Banjarmasin, KP – Kabar rencana penghapusan pelajaran sejajah dari mata pelajaran wajib di jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas X ternyata menuai banyak tanggapan dari berbagai kalangan, termasuk Akademisi.
Seperti yang disebut salah satu dosen yang bernama Mansur. Akademisi Universitas Lambung Mangkurat (ULM) yang namanya sudah mentereng di Bumi Kayuh Baimbai untuk bidang kesejarahan Banua ini, mengaku membuka suaranya terkait program penyederhanaan kurikulum yang direncanakan oleh pemerintah pusat.
“Pada dasarnya kami mendukung penyederhanaan kurikulum sebagai bagian dari respons terhadap dinamika sosial, kebangsaan, maupun perkembangan teknologi dan tantangan global yang dihadapi,” ungkapnya pada Kalimantan Post saat disambangi di ruang kerjanya, Selasa (21/09) sore..
Namun demikian, menurutnya, penyederhanaan kurikulum hendaknya tetap mengacu kepada kepentingan nasional dan
pembentukan karakter bangsa. “Karena itulah, asumsi bahwa beban kurikulum nasional terlalu berat yang menjadi dasar penyederhanaan kurikulum adalah sebuah kekeliruan,” ucapnya.
Pria yang dikenal dengan panggilan Sammy itu menjelaskan, Perbandingan jumlah mata pelajaran antara kurikulum nasional dengan kurikulum di sejumlah negara seperti Singapura, Malaysia, Korea Selatan, Inggris, Jerman, dan Finlandia menunjukkan bahwa jumlah mata pelajaran di Indonesia pada seluruh jenjang pendidikan tidak lebih banyak dari jumlah mata pelajaran di negara yang dijadikan
perbandingan.
Bahkan, jumlah mata pejajaran di Indonesia pada jenjang SD dan SMP tercatat paling sedikit. Sementara untuk jenjang SMA memiliki jumlah yang sama dengan negara lain, hanya lebih sedikit dari Malaysia dan Inggris.
Ia menegaskan, bahwa mata pelajaran sejarah penting untuk diajarkan pada seluruh jenjang pendidikan. Arti penting Sejarah Indonesia terletak pada fungsi yang melekat pada sejarah itu sendiri. Yakni, mengembangkan jati diri bangsa, collective memory sebagai bangsa, keteladanan dan karakter dari para tokoh, inspirasi, kreativitas, mengembangkan kepedulian sosial bangsa, serta membangun rasa
nasionalisme yang produktif.
“Dalam konteksnya, reduksi mata pelajaran sejarah dengan hanya menjadi bagian dari Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
pada kelas X dan mata pelajaran pilihan kelas XI dan XII SMA serta penghapusan mata pelajaran sejarah pada jenjang SMK dalam draft penyederhanaan kurikulum merupakan kekeliruan cara pandang terhadap tujuan pendidikan,” paparnya.
Sehingga, ia menilai penghilangan mata pelajaran sejarah dengan hanya menjadikan sebagai pilihan berpotensi mengakibatkan hilangnya kesempatan siswa untuk
mempelajari sejarah bangsa sekaligus menghilangkan jati diri sebagai bangsa Indonesia.
Selain itu, penyederhanaan ini juga bertolak belakang dengan spirit Nawacita sebagaimana tertuang dalam poin kedelapan yang berisikan ajakan untuk melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam
kurikulum pendidikan Indonesia.
“Karena itulah kami menolak dengan tegas reduksi mata pelajaran sejarah sebagaimana tertuang dalam rancangan penyederhanaan kurikulum. Kemudian mendesak dikembalikannya sejarah sebagai mata pelajaran wajib pada seluruh jenjang pendidikan menengah seperti di SMA/SMK/MA/MAK,” ujarnya.
Ia berharap, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI hendaknya melakukan evaluasi total terhadap proses penyeder-hanaan kurikulum yang dilakukan lembaga non-pemerintah dan mengembalikan proses tersebut kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdikbud sebagai badan resmi di bawah Kemdikbud sesuai dengan tugas dan fungsinya.
“Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI hendaknya melibatkan para pakar pendidikan dan pengembang kurikulum dari lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK), para praktisi, asosiasi profesi, dan asosiasi program studi dalam proses penyederhanaan kurikulum,” tutur Mansur.
Kendati demikian, ia mengaku dirinya mengetahui bahwa dalam perkembangan update berita terakhir, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah memberikan keterangan resmi bahwa pemerintah sama sekali tidak berencana menghilangkan pelajaran sejarah dari kurikulum.
Sehingga, kalangan akademisi menyambut baik sikap Kemdikbud tapi juga memberikan apresiasi terhadap
kritik dan penolakan yang sempat berkembang, karena menunjukkan perhatian dan kepedulian masyarakat terhadap arti penting sejarah dalam membentuk identitas dan karakter bangsa.
“Kami mendukung seruan para guru sejarah bahwa pelajaran sejarah berperan penting dalam memberikan arah dan inspirasi bagi penyelesaian masalah kebangsaan, memberikan rujukan nyata dan teladan bagi generasi muda, meningkatkan apresiasi terhadap karya para pendahulu, memberikan perspektif dan ukuran untuk menilai
perjalanan bangsa,” tukasnya.
Dalam hal itu pelajaran sejarah memang sangat menentukan dalam proses pendidikan secara keseluruhan. Karena itu pelajaran sejarah perlu tetap dipertahankan sebagai pelajaran wajib di sekolah menengah karena merupakan instrumen strategis untuk membentuk identitas
dan karakter siswa.
“Setiap siswa di setiap jenjang pendidikan, baik yang bersifat umum maupun kejuruan, mendapatkan pendidikan sejarah dengan kualitas yang sama, kemudian untuk penyederhanaan kurikulum hendaknya dilakukan dengan orientasi peningkatan mutu pelajaran dan disertai peningkatan kompetensi guru,” tutupnya.(Zak/KPO-1)