluruh kebutuhan pokoknya.
Sebenarnya hal tersebut bisa diterima, jika kebutuhan pokok masyarakat itu hanya pangan. Seminimnya pemenuhan akan diupayakan sendiri oleh individu masyarakat.
Hanya saja kebutuhan masyarakat tidak hanya itu. Ada kebutuhan sandang, papan, pendidikan juga kesehatan. Belum lagi kebutuhan akan listrik dan BBM. Yang semuanya harus dipenuhi dari kantong masyarakat sendiri. Lebih-lebih biaya yang dikeluarkan untuk itu semua tidaklah murah. Semakin menjadi beban tersendiri bagi masyarakat. Masih segar diingatan, naiknya iuran BPJS di masa pandemi ini, dan tidak turunnya harga BBM meski harga dunia anjlok.
Maka bisa dikatakan, kemiskinan adalah masalah sistemik. Harus dipandang dan diselesaikan secara sistemik pula. Sistem yang bersifat kapitalistik sekuler meniscayakan adanya kemiskinan. Ini sejalan dengan salah satu prinsip ekonomi kapitalis. Yaitu barang dan jasa yang ada tidak akan mampu mencukupi seluruh kebutuhan manusia yang tidak terbatas dan beragam.
Terlebih adanya kesalahan dalam melakukan pengaturan hak kepemilikan. Seperti SDA, yang seharusnya menjadi milik umum, dikelola oleh negara dan dikembalikan manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat. Tapi saat ini diserahkan kepemilikannya kepada swasta.
Alhasil negara tak punya pemasukan, kecuali bertumpu pada pajak dan hutang saja. Inilah yang menjadi penyebab pemerintah merasa berat memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan dalih keterbatasan anggaran, mereka tak bisa memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya. Menjadi nyatalah bahwa sistem ekonomi kapitalisme tak mampu menyejahterakan rakyatnya.
Beda ketika Islam mengatasi masalah kemiskinan pada rakyatnya.
Dalam Islam, distribusi kebutuhan pokok secara merata adalah hal utama. Sehingga negara fokus pada pemenuhan kebutuhan mendasar tiap individu masyarakat. Tanpa terkecuali. Kalaupun kebutuhan tersebut harus dibeli oleh masyarakat, dipastikan harganya terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
Sementara anggaran negara untuk pemenuhan tersebut diperoleh dari harta fai’, ghanimah, anfal, kharaj, dan jizyah, yang termasuk harta milik negara. Ditambah pemasukan dari hak milik umum berupa usyur, khumus, rikaz dan barang tambang. Juga penerimaan dari harta zakat. Jadi pendapatan negara dalam sistem Islam tidaklah dari pajak dan hutang. Meskipun dibolehkan jika dalam kondisi yang sangat terpaksa. Namun tetap dengan syarat dan ketentuan yang berlaku sesuai syariat.
Melihat banyaknya sumber bagi pendapatan dan negara di dalam sistem Islam, terbayang betapa besarnya harta negara yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat keseluruhan. Bahkan saat masyarakat sedang dilanda musibah atau wabah sekalipun. Dengan anggaran yang tak terbatas.
Lalu, mengapa kita masih ragu terhadap kemampuan sistem Islam dalam mengentaskan kemiskinan? Apakah kita tetap ingin berada dalam sistem kapitalis sekuler yang memelihara kemiskinan seperti hari ini? Wallahua’lam.