Oleh: Umi Latifah
Pemerhati Pendidikan
Pemerintah terus menggalakkan program moderasi beragama yang sudah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Kemenag menjabarkan moderasi beragama dalam Rencana Strategis (renstra) pembangunan di bidang keagamaan lima tahun mendatang. Renstra tersebut antara lain berupa review 155 buku pendidikan agama, pendirian Rumah Moderasi di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) dan penguatan bimbingan perkawinan. Ke depannya, Rumah Moderasi akan semakin diaktifkan.
Program penceramah bersertifikat juga akan mulai dijalankan. Sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental yang ditandatangani Presiden pada 6 Desember 2016.
Nilai-nilai moderasi beragama pun diinternalisasikan Kemenag melalui program ToT guru dan dosen, penyusunan modul membangun karakter moderat, serta madrasah ramah anak. Ide menggelar lomba ceramah toleransi, menulis cerita pendek tentang toleransi, hingga lomba karikatur toleransi dan kerukunan umat beragama juga makin dimatangkan Menag.
Hal ini memunculkan kembali polemik penghapusan materi Khilafah dan Jihad dalam kurikulum pendidikan Islam, meski telah diklarifikasi Direktorat Jenderal (Dirjen) Pendidikan Islam Kemenag Kamaruddin Amin yang mengatakan pihaknya bukan menghapus kata ‘Khilafah’ dan ‘jihad’ melainkan hanya dilakukan revisi pada penulisannya. Dikatakan, konten Khilafah dan jihad tidak dihapus sepenuhnya dalam buku yang akan diterbitkan. Khilafah dan jihad tidak dihapuskan sama sekali dalam mata pelajaran, hanya dipindahkan tempatnya dari pelajaran fikih menjadi pelajaran sejarah.
Sehingga, makna Khilafah dan Jihad akan memiliki perspektif yang lebih produktif dan kontekstual; Kata ‘Khilafah’ saat ini dinilainya sudah tidak relevan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945; dan Khilafah adalah fakta sejarah yang pernah ada dalam pelataran sejarah peradaban Islam, tetapi tak cocok lagi untuk konteks negara bangsa Indonesia yang telah memiliki konstitusi.
Pun terkait Jihad, tidak ada lagi dalam materi fikih dan perspektifnya diubah. Jihad tidak lagi harus berperang dan tidak harus fisik. Ada perspektif baru soal jihad. Masih menurut Kemenag, perspektif baru tentang Khilafah dan Jihad ditujukan agar siswa dan guru paham betul tentang konteks Indonesia dan konteks sejarah Islam; Pelajaran agama itu berfungsi instrumental untuk menanamkan, menginternalisasikan nilai-nilai keagamaan yang moderat, nasionalis, dan religius; serta siswa memiliki pengetahuan dan pemahaman artikulasi keberagamaan yang nasionalis.
Kurikulum Moderasi Membahayakan Pemikiran Generasi.
Proyek deradikalisasi terus melaju di negeri mayoritas muslim, salah satunya berupa kurikulum moderasi. Napas keduanya sama, yakni sekularisasi (pemisahan) Islam politik dengan kehidupan bernegara dan berbangsa.
Agama dianggap sekadar instrumen kebudayaan. Gagasan ini menempatkan agama bukanlah asas kehidupan bagi seorang muslim. Gagasan ini menuntut perubahan dasar kehidupan bagi masyarakat menjadi kemanusiaan dan keadilan semata.
Letak bahayanya kurikulum ini. Berbahaya bagi akidah umat Islam di Indonesia. Kurikulum moderasi memosisikan ajaran Islam (fikih Islam) terutama fiqih siyasi (fikih politik) sebagai sumber masalah serta memunculkan permusuhan dan perpecahan, sehingga perlu diberikan perspektif baru yang moderat (liberal).
Bagi generasi, kurikulum moderasi jelas berbahaya dan menjauhkan generasi dari ajaran agama Islam yang agung. Lebih dari itu kurikulum moderasi menanamkan persepsi negatif terhadap ajaran Islam, bahkan bisa memunculkan kebencian generasi terhadap hukum-hukum Islam dan permusuhan generasi terhadap sesama muslim yang berbeda perspektif dengan perspektif pembaharuan Islam.
