Oleh : Ridha Yanty
Pemerhati Masalah Sosial dan Kemasyarakatan
Soal kematian akibat Covid-19 memang merisaukan. Setidaknya itu tercermin dari usulan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa yang mengutarakan masukan agar ada format baku dari Kemenkes tentang penghitungan angka kematian penderita Covid-19. Usulan yang disampaikan dalam rapat koordinasi pengendalian Covid-19 secara virtual, Kamis (17/9/2020). Rapat yang dipimpin Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dan melibatkan gubernur di delapan provinsi penyumbang terbesar kasus Covid-19. Melihat fakta di lapangan jumlah kasus kematian akibat covid-19 mengalami peningkatan yang sangat siknifikan. Daerah mengalami peningkatan salah satunya adalah Jawa Timur. Kematian akibat Covid-19 di Jawa Timur cukup menonjol, 7,25 persen dari total kasus. Sedangkan tingkat kesembuhan 80,18 persen dan 12,57 persen dirawat, demikian data per Minggu (20/9/2020).
Kasus Covid-19 di Jawa Timur per kemarin sebanyak 40.708 orang, sembuh 33.234 orang dan meninggal 2.965 orang. Sedangkan di DKI Jakarta, kematian akibat Covid-19 sebanyak 1.541 orang, sembuh 48.247 orang dan kasus positif 61.966 orang. (https://m.bisnis.com/surabaya/read/20200921/531/1294459/ketika-khofifah-minta-definisi-kematian-akibat-covid-19-ditinjau-ulang).
Dari data tersebut terlihat, kasus positif terbanyak di Indonesia berada di DKI Jakarta, namun kematian tertinggi di Jawa Timur. Berawal dari jumlah kematian yang tinggi di Jawa Timur, akhirnya sang Gubernur meusulkan agar ada defenisi yang jelas tentang kematian penyebab covid-19. Pada saat ini pemerintah Indonesia belum ada wacana melakukan perubahan seperti yang diusulkan oleh Gubernur Jawa Timur,” kata Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito dalam konferensi pers virtual di Kantor Presiden Jakarta, Selasa (22/9).
Namun menurut Wiku, pemerintah masih tetap menggunakan definisi kematian Covid-19 merujuk acuan dari WHO yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19. Prinsipnya kasus kematian yang dilaporkan adalah kasus konfirmasi dan probabel Covid-19 dan kasus probabel itu adalah saspek dengan ISPA berat, ARDS dengan gambaran klinis yang meyakinkan Covid-19 dan belum ada hasil pemeriksaan laboratorium RT-PCR,” ujar Wiku. Acuan WHO itu, menurut Wiku, juga diterapkan oleh beberapa negara.
Wajarkah Dimunculkan?
Mengubah definisi kematian Covid-19 memicu timbulnya masalah baru dan angka kematian dipastikan akan menurun namun ini bersifat semu. Tatkala definisinya diubah, maka klasifikasi kematian Covid juga akan ikut berubah. Tak mampu menekan laju kematian akibat Covid, lalu ingin mengubah definisinya. Apakah dengan mengubah definisi kematian akibat covid, pemerintah dianggap berhasil menurunkan angka kematian?
Seharusnya pemerintah tidak boleh menyembunyikan data-data kematian akibat Covid dan pentingnya informasi dari pemerintah mengenai penyebaran virus ini sehingga masyarakat disiplin mengikuti protokol kesehatan. Dan tidak meanggab bahwa covid hanya seperti penyakit biasa. Saat penularan bisa ditekan, maka sejatinya tingkat kesembuhan akan baik dan angka kematian tidak akan tinggi.
Penanganan Tidak Jelas
Sejak pandemi ini mulai menghinggapi Indonesia, kita bisa melihat upaya dari pemerintah terlihat tak jelas kemana arahnya, satu stategi belum jelas, ganti lagi. Sampai pada akhirnya kebijakan dari pemerintah dengan istilah baru harus ada rem dan gas. Dimana harus di rem dan kapan harus digas. Seperti yang di ungkapkan oleh www.cnbcindonesia.com 30/8/2020 Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan kebijakan pemerintah yang disebut gas dan rem, dalam mengendalikan pandemi Covid-19. Hal ini disampaikan di sela kampanye penggunaan masker di Stadion Gelora Bung Karno (GBK). “Bapak presiden meminta bahwa kita melakukan koordinasi gas dan rem tentunya rem di sektor kesehatan, gas pemulihan sosial ekonomi masyarakat ditambahkan safety belt di sektor keuangan,” kata Airlangga. Masyarakat di buat bingung.
Sekarang ada lagi wacana me utak atik definisi kematian akibat covid. Hanya untuk memperbaiki citra. Yang dibutuhkan masyarakat adalah penanganan yang jelas dan bukan hanya sekedar data-data yang di tampilkan tiap hari. Masyarakat juga membutuh kerja nyata dan kesungguhan pemerintah dengan kebijakan yang benar-benar berorientasi keselamatan jiwa.
Islam Punya Solusi
Pandemi ini semakin membuktikan kepada kita, betapa kapitalisme tidak bisa menyelesaikan masalah, yang diprioritaskan hanya masalah ekonomi. Sedangkan di dalam Islam, kesehatan adalah hal yang utama bagi negara. Adanya pandemi ini telah menyadarkan kita bahwa Islam memiliki solusi menyeluruh dalam mengatasi wabah. Kesehatan dan keselamatan rakyat adalah prioritas utama. Upaya itu bisa dilakukan dengan karantina wilayah. Memisahkan yang sehat dengan yang sakit. Memberikan fasilitas pada setiap rumah sakit dengan fasilitas dan layanan kesehatan yang memadai. Mendorong para ilmuwan untuk menemukan obat dan vaksin penyakit dengan dukungan penuh dari negara, tanpa berlepas tangan, memberikan gaji yang layak kepada para nakes dan dokter sebagai garda terdepan melayani pasien, mengedukasi dan memotivasi masyarakat dengan keyakinan penuh bahwa segala penyakit pasti ada obatnya. Masyarakat di ingatkan harus berikhtiar dan bertawakal menjaga kesehatan. Diingatkan juga semua ini adalah ujian datang dari Allah.
Semua itu bisa terwujud secara terstruktur dan sistematis manakala sistem Islam diterapkan dalam institusi negara Khilafah. Tentu kita sebagai seorang muslim merindukan tegaknya sistem pemerintahan Islam, yang akan membawa keberkahan dalam hidup kita. Wallahu’alam