Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Era Pandemi, Momentum Efisiensi Belanja Birokrasi

×

Era Pandemi, Momentum Efisiensi Belanja Birokrasi

Sebarkan artikel ini

Oleh : Abd Gafur
Analis Perbendaharaan Negara Ahli Pertama, Kanwil Ditjen Perbendaharaan Kalsel

Setahun sudah pandemi Covid-19 melanda hampir seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Dampaknya tak hanya dirasakan pada sektor kesehatan dan sosial, tetapi juga pada saat yang sama, memorak porandakan sektor perekonomian. Sejarah telah mencatat bahwa pandemi ini seolah-olah menjadi game changer dalam tatanan kehidupan global termasuk perekonomian dunia. Bahkan sepanjang tahun 2020, pertumbuhan ekonomi mengalami pertumbuhan negatif. Pada saat resesi seperti sekarang, pemerintah dituntut hadir melalui instrumen APBN untuk menjadi katup pengaman menyelamatkan perekonomian nasional. APBN sebagai instrumen pemerintah menjalankan tiga fungsi yakni fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi. Jika perekonomian sedang resesi maka APBN dibutuhkan untuk memulihkan kondisi yang ada.

Baca Koran

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam kurun waktu tiga dekade terakhir senantiasa mengandalkan sektor perpajakan sebagai sumber pendanaan terbesar untuk mendukung pembangunan nasional. Namun dalam kondisi pandemi, penerimaan pajak juga turut mengalami penurunan akibat pembatasan aktivitas ekonomi dan pemberian berbagai insentif perpajakan. Sepanjang tahun 2020, realisasi penerimaan pajak hanya sebesar Rp1.070 triliun atau turun sebesar 19,7 persen dibandingkan realisasi tahun 2019 sebesar yang mencapai angka Rp1.332 triliun (Perpres 72/2020). Angka tersebut hanya mampu memenuhi 89.3 persen dari target penerimaan pajak yang dipatok sebesar Rp1.198 triliun.

Ditengah terbatasnya sumber pendanaan penerimaan negara, kebutuhan belanja pemerintah justru mengalami kenaikan karena kebutuhan yang besar membiayai kejadian extra ordinary. Peran APBN dalam fungsi stabilisasi yang bersifat countercyclical, membuat pemerintah meredesain postur belanja negara yang dapat mendukung kebutuhan kesehatan masyarakat dan pemberian subsidi sebagai bentuk perlindungan sosial sehingga dapat menjadi motor penggerak roda perekonomian pada saat tingkat konsumsi masyarakat mengalami penurunan. Data menunjukkan bahwa total realisasi belanja negara mencapai Rp2.589 triliun atau 94,6 persen dari target Rp2.739,2 triliun. Jika dibandingkan dengan tahun 2019, belanja negara mengalami kenaikan hingga 22,1 persen. Tingginya belanja negara memang didesain dalam rangka upaya pemulihan ekonomi masyarakat melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Dan nyatanya program ini telah berhasil menahan kontraksi ekonomi lebih dalam sebagaimana terjadi di negara-negara lainnya.

Belanja Birokrasi di Tengah Pandemi

Sudah menjadi rahasia umum jika penghasilan ASN tidak hanya bersumber dari gaji dan tunjangan yang bersifat bulanan semata. Banyak insentif tambahan yang dapat diperoleh dari pelaksanaan kegiatan-kegiatan pemerintahan. Honorarium, rapat di hotel, perjalanan dinas adalah contoh insentif tambahan yang mungkin jika dikalkulasi bisa jadi lebih besar dibandingkan dengan gaji dan tunjangannya. Hal ini membentuk paradigma sebagian besar budaya kerja ASN bahwa setiap pekerjaan tambahan adalah honor dan setiap pergerakan aktivitas di luar kantor adalah perjalanan dinas yang berkonsekuensi adanya insentif tambahan. Semakin banyak kegiatan, maka peluang untuk mendapatkan insentif tambahan semakin besar pula.

Baca Juga :  Menolak "Pikun" Kecurangan Pemilu

Sebelum pandemi melanda, alokasi Belanja Kementerian/Lembaga (K/L) pada APBN 2019 sebesar Rp855,4 triliun yang terdiri dari Belanja Modal dan Bansos sebesar Rp286,4 triliun, 344,6 triliun untuk Belanja Barang dan sisanya untuk Belanja Pegawai. Artinya hanya 33,49 persen diperuntukkan untuk Belanja Modal dan Bansos sedangkan 66,5 persen untuk belanja birokrasi dan operasional. Hal ini senantiasa mendapat sorotan dari pengamat tentang besarnya belanja birokrasi. Jika ditelisik lebih dalam, pada dasarnya banyak kebutuhan anggaran yang tidak berkaitan langsung dengan outcome yang akan dicapai dan tidak sesuai dengan kebutuhan anggaran sesungguhnya.