Jadi, dalih kurikulum moderasi bertujuan untuk mewujudkan persatuan dan mencegah perpecahan justru malah membuahkan generasi yang mudah curiga terhadap pihak lain yang berbeda. Sebaliknya, generasi menjadi sangat toleran terhadap ide-ide kufur, seperti HAM, pergaulan bebas, LGBT, feminisme, dll.
Kurikulum moderasi menghakimi ajaran Islam sudah tidak relevan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara hari ini, meski tidak berani secara lugas menyatakan fikih Islam sebagai sesuatu yang kuno dan terbelakang.
Perspektif moderat yang berintikan keadilan (wasathiyah) memandulkan kemampuan fikih Islam dalam problem solving beragam dinamika kehidupan umat. Kurikulum moderasi juga melunakkan cara pandang umat dan bangsa terhadap praktik penjajahan modern.
Perampokan sumber daya alam negeri Islam oleh korporasi asing melalui legitimasi UU Minerba misalnya, tidak perlu diberi solusi Khilafah yang menetapkan keharaman kepemilikan umum dikuasai individu dan kelompok.
Juga konflik agraria (penguasaan lahan), dipandang tidak perlu diberi solusi Khilafah yang menetapkan keharaman sewa lahan produktif (pertanian) dan jelas melarang penguasaan hutan melalui HPH.
Hukum-hukum Islam diabaikan, praktik kezaliman dianggap praktik kesetaraan karena adanya saling memberikan manfaat antara investor dan negara.
Semua ini akibat Khilafah dan seluruh sistemnya hanya diposisikan sebagai romantisme historis, bukan sebagai bagian fikih Islam yang menuntut untuk diterapkan.
Kewajiban Generasi Menegakkan Khilafah dan Jihad
Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari Islam. Mereduksi ajaran Islam, mengobok-obok ajaran Islam, jelas merupakan kelancangan dan layak mendapatkan azab dari Allah SWT bagi siapa saja yang enggan bertobat menghentikan perbuatannya.
Allah SWT telah menetapkan kewajiban jihad di dalam Alquran dan pelaksanaan jihad di bawah perintah seorang Khalifah yang telah dibaiat secara syar’i.
Allah SWT berfirman, “Diwajibkan atas kalian berperang sekalipun perang itu adalah sesuatu yang kalian benci. Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian. Boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui”. (QS Al-Baqarah : 216).
Secara syar’i, Jihad bermakna perang (qitâl) di jalan Allah. Selain dalam beberapa ayat Alquran, jihad dalam makna perang di jalan Allah ini antara lain dinyatakan dalam hadis, sebagaimana penuturan Anas bin Malik ra : “Perangilah kaum musyrik dengan harta, jiwa, dan lisan kalian”. (HR Abu Dawd, an-Nasa’i, dan Ahmad).
Penegakan Khilafah sebagai kewajiban juga telah ditetapkan Islam. Terkait kewajiban mengangkat Khalifah, Imam an-Nawawi rahimahullâh di dalam Syarhu Shahîh Muslim menulis : “Dan mereka (kaum muslimin) sepakat bahwa sesungguhnya wajib bagi kaum muslimin mengangkat Khalifah, dan kewajiban (mengangkat khalifah ini) ditetapkan dengan syara’ bukan dengan akal”.
Sebagai kewajiban yang tsabit, ajaran Khilafah dan jihad harus mendapatkan perhatian penuh generasi Islam. Upaya penegakannya bukan perkara remeh dan bisa diabaikan begitu saja.
Di pundak generasi Islam inilah tanggung jawab dibebankan. Adapun hasil dari upaya penegakannya, Allah SWT-lah yang akan menetapkan waktunya.
Narasi moderasi Islam yang diaruskan rezim harus dijawab generasi Islam para pengemban dakwah. Maka, generasi Islam butuh seperangkat pemahaman sahih dan lengkap tentang Islam kaffah, agar upaya melawan arus moderasi Islam tidak menjatuhkan generasi pada sikap defensif apologetic.
Untuk itu, generasi membutuhkan pembinaan intensif dalam gerbong sebuah jamaah dakwah yang konsisten dalam upaya penegakan syariat kaffah dan Khilafah. Wallaahu a’lam.