Banjarmasin, KP – Pepatah mengatakan “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Murid bakal bulat-bulat mencontoh gurunya. Jadi, guru sebaiknya jangan memberikan contoh yang buruk. Berilah contoh yang baik.
Sama halnya dalam penerapan aturan. Pemerintah mestinya bisa menjadi teladan atau boleh dibilang jadi panutan bagi masyarakat dalam menjalankan aturan. Terlebih aturan yang dijalankan itu dibuat oleh pemerintah sendiri.
“Pemko (Banjarmasin) itu harusnya taat asas. Karena mereka kan mengajari kita semua agar taat asas,” ujar Kepala Perwakilan Ombudsman Kalsel, Noorhalis Majid kepada Kalimantan Post, Minggu (25/10/2020).
Pernyataan yang dilontarkan Noorhalis Majid ini untuk memperingati Pemko Banjarmasin. Terkait kisruh kacaunya administrasi perizinan pembangunan tiga jembatan yang saat ini tengah digarap.
Diketahui proyek pembangunan Jembatan Pulau Bromo, HKSN I, dan Kelayan 4 di kawasan Jalan Gerilya yang menelan biaya tak sedikit, sekitar dari Rp 119 miliar dari APBD kota itu ternyata tak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Fakta ini semakin kuat manakala Kepala Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), Muryanta, membenarkannya. Dia mengakui bahwa jembatan itu belum memiliki IMB lantaran syaratnya belum lengkap.
Awalnya, kelalaian administrasi perizinan ini terbongkar ketika Anggota DPRD Banjarmasin dari Komisi III dari fraksi PAN, Afrizal, membeberkannya ke publik beberapa waktu lalu.
Dia mendengar langsung dari Bidang Jembatan, Dinas PUPR Banjarmasin tentang hal itu saat dengar pendapat terkait ambruknya kerangka besi Jembatan HKSI I yang terjadi pada 24 September lalu.
Nah, Ombudsman yang memiliki kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, tentunya sangat wajar menyoroti persoalan kelalaian adminstrasi yang dilakukan oleh Pemko Banjarmasin ini.
“Pemko seharusnya dalam hal ini memberi contoh dalam setiap pembangunan itu. Bahwa IMB itu penting sekali. Untuk mengetahui apakah di lokasi itu boleh dibangu atau tidaknya dengan berbagai pertimbangan teknisnya,” jelasnya.
Noorhalis Majid berkali-kali menekankan, kelalaian ini jangan sampai menjadi contoh buruk bagi masyarakat. Tentu menjadi lucu, manakala Pemko meminta masyarakat taat aturan. Tapi di sisi lain Pemko malah melanggarnya.
“Serba salah juga, karena yang membangun Pemko yang mengeluarkan izin Pemko juga. Jadi di internal mereka sendiri seperti apa? Apakah IMB itu hanya berlaku untuk masyarakat. Sementara banguan Pemko itu IMB-nya boleh menyusul,” katanya.
Dia khawatir jika ini terus dibiarkan, maka masyarakat akan menjadi latah. Atau ikut-ikutan. Lebih parah lagi, apabila sampai masyarakat beranggapan administasi yang dibuat Pemko untuk pekerjaannya sendiri dianggap sebagai formalitas saja.
“Maka kalau demikian bisa jadi contoh, bagi masyarakat. Kalau begitu, bangun dulu. IMB sambil jalan sambil diurus misalnya. Tapi kembali lagi Pemko yang bangun Pemko juga yang keluarkan izin. Sekarang verifikasinya seperti apa. Jangan sampai IMB itu malah dianggap orang formalitas saja,” imbuhnya.
Lebih jauh menurut Noorhalis Majid, masalah-masalah lain dikhawatirkan akan mengikuti di belakang ketika pekerjaan di awal sudah bermasalah.
Ambil contoh di kemungkinan terburuk. Ketika banguan sudah rampung, dan ternyata IMB tak bisa dikeluarkan dengan berbagai alasan. Maka setelah ada pringatan dari yang berwenang banguan itu harus dibongkar. Dan ini tentu malah menjadi ruwet.
“Kemungkinan dibongkar bisa saja. Jika memang tak punya izin. Atau izin keluar tapi ternyata di lokasi itu tak diperbolehkan ada bangunan tersebut. Bisa saja dibongkar,” ucapnya.
Oleh sebab itu dikeluarkannya IMB lebih dulu dalam suatu proses pembangunan sangatlah penting. Karena menurut Noorhalis itu untuk mengetahui apakah pembangunan tersebut sudah tepat dikerjakan atau tidak.
“Tapi sekali lagi meski Pemko yang garap dan izinnya dia juga yang mengeluarkan, tapi kan untuk memberikan kepastian kepada semua pihak, bahwa di lokasi itu memang layak, dan peruntukannya tepat,” tukasnya. (sah/K-3)