Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Pencegahan Terorisme dan Peran Pemerintah Daerah

×

Pencegahan Terorisme dan Peran Pemerintah Daerah

Sebarkan artikel ini

Oleh : Togi Leonardo Situmorang, SH
Asisten Penerimaan & Verifikasi Laporan Ombudsman RI Perwakilan Kalsel

Kemarin, 1 Juni 2020, bertepatan dengan Hari Lahir Pancasila, masyarakat, khususnya Kalimantan Selatan, dikejutkan dengan peristiwa penyerangan, terjadi di Polsek Daha Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Saat itu, dengan sebilah samurai, seorang Pemuda menyerang anggota kepolisian yang tengah berjaga. Akibatnya, seorang personil polisi gugur, seorang lainnya mengalami luka. Pelaku akhirnya tewas, melalui tindakan tegas aparat. Tidak lama, peristiwa ini dikatakan sebagai aksi terorisme, dan pelaku ditengarai terpapar ideologi ISIS.

Kalimantan Post

Penanganan berlanjut, di berbagai tempat Densus 88 menangkap sejumlah orang lain, yang dianggap memiliki keterkaitan dengan aksi ini. Bahkan orang yang dianggap berperan membaiat, serta mendanai pelaku penyerangan, di tangkap di Kota Banjarbaru, dan masih berusia 24 tahun. Pelaku penyerangan sendiri masih berusia 20 tahun. Sangat miris, para pemuda ini justru terjebak dalam ruang pemahaman ideologi sempit, sampai nekat berbuat demikian.

Di Kalimantan Selatan, sangat minim informasi berkembangnya paham radikal, yang menjurus menjadi tindakan ekstrem. Wajar kemudian timbul kekhawatiran. Kalsel mulai dianggap sebagai lahan persemaian terorisme. Penyerangan di Polsek Daha Selatan hanya satu kasus. Tidak menutup kemungkinan pelaku lain juga memiliki rencana aksinya masing-masing. Apresiasi bagi petugas yang bergerak cepat melakukan penangkapan. Hal ini kemudian harus menjadi peringatan bagi pemerintah daerah. Perbuatan terorisme bisa terjadi dimanapun, dan mengilhami siapa saja.

Dalam penanganan tindak pidana terorisme, ujung tombaknya adalah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Namun, pemerintah daerah sebenarnya dapat mengambil peranan. Urusan terorisme bukan suatu hal yang dapat dikesampingkan. Harus ditempatkan sebagai prioritas. Peristiwa diatas dapat menjadi gambaran, ada kelengahan pendeteksian dini guna mencegah terjadinya aksi teror.

Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dibuat dengan tujuan untuk melindungi ideologi negara, menjaga keamanan dan ketertiban negara, serta memberikan rasa aman bagi masyarakat. Tidak bisa kemudian hanya berbicara penegakan hukum semata. Sebagian proses penegakan hukum dilakukan setelah peristiwa teror terlanjur terjadi. Maka, hal lain yang harus dijadikan prioritas adalah konteks pencegahannya. Disinilah pemerintah daerah harus berkontribusi. Sebagai wujud perlindungan kepada masyarakat. Jangan sampai setelah ada peristiwanya, ada korbannya, baru memberikan perhatian lebih.

UU No. 5 Tahun 2018 memberikan ruang yang mengatur soal pencegahan. Terdiri dari 3 (tiga) hal, Kesiapsiagaan Nasional, Kontra Radikalisasi, dan Deradikalisasi. Kesiapsiagaan Nasional adalah suatu kondisi siap siaga untuk mengantisipasi terjadinya tindak pidana terorisme. Kontra Radikalisasi merupakan suatu proses yang dilakukan terhadap orang atau kelompok orang yang rentan terpapar paham radikal terorisme, dimaksudkan guna menghentikan penyebaran paham, melalui kontra narasi, kontra propaganda, dan kontra ideologi. Sedangkan Deradikalisasi adalah suatu proses yang dilaksanakan untuk menghilangkan atau mengurangi dan membalikan pemahaman radikal terorisme yang terjadi. Ketiga proses diatas harus dilakukan secara terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan. Mengapa demikian ?,

Baca Juga :  Menggugat Gaya Hidup yang Memisahkan Kita dari Alam

Berbicara soal membalikkan paham radikal terorisme, bukan perkara mudah. Pandangan hidup, gagasan, dan citanya menjelma menjadi ideologi. Tertanam kuat di pemikirannya. Mempengaruhi cara bersikap, bertindak, bahkan dalam tahapan ekstrem, melakukan aksi teror tanpa rasa takut. Urusan hidup dan mati tidak lagi menjadi soal. Maka untuk merubah paradigma pemikiran itu, diperlukan usaha yang sistematis dan berkelanjutan. Jika tidak, potensi untuk kembali terpapar paham radikal terorisme akan selalu ada.

PP Nomor 77 Tahun 2019, berbicara soal pencegahan tindak pidana terorisme. pemerintah daerah dibukakan ruang keterlibatan melalui aturan ini. Seharusnya, BNPT tidak lagi terkesan berjalan sendiri. Tidak pula harus terus-terusan mendorong peran Kepala Daerah. pemerintah daerah seharusnya cukup dewasa untuk mengambil peranan aktif dalam upaya pencegahan tersebut. Bagaimana kemudian contoh kecil wujud peranan itu ?.

Dalam Kesiapsiagaan Nasional, akan dipetakan daerah rawan paham radikal terorisme. Setelah terpetakan, selain meningkatkan keamanan dan pengawasan, maka perlu menentukan arah kebijakan. Dalam hal ini, dukungan dari pemerintah daerah dibutuhkan. Bagaimanapun, kepala daerah lah yang paham bagaimana karakteristik daerah. Program pendekatan secara persuasif dapat dilakukan, disesuaikan dengan tipikal masyarakat. Pemberdayaan masyarakat digalakkan, utamanya terkait kajian-kajian soal terorisme, kebangsaan, dan keagamaan. BNPT, Kepolisian, dan Pemerintah Daerah dapat berkolaborasi. Kepolisian melalui penegakan hukum, agar jangan sempat aksi itu terjadi. Pemerintah Daerah meminimalisir penyebaran paham, sampai ke pelosok dengan memberdayakan tokoh, dan aparatur sipil negara. Sembari pendeteksian kepada kelompok jaringan teroris terus berjalan.

Kontra Radikalisasi, bentuknya berupa konta narasi, kontra propaganda, dan kontra ideologi. Dilakukan kepada orang/kelompok yang rentan terpapar paham radikal terorisme. Kerentanan dimaksud dapat dipengaruhi dari sisi ekonomi, psikologi, dan budaya. Minim asupan soal pemahaman kebangsaan, serta kemudahan akses memperoleh informasi, juga menjadi faktor lain. Tidak jarang, aksi terorisme dilakukan seorang diri, terpapar lewat internet. Tentu mendeteksi orang/kelompok ini tidak mudah. Maka pemerintah daerah, dalam menjalankan program kerjanya, tidak ada salahnya untuk terus menyisipkan soal wawasan kebangsaan. Menyentuh setiap segmen masyarakat. Kesulitan untuk mendeteksi individu-individu yang terpapar, dapat ditanggulangi dengan menjalankan program secara meluas. Lembaga pendidikan dilibatkan, organisasi masyarakat, tokoh agama, komunitas, dan kelompok lainnya digandeng, agar dapat dijadikan tumpuan dalam memberikan pemahaman soal kebangsaan. Cara pendekatannya masing-masing, sesuai dengan karakteristik kelomp
oknya, namun tujuannya sama, untuk memproteksi masyarakat dari paham dan pandangan yang dapat mengancam persatuan bangsa. Skala terkecil, Ketua RT juga diberdayakan. Dia memiliki akses langsung terhadap pengawasan masyarakat. Menjadi mata dan telinga pemerintah daerah di lingkungannya.

Baca Juga :  Kampus Bentuk Satgas Perlindungan Perempuan, Sudah Cukupkah?

Keterlibatan dalam program Deradikalisasi adalah peranan lain. Sebagian besar ditujukan kepada orang yang telah atau sedang menjalani proses hukum tindak pidana terorisme. Ini perlu pendampingan berkelanjutan. Selain terlibat melakukan pengawasan, dan edukasi demi menangkal paham terorisme, pemerintah daerah juga sebagai jembatan, dengan masyarakat di daerah. Mereka dapat diterima kembali di lingkungannya, tidak dikucilkan, dan tidak dimarjinalkan. Karena apabila ditinggalkan bahkan tidak diterima lagi oleh masyarakat, kemungkinan untuk kembali ke kelompoknya menjadi besar.

Guna memaksimalkan peranan itu, aparatur-aparatur daerah wajib dibekali dengan pemahaman kebangsaan dan keagamaan yang baik. Modal awalnya harus kuat dulu. Karena berbicara soal ideologi dan keyakinan, maka diskusinya akan sangat dalam. Penting kemudian, membangun argumen yang baik, untuk membalikkan sudut pandang mereka. Jika tidak, maka tidak menutup kemungkinan aparatur ini sendiri yang akhirnya akan terpapar.

Pada pemerintahan daerah, memiliki Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol). Secara umum, salah satu tugas fungsinya adalah merumuskan dan menetapkan kebijakan terkait pembinaan ideologi dan wawasan kebangsaan. Mulai dari fasilitasi, operasional, koordinasi, sampai pengawasan dan evaluasi. Badan inilah yang seharusnya diharapkan dapat efektif menjalankan fungsi pencegahan terorisme di daerah. Sebenarnya, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 9 ayat (5) menyatakan urusan di atas adalah urusan pemerintahan umum, menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Anggarannya pun melalui APBN. Namun dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Daerah, dibantu oleh Instansi Vertikal. Kesbangpol kemudian diwacanakan menjadi instansi vertikal itu. Namun, sampai sekarang belum terealisasi. Kesbangpol masih termasuk dalam perangkat daerah, dan menggunakan APBD, mengingat aturan pelaksana mengenai pemerintahan umum ini belum terbit.

Positifnya, kita dapat melihat bagaimana keseriusan dari kepala daerah, dalam hal pembinaan ideologi dan wawasan kebangsaan secara umum, serta konteks pencegahan terorisme secara khususnya. Kepala daerah wajib memaksimalkan peran Kesbangpol ini, demi membantu negara dalam meminimalisir dan menghindari dampak terorisme di daerah. Dengan begini secara kelembagaan, Kesbangpol tidak menjadi instansi daerah yang dipandang sebelah mata, karena merupakan tumpuan pembinaan ideologi negara di daerah. Tidak lagi menyerahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Pusat.

Iklan
Iklan