Oleh : Shella Dini Ayulia?
Mahasiswa PKN STAN
“Orang-orang memperhatikan kita, Pablo. Mereka bertanya bagaimana bisa dua pengusaha kecil tiba-tiba mendapat uang sebanyak ini,” “Gustavo, adikku. Laundri saja uangnya,”
Dialog di atas merupakan bagian dari serial Netflix Narcos (2015) yang mengisahkan mafia narkoba terkenal pada zamannya, Pablo Escobar. Untuk orang seperti Pablo, mendapatkan uang itu mudah tetapi yang sulit adalah menyimpannya. Sebelum tahun 1970, Bank di Amerika menerima setoran tanpa syarat yang sulit. Namun semua itu berubah setelah Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon, menandatangani Bank Secrecy Act yang menyatakan semua Bank di Amerika wajib melaporkan transaksi kas yang melebihi US$10,000. Dari peraturan itulah, pencucian uang lahir.
Pencucian uang terdiri dari tiga tahap yaitu placement, layering, dan integration. Placement merupakan penempatan uang haram ke dalam sistem keuangan. Biasanya disimpan dalam sistem perbankan, diselundupkan (baik ke luar negeri atau ke aset seperti properti), dan ditempatkan secara elektronik. Tahap kedua adalah layering, dimana dilakukan pemindahan dana atau perubahan bentuk uang haram melalui transaksi yang kompleks agar tidak mudah diketahui asal usulnya. Seringkali layering dilakukan menggunakan perusahaan boneka/shell company atau perbankan lepas pantai/offshore banking. Tahap terakhir yaitu integration adalah menggunakan uang haram yang sudah dibersihkan seperti uang biasanya. Penggunaan ini biasanya dilakukan dengan beberapa cara seperti melakukan investasi, penjualan atau pembelian aset, dan pembiayaan korporasi.
Contoh nyata dari skema tipikal pencucian uang di atas adalah kasus pencucian uang oleh Franklin Jurado. Tahap placement, Franklin mendepositokan uang haram mafia narkoba Jose Santacruz ke bank di Panama. Selanjutnya pada tahap layering, uang tersebut ditransfer lagi ke lebih dari 100 akun bank di Eropa dengan batas maksimal untuk mencegah kecurigaan. Akun-akun tersebut merupakan akun buatan. Kemudian, Franklin menggunakan shell company untuk mewadahi uang tersebut sebagai uang yang legal. Tahap terakhir yaitu tahap integration, berupa mengirimkan kembali uang itu ke Jose Santacruz yang mana uang tersebut akan digunakan untuk membiayai bisnis-bisnis legal milik Jose.
Pada era digital seperti ini, pelaku pencucian uang tentu semakin cerdas dalam menutupi jejak uang tersebut. Mereka menggunakan cara-cara baru seperti fintech dan cryptocurrency. Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial (PBI Fintech), Fintech merupakan penggunaan teknologi dalam sistem keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru serta dapat berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau efisiensi, kelancaran, keamanan, dan keadalan sistem pembayaran. Fintech telah mengubah transaksi jual beli—yang awalnya harus bertatap muka, sekarang dapat melakukan tranksaksi jarak jauh—menjadi lebih mudah.
Cryptocurrency adalah mata uang digital yang menggunakan cryptography sehingga sulit untuk dipalsukan. Sistem yang digunakan pada cryptocurrency memungkinkan pembayaran online aman yang didenominasikan dalam bentuk “token” virtual, yang diwakili oleh entri buku besar internal ke sistem. Terdapat lebih dari 500 jenis cryptocurrency, beberapa di antaranya adalah Bitcoin, Ethereum, Tether, XRP, Litecoin, Cardano, dan Stellar. Perlu diperhatikan bahwa Cryptocurrency termasuk investasi yang berisiko tinggi. Sebab cryptocurrency tidak berdasar pada aset tertentu sehingga harga dari cryptocurrency sebagian besar ditentukan oleh kekuatan keinginan jual beli dari para pengguna teknologi ini. Juga dalam pertukarannya, cryptocurrency berpotensi untuk diretas.
Fintech dan cryptocurrency yang tengah berkembang di berbagai belahan dunia tentu menjadi sarana yang cocok untuk pencucian uang. Mengingat masih barunya kedua hal ini dan Financial Action Task Force (FATF) telah memperketat peraturan untuk bank mengenai tindak pencucian uang. Meskipun pada penerapannya, tetap saja terjadi pencucian uang—seperti yang sempat heboh pada tahun 2018—dilakukan di Danske Bank. Di Indonesia sendiri, terdapat dasar hukum untuk menjerat tindak pencucian uang seperti UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Silk Road merupakan contoh nyata pencucian uang lewat cryptocurrency. Silk Road adalah pasar gelap online yang menyelenggarakan aktivitas pencucian uang dan transaksi ilegal menggunakan Bitcoin. Di Silk Road, pembeli dan penjual dapat bertransaksi secara anonim dengan menggunakan jaringan Tor dan cryptocurrency Bitcoin yang dibantu oleh Dark Wallets untuk menambah lapisan keamanan. Pada tahun 2013, FBI menutup Silk Road secara permanen dengan bantuan DEA, IRS, dan petugas bea cukai. Serta menyita Bitcoin senilai US$122 miliar.
Skema pencucian uang sangat dimungkinkan terjadi menggunakan fintech. Pelaku pencucian uang dengan mudah bisa membuka banyak akun dari berbagai perusahaan fintech. Kembali ke Pablo Escobar, anggap Pablo membuka 10 akun dari 10 perusahaan fintech yang berbeda. Pembukaan akun ini tidak akan memakan waktu lama dengan menggunakan gawai dan identitas. Juga, fintech kemungkinan tidak akan meminta infomasi ataupun dokumen lebih jika Pablo mendepositokan uang dengan batas maksimal. Bayangkan jika Pablo mendepositokan uang dengan jumlah lebih besar dan membuka lebih banyak akun di luar negeri dengan membeli kumpulan identitas ilegal. Tentu jejak uang tersebut agak sulit dilacak.
Terlalu banyak celah atas dinamisnya perkembangan fintech. Dengan regulasi yang ada tanpa memperhatikan perkembangan fintech, pencucian uang agaknya sulit untuk diberantas. Diperlukan kerja sama antara pemerintah dan perusahaan fintech dalam menghadapi hal ini. Pencucian uang merupakan masalah global yang jika tidak ditindak akan berdampak pada stabilitas perekonomian. Potensi pencucian uang di era digital dengan menggunakan fintech dan cryptocurrency ini perlu diawasi dengan hati-hati. Bisa saja pada detik ini pencucian uang sedang terjadi dan kita, akibat lemahnya jeratan hukum dan teknologi, tidak bisa mencegahnya.