Iklan
Iklan
Iklan
OPINI PUBLIK

Upaya Dibalik Pelarangan Pernikahan Usia Anak

×

Upaya Dibalik Pelarangan Pernikahan Usia Anak

Sebarkan artikel ini

Oleh : Mariana, S.Pd
Guru MI Al Muhajidin II Banjarmasin

Banyaknya program pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat diantaranya adalah pelarangan pernikahan di usia anak, apakah gerangan dibalik ini semua, apakah masyarakat bisa sejahtera dengan adanya program ini dan bahkan ada UU yang termuat didalam upaya pelarangan pernikahan usia anak.

Android

Menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Surya Chandra Surapaty, usia ideal menikah menurut kampanye program Generasi Berencana BKKBN adalah di atas 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi lelaki. Dari sisi medis, remaja perempuan usia 10-14 tahun berisiko meninggal saat hamil atau melahirkan lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan berusia 20-25 tahun.

Sementara risiko kematian pada anak yang menikah pada usia 15-19 tahun dua kali lebih tinggi. Selain itu, remaja perempuan yang menikah usia dini berisiko mengalami masalah kesehatan reproduksi, seperti kanker leher rahim, trauma fisik pada organ intim, dan kehamilan berisiko tinggi-preeklampsia, bayi prematur, dan kematian ibu. Dari sisi sosial, pernikahan dini berdampak buruk pada psikologis remaja karena emosi mereka tak stabil dan cara pikir belum matang.

Sekitar 44 persen perempuan yang menikah di usia dini mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan frekuensi tinggi, sisanya mengalami KDRT frekuensi rendah. Meski BKKBN telah lama meluncurkan program GenRe, kampanye penundaan usia perkawinan atau penghentian pernikahan dini tak bisa menekan angka pernikahan usia muda .

Menurut hasil survei indikator kinerja Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Program Kependudukan dan Keluarga Berencana 2015, ada 19,2 persen responden remaja wanita akan menikah di bawah usia 22 tahun. Adapun 46,2 remaja pria menikah di usia 20-25 tahun. Kini, pihaknya menggaet sejumlah remaja untuk membantu kampanye GenRe terkait risiko pernikahan dini ke teman sebaya. Mereka aktif menyosialisasikan informasi di jejaring sosial terkait rencana remaja berkeluarga.

Baca Juga:  TBC Mulai Jadi Ancaman Serius Kesehatan Warga Indonesia

DPR akan mengesahkan revisi UU Perkawinan No 1/1974 dalam rapat paripurna. RUU Perkawinan telah menyepakati usia minimum nikah bagi laki-laki dan perempuan jadi 19 tahun. Ada beberapa aspek yang patut menjadi catatan merah atas fenomena nikah muda pada pasangan anak:

Ada beberapa aspek menikahkan anaknya di usia dini diantaranya adalah aspek ekonomi. Alasan ini banyak terungkap karena pemahaman orang tua yang kurang tepat. Mereka menganggap anak perempuan adalah beban ekonomi. Agar tak lagi menjadi beban keluarga, mereka memilih menikahkan anak-anak mereka di usia yang masih muda. Tak ayal, pernikahan dini menjadi pilihan pragmatis di tengah himpitan ekonomi. Mengapa masih ada orang tua berpikiran instan semacam ini? Sulitnya menjalani kehidupan dalam sistem kapitalisme adalah fakta tak terbantahkan. Biaya sekolah tak punya, anak berpotensi putus sekolah. Solusi paling instan adalah menikahkan mereka.

Hilang satu beban keluarga. Itulah pemahaman yang berkembang di tengah masyarakat. Sadar atau tidak, sistem kapitalisme berkontribusi terhadap pelarangan pernikahan di usia anak atau usia dini. Kedua, aspek pendidikan. Hingga detik ini, dunia pendidikan kita masih buram. Tak jelas tujuan, arah, dan visinya.

Kurikulum pendidikan hari ini tak mengajarkan bagaimana membentuk kepribadian saleh dan salihah bagi anak. Ditambah, orang tua yang abai terhadap pendidikan anak. Ada yang abai lantaran minimnya ilmu mendidik anak. Ada pula yang abai karena kesibukan orang tua dalam bekerja. Alhasil, anak tidak terawasi dan terkontrol dengan baik. Peran sentral orang tua sebagai madrasah pertama bagi anak pun hilang.

Dr. Sonny Dewi Judiasih, M.H.CN., mengatakan, praktik perkawinan di bawah umur rentan terjadi pada perempuan di pedesaan yang berasal dari keluarga miskin serta tingkat pendidikan yang rendah. Kondisi demikian terjadi didukung sistem sekuler yang menjauhkan manusia dari agama. Agama tak lagi djadikan pedoman dalam kehidupan, perannya termarginalkan. Agama sebagai fondasi dan benteng keimanan gagal terbangun akibat penerapan sistem sekuler, akibatnya, ketahanan iman keluarga rapuh dan mudah runtuh.

Baca Juga:  Pustakawan Kampanye Anti Korupsi(Refleksi Hari Anti Korupsi Sedunia)

Ketiga, aspek sosial. Tak dapat pungkiri, tumbuhnya anak di lingkungan yang serba sekuler-kapitalistik turut menyumbang kerusakan generasi hari ini. Tontonan tak layak banyak tersaji di layar kaca maupun media sosial. Pergaulan bebas tanpa batas. Standar perbuatan tak lagi memandang halal haram. Liberalisasi sistem sosial membuat remaja terombang-ambing dalam perbuatan amoral. Kehidupan hedonis dan permisif juga turut membentuk perilaku seks bebas. Semua itu berpangkal dari sistem sosial yang sekuler dan liberal.

Keempat, aspek hukum. Pada mulanya UU Perkawinan dibuat untuk menekan angka nikah dini pada anaknya. Usia minimal pernikahan yang semula 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki dianggap diskriminatif.

Hal ini digugat LSM dan masyarakat sipil melalui uji materi undang-undang. Pada Oktober 2019, UU itu pun direvisi dengan mengubah usia pernikahan menjadi minimal 19 tahun untuk kedua calon mempelai. Upaya pemerintah untuk mencegah pernikahan usia anak terus dilakukan. Berbagai elemen masyarakat digandeng agar program ini bisa sukses.

Kaum feminisme paling getol mendukung program ini, dengan alasan pernikahan usia anak telah merenggut hak kebebasan bagi anak. Di sisi lain, jika pernikahan usia anak bisa ditekan, maka jumlah angkatan kerja akan semakin besar. Korporasi menjadi untung, sebab tenaga kerja murah banyak tersedia.

Berdasarkan penelitian Pusat Studi Wanita UIN Perkawinan membutuhkan kedewasaan dan kematangan yang bukan hanya bersifat biologis, melainkan juga psikologis, sosial, mental dan spiritual. Konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan menetapkan batas minimal usia nikah adalah 18 tahun. Sedangkan menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), batas minimal bagi perempuan sebaiknya 21 sedangkan bagi laki-laki 25. Untuk itu diperlukan reformasi UU perkawinan terkait penetapan usia kawin.

Baca Juga:  Menumbuhkan ‘Self Love’ pada Diri Sendiri

Jakarta pada tahun 2000, usia nikah dalam Undang-Undang Perkawinan seharusnya dinaikkan menjadi minimal 19 tahun, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Usia tersebut menurut Alquran surat an-Nisa ayat 6 sudah dianggap matang secara fisik, ekonomi, sosial, mental kejiwaan, agama, dan budaya.

Selain itu diperlukan pendidikan seks yang komprehensif sejak tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pendidikan ini menekankan pada aspek kesehatan reproduksi serta tanggung jawab moral dan sosial. Pendidikan seksual terpadu yang diberikan kepada para remaja perlu mendapat dukungan, bantuan dan pengarahan dari orang tua yang menekankan tentang tanggung jawab anak laki-laki dan perempuan atas seksualitas dan kesuburan mereka sendiri.

Cukuplah Islam sebagai solusi atas permasalahan perkawinan ini dan Islam memang menganjurkan pernikahan dan larangan dalam membujang. Berdasarkan Alqur’an dan As-Sunnah sebagi satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Dengan pernikahan akan menjauhkan dari perbuatan perzinaan. Waalhu a’alam Bis Shawab.

Iklan
Iklan