Oleh : M. Rezky Habibi R
Mahasiswa Magister Hukum, ULM dan Peneliti Pusat Studi Hukum dan Demokrasi (PuSdiKraSi) Banjarmasin
Pengawasan terhadap pelaksanaan pemilihan kepada daerah (pilkada) yang diamanatkan kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) melalui Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 (UU Pilkada) merupakan political will pembentuk UU (DPR dan Presiden) untuk menghadirkan pelaksanaan pilkada yang berasaskan langsung, umum, rahasia, jujur dan adil.
Berkenaan dengan asas adil, dalam pelaksanaan pilkada tidak hanya dimaknai secara sempit untuk menghadirkan keadilan bagi rakyat daerah sebagai pemegang kedaulatan dalam memberikan hak suara untuk memilih pasangan calon. Lebih luas, asas keadilan juga harus terimplementasi dalam setiap tahapan pelaksanaan pilkada. Implementasi asas keadilan dalam setiap tahapan pilkada menjadi salah satu tugas Bawaslu untuk mengawasi setiap tahapan. Salah satu tahapan yang menjadi fokus pengawasan Bawaslu adalah pengawasan terhadap jadwal penetapan pasangan calon.
Pengawasan terhadap jadwal penetapan pasangan calon yang dilakukan oleh Bawaslu adalah dalam rangka penegakkan Pasal 71 ayat (2) dan ayat (3) UU pilkada, khususnya terkait larangan melakukan penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon dan larangan menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.
Akan tetapi terbitnya PKPU Nomor 5 tahun 2020 yang merupakan perubahan atas PKPU Nomor 2 tahun 2020 merubah kembali kontruksi jadwal tahapan penetapan pasangan calon yang dijadwalkan pada tanggal 23 September 2020, sehingga berimplikasi terhadap tugas pengawasan Bawaslu khususnya batasan terhadap pengawasan “enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon” dalam UU Pilkada. Dalam pelaksanaan pilkada, pengaturan terkait tahapan merupakan proses penting untuk menjadi tolak-ukur memastikan pelaksanaan pilkada secara langsung yang berkeadilan dan berkepastian hukum. Hal tersebut ditandai oleh sebuah proses tahapan yang terukur dan bisa terprediksi, sehingga dapat melahirkan pemimpin yang memiliki legitimasi secara konstitusional.
Dalam kaitan ini, ruang untuk melakukan pengawasan pilkada disetiap tahapan menjadi penting. Mengingat pengawasan tahapan pilkada perlu dilakukan untuk menjamin terbangunnya sistem politik daerah yang demokratis dan transparan. Secara umum, tahapan pilkada dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama; tahapan persiapan dan kedua; tahapan penyelenggaraan. Dalam tahapan penyelenggaran, salah satu tahapan yang dilakukan pengawasan oleh Bawaslu adalah tahapan penetapan pasangan calon yang dijadwalkan pada tanggal 8 Juli 2020 berdasarkan PKPU Nomor 2 tahun 2020. Pengawasan terhadap tahapan penetapan pasangan calon ini berkaitan dengan pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu untuk memastikan tidak terjadinya penggantian pejabat, enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon yang dilakukan oleh Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri (Menteri Dalam Negeri).
Lebih jauh, ini berkaitan juga dengan larangan bagi Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota untuk menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.
Dengan kata lain, batasan waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sebagaimana dimaksud diatas jika dikaitkan dengan jadwal tahapan penetapan pasangan calon dalam PKPU Nomor 2 tahun 2020 yang dijadwalkan pada tanggal 8 Juli 2020 maka, Bawaslu melakukan pengawasan enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon dimulai dari 8 Januari 2020 sampai dengan 8 Juli 2020.
Penetapan Pasangan Calon Pasca PKPU 5 Tahun 2020
Fenomena munculnya penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Indonesia telah menimbulkan dampak luas pada aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Salah satu dampak Covid-19 dari aspek politik adalah pada proses perhelatan Pilkada serentak tahun 2020 yang dilaksanakan di 270 daerah di Indonesia yang sempat mengalami penundaan dan berubahan jadwal tahapan pilkada.
Diundangkannya PKPU Nomor 5 tahun 2020 pada prinsipnya telah menegasikan jadwal tahapan pilkada dalam PKPU Nomor 2 tahun 2020. Jika dicermati, PKPU Nomor 5 tahun 2020 tidak hanya berimplikasi pada perubahan jadwal pelaksanaan pemungutan suara yang dijadwalkan pada tanggal 9 Desember 2020. Akan tetapi juga, berimplikasi terhadap perubahan jadwal penetapan pasangan calon.