Namun merebaknya pandemi Covid-19 pada tahun 2020 menuntut pemerintah untuk mendesain ulang APBN sekaligus menjadi momentum untuk melakukan reformasi anggaran. Dengan keterbatasan anggaran dan semakin melebarnya defisit APBN, pemerintah harus melakukan efisiensi, realokasi dan refocussing anggaran dan memberikan anggaran yang lebih untuk meminimalisir dampak pandemi Covid-19. Tercatat belanja K/L pada APBN 2020 dipangkas sebesar Rp73,1 triliun dari APBN awal dengan pemangkasan pos belanja pegawai sebesar Rp3,4 triliun, belanja barang sebesar 33,7 triliun dan belanja modal sebesar Rp39,3 triliun. Dari pos belanja barang yang dipangkas tersebut terdapat pos belanja perjalanan dinas sebesar Rp26,8 triliun dan pos belanja honorarium sebesar Rp6,9 triliun. Dengan pemangkasan itu, nyatanya pekerjaan dapat tetap berjalan seperti biasa.

Pandemi ternyata membawa berkah yang lain disisi pengelolaan anggaran. K/L dipaksa untuk lebih efisien secara radikal. Reformasi anggaran yang berkualitas yang selama ini masih menjadi wacana ternyata dapat diakselerasi secara lebih cepat. Untuk itu, sebagai panduan dalam pelaksanaan anggaran 2021, Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 119/PMK.02/2020 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2021 yang berfungsi sebagai acuan batas tertinggi belanja yang berubah signifikan dibanding dengan standar biaya pada tahun sebelumnya. Kebijakan ini dibuat untuk mendukung efektivitas dan efisiensi belanja negara yang saat ini benar-benar menjadi perhatian Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan. Aturan ini juga merupakan respon adaptasi kebiasaan normal baru dan pengendalian satuan biaya belanja-belanja birokrasi yang sering disorot oleh masyarakat seperti honorarium, perjalanan dinas, rapat tim dan konsumsi.

Baca Juga :  PENGORBANAN UNTUK SIAPA?

Tak bisa dipungkiri, pandemi telah merubah paradigma kerja ASN. Kebijakan Work From Home (WFH) yang dibuat pemerintah telah memberi dampak yang besar terhadap belanja operasional. Biaya rutin yang selama ini mengalami tren peningkatan, justru pada musim pandemi mengalami penurunan karena terbatasnya aktivitas di dalam kantor. Belanja-belanja yang berhasil ditekan diantaranya belanja ATK, belanja langganan listrik, air dan telepon. Namun disisi lain terdapat peningkatan belanja jasa internet yang pada aturan ini telah diakomodir dengan tetap mengedepankan asas akuntabilitas, kepatutan dan kewajaran.

Dalam upaya pengendalian belanja birokrasi lainnya, pemerintah juga telah merubah regulasi diantaranya : pertama, penghapusan uang saku Rapat Dalam Kantor (RDK), pembatasan konsinyering dan pembatasan pemberian konsumsi rapat baik kudapan maupun makan siang. Kedua, pembatasan pemberian honorarium Tim dan Sekretariat Tim Pelaksana Kegiatan dengan pengetatan kriteria yang hanya diperbolehkan apabila bersifat eksternal, dilaksanakan secara offline dan melibatkan K/L lain. Sedangkan honorarium sebagai moderator dan narasumber hanya dapat diberikan sepanjang barasal dari luar unit K/L penyelenggara. Ketiga, belanja perjalanan dinas terutama dalam rangka Rapat Koordinasi, Rapat Kerja, Sosialisasi dan Workshop diarahkan cukup dilaksanakan secara daring/virtual.

Efisiensi yang dilakukan bukanlah sebuah kompromi dengan kualitas dan output yang dihasilkan, tetapi bagaimana mencapai tujuan dengan menggunakan sumber daya terbaik. Paradigma untuk mencari insentif tambahan dari berbagai macam kegiatan merupakan pola pikir birokrat yang semestinya sudah harus dihilangkan sebagai bentuk dukungan atas kebijakan pemerintah untuk membangun birokrasi yang baik.

Budaya efisiensi anggaran menjadi sebuah keniscayaan. Sebab kita percaya bahwa disetiap rupiah yang dikeluarkan oleh rakyat untuk dikumpulkan dalam pundi-pundi APBN, ada peluh dan harapan untuk terciptanya sebuah sistem birokrasi yang baik. Maka wajar jika Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati pada setiap kesempatan selalu berpesan bahwa setiap satu rupiah APBN yang dibