Oleh : Adzkia Mufidah, S.Pd
Pemerhati Masalah Anak
Angka perkawinan usia anak/dini (PUA) di Indonesia melonjak selama pandemi. Peningkatan angka ini salah satunya ditengarai akibat masalah ekonomi.
Kalimantan Selatan termasuk salah satu provinsi yang angka PUAnya tinggi. Karena itu, upaya pencegahan PUA pun masif dilakukan. Pada Oktober kemaren, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindunagan Anak Kalsel mengadakan Focus Group Discussion (FGD) Pencegahan Perkawinan Anak melalui zoom meeting. FGD tersebut digelar dalam rangka berdiskusi bersama untuk percepatan penurunan angka perkawinan anak di kabupaten/kota di Kalimantan Selatan. (https://kalsel.prokal.co/read/news/36273-vonny-ikuti-fgd-pencegahan-perkawinan-anak)
Penurunan angka perkawinan anak dipandang penting sebab menjadi salah satu indikator pencapaian SDGs dan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Sepertinya memang banyak pihak yang termakan opini negatif terkait PUA. Sehingga mereka merasa khawatir dengan fenomena tersebut. Anehnya, ketakutan mereka terhadap maraknya pernikahan dini, melebihi ketakutan terhadap maraknya perzinahan dini. Padahal perzinahan jelas merupakan maksiat besar/dosa besar disisi Allah.
Selama ini, perkawinan usia anak (PUA) disebut-sebut memiliki efek domino negatif. Mulai dari gangguan fisik hingga mental bagi kedua calon pengantin yang berpotensi menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), gangguan reproduksi, gangguan kesehatan/kematian ibu, bahkan janin yang dikandungnya seperti kelahiran prematur, BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah), dan stunting. Disamping itu PUA, bahkan dianggap sebagai perenggutan terhadap hak-hak perempuan, serta, pelanggaran hak anak untuk tumbuh dan berkembang. Karenanya, upaya pencegahan PUA seolah bentuk empati dan kepedulian pemerintah akan hak-hak anak. Namun, benarkah demikian?
Semua persoalan yang menyertai PUA pada dasarnya karena sistem perundang-undangan yang diterapkan di negeri ini adalah sistem sekuler-liberal. Bukan cara pandang dan sistem Islam. Dalam sistem sekuler yang liberal ini masyarakat banyak disuguhi stimulus-stimulus yang membangkitkan nafsu seksual, baik berupa kenyataan sosial yang buruk seperti pergaulan bebas dan prostitusi, maupun sarana-sarana yang memanjakan syahwat rendahan (berisi pergaulan bebas/konten porno), seperti film, VCD, tabloid, novel, internet, dan sebagainya.
Hal di atas telah menciptakan suatu kondisi yang sangat menyiksa generasi muda. Bayangkan saja, di satu sisi ada opini umum mencela pernikahan dini akibat kampanye-kampanye yang membosankan. Juga adanya batasan definisi anak-anak dibawah 18 tahun. Di sisi lain mereka senantiasa mengkonsumsi produk-produk yang membangkitkan naluri seksual (film, sinetron, buku, komik, video yang menyuguhkan pergaulan bebas). Ini akan membuat mereka gelisah, bingung bahkan sangat mudah terjerumus ke dalam pergaulan bebas termasuk perzinahan. Ditambah lagi peran orangtua sebagai pendidik dan penanggung jawab telah digantikan oleh benda-benda elektronik dan pembantu karena orangtua sibuk berada di luar rumah mengejar materi dan eksistensi diri.
Tidak hanya itu, penerapan sistem tersebut telah mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak dasar manusia termasuk di dalamnya anak-anak. Kita bisa melihat kemiskinan struktural makin menjadi, dan sistem pergaulan makin rusak. Itulah sebabnya dimasa sekarang, PUA terkadang dianggap bisa menjadi obat untuk mengatasi problem sosial yang ada.
Jika demikian persoalannya, mencegah PUA saja tentu bukanlah solusi, dan salah alamat. Sebab bukan itu akar persoalannya. Namun anehnya, justru itu yang digembar-gemborkan. Ada apa sebenarnya? Mungkinkah ini konspirasi?
Menurut sebagian pengamat, maraknya upaya pencegahan pernikahan usia anak tersebut erat kaitannya dengan kontrol populasi penduduk muslim di dunia.
Dalam Islam menikah muda dianjurkan. Logikanya, ketika seorang perempuan menikah diusia muda/dini, dia berpeluang untuk memiliki keturunan yang lebih banyak. Karena rentang usia suburnya tentu lebih panjang dibandingkan yang menikah diusia tiga-puluhan, apalagi usia paruh baya. Itulah mengapa pertumbuhan populasi muslim di dunia, besar.
Oleh karena itu, kontrol populasi itu menjadi agenda penting kaum kapitalis-kuffar. Ketakutan akan pertambahan penduduk di negeri-negeri muslim membuat mereka melakukan berbagai upaya batil, yang ditutup-tutupi dengan jargon-jargon kosong. Seperti kepedulian terhadap angka kematian ibu, memberi kesempatan untuk hidup sejahtera, adanya kesulitan pemenuhan konsumsi barang produksi karena SDA terbatas.
Pencegahan PUA jelas merupakan upaya untuk menentang syariat Islam yang menganjurkan untuk menyegerakan nikah. Meski ayat Alquran (Ath –Thalaq:4, An-Nisa:3, 127), As-Sunnah, Ijma’ membolehkan adanya pernikahan anak, mereka tak peduli.
Inilah kesalahan terbesar penguasa negeri muslim saat ini. Mereka lebih mengedepankan hukum sekuler sebagai rujukan. Seperti konvensi hak anak, HAM, KHI, UU-P nomor 1/1974, revisi UU-PA np. 35/2014 dan sebagainya. Juga mengadopsi standar Barat melalui propaganda Ending Child Marriage. Hal itu seolah dipandang lebih tinggi ketimbang syariat Allah SWT. Entah mereka tidak menyadari atau pura-pura buta bahwa Barat sedang berupaya menjauhkan kaum muslimin dari Islam.
Seandainya pemerintah benar-benar ingin hak tumbuh kembang dan pendidikan anak tidak terampas, mestinya yang dilakukan adalah menutup dan menghilangkan segala penghambat semangat belajar, seperti games dan sarana-sarana (film, VCD, tabloid, novel, internet, dan sebagainya) yang berisi pergaulan bebas/konten negative lainnya. Sebab itulah yang merenggut waktu berharga mereka.
Selanjutnya pemerintah juga harus mengeluarkan UU anti seks bebas, anti pornografi, anti–liberalisasi sosial dan budaya, anti ekonomi neo-liberal, dan anti kapitalisme layanan publik. Karena sesungguhnya kebijakan liberalisasi budaya itulah yang menimbulkan free sex, kehamilan tidak diinginkan, aborsi, lesbi dan homo yang telah menjadi momok di masyarakat. Selain itu, penerapan ekonomi neo-liberal, dan kapitalisasi layanan publik, telah merampas hak hidup anak dan masyarakat. Kebijakan itu pula yang telah menimbulkan kemiskinan massal yang merata hingga ke wilayah desa.
Namun, menghilangkan semua hal yang merenggut hak tumbuh dan pendidikan anak mustahil bisa dilakukan, selama negara ini tetap konsen menerapkan sistem kapitalis sekuler. Maka, satu-satunya harapan untuk menghilangkan hal itu adalah dengan ditegakannya sistem Islam, yakni khilafah, yang akan menerapkan seluruh aturan Allah SWT dalam kehidupan. Sistem shahih ini tidak akan pernah memberi tempat bagi paham-paham batil seperti sekuler-liberal yang telah terbukti merusak generasi dan masyarakat. Wallahu’alambishawab.