Jika merujuk pada PKPU Nomor 2 tahun 2020 jadwal tahapan penetapan pasangan calon dijadwalkan pada tanggal 8 Juli 2020, sedangkan dalam PKPU Nomor 5 tahun 2020 jadwal tahapan penetapan pasangan calon dijadwalkan pada tanggal 23 September 2020. Dengan kata lain, jadwal tahapan penetapan pasangan calon pada tanggal 8 Juli 2020 dalam PKPU Nomor 2 tahun 2020 tidak lagi memiliki daya laku mengingat terhitung sejak diundangkannya PKPU Nomor 5 tahun 2020 yang mengatur jadwal tahapan penetapan pasangan calon pada tanggal 23 September 2020. Sebagaimana dikenal dalam asas hukum lex posteriori deroget lex propri.
Implikasi mengatur jadwal tahapan penetapan pasangan calon pada tanggal 23 September 2020 jika dikaitakan dengan tugas pengawasan Bawaslu dalam menegakkan UU pilkada khususnya frase “enam bulan sebelum bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon” dalam Pasal 71 ayat (2) dan ayat (3) maka harus dimaknai enam tersebut didasarkan pada PKPU Nomor 5 tahun 2020 berdasarkan jadwal penetapan pasangan calon pada tanggal 23 September 2020 yang apabila dihitung mundur maka, fase “enam” dimulai dari tanggal 23 Maret 2020 sampai dengan 23 September 2020.
Dengan kata lain, paska terbitnya PKPU Nomor 5 tahun 2020, Bawaslu melakukan tugas pengawasan dalam Pasal 71 ayat (2) dan ayat (3) UU pilkada dimulai dari tanggal 23 Maret 2020 sampai dengan 23 September 2020. Maka menjadi penting untuk mengetengahkan pertanyaan bagaimanakah konstitusionalitas tindakan Bawaslu Kabupaten/Kota yang sedang menangani kasus temuan atau laporan dugaan pelanggaran Pasal 71 ayat (2) dan ayat (3) UU Pilkada diantara tanggal 08 Januari–22 Maret 2020 paska diundangkannya PKPU Nomor 5 tahun 2020?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, jika merujuk pada jadwal tahapan penetapan pasangan calon dalam PKPU Nomor 5 tahun 2020 yang dijadwalkan pada 23 September 2020, Bawaslu Kabupaten/Kota tetap dapat melanjutkan menangani temuan atau laporan dugaan pelanggaran Pasal 71 ayat (2) dan ayat (3) UU Pilkada. Akan tetapi, ketika tahapan penyelenggaraan pilkada telah memasuki tahapan penetapan pasangan calon dan telah ditetapkan pasangan calon pada tanggal 23 September 2020 nanti, maka kasus yang sedang ditangani Bawaslu Kabupaten/Kota tersebut akan gugur atau kehilangan.
Mengingat yang dimaksudnya enam bulan sebelum penetapan pasangan calon dalam Pasal 71 ayat (2) dan ayat (3) dalam UU pilkada harus dimaknai terhitung mundur sejak penetapan pasangan calon pada tanggal 23 September berdasarkan PKPU Nomor 5 tahun 2020. Artinya dari hitungan mundur 23 September 2020–23 Maret 2020. Jika dicermati Pasal 71 ayat (3) dalam UU pilkada, salah satu unsur yang harus terpenuhi adalah adanya “salah satu pasangan calon”. Jika dikaitkan dengan PKPU 5 tahun 2020, subjek hukum pasangan calon baru mulai muncul pada tanggal 23 September 2020. Itu artinya maka daya laku norma dalam Pasal 71 ayat (3) tersebut sejak tanggal 23 September 2020 setelah saat penetapan pasangan calon.
Dengan demikian, jika temuan dugaan pelanggaran terhadap Pasal 71 ayat (3) tersebut ditangani Bawaslu dan diteruskan ke Sentra Gakkumdu sebelum adanya subjek hukum pasangan calon pada tanggal 23 september 2020, maka akan berpotensi temuan dugaan pelanggaran tersebut akan gugur atau kehilangan objek, karena tidak terpenuhinya subjek hukum yaitu salah satu pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3). Tentu saja kondisi ini akan menyulitkan Bawaslu dalam menegakkan keadilan pilkada yang substantif.
Oleh karena itu terkesan politik hukum lahirnya pasal sebagaimana dimaksud diatas yang memuat frase norma “pasangan calon” tidak didasarkan untuk mengefektikan penegakan hukum pilkada, akan tetapi justru sebaliknya. Padahal nilai filosofis lahirnya pasal tersebut sebagai bentuk untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh pasangan calon yang berstatus sebagai Petahana dengan segala pengaruhnya terhadap birokrat dan potensi menyalahgunakan kewenangan dalam menggunakan program pemerintah untuk kepentingan pencalonannya kembali, dimana fakta empiris wabah covid-19 ditengah perhelatan pilkada justru memunculkan penyalahgunaan bantuan sosial yang dapat mengarah pada kegiatan politisasi bantuan sosial kepada masyarakat yang terdampak covid-19 (Kompas; Bawaslu: Bansos Covid-19 Ditempeli Foto Petahana, Indikasi Politisasi 01/05/2020) serta untuk mencegah tumbuh-kembangnya praktik politik sanak famili dari penguasa ketika terdapat kerabatnya yang mencalonkan diri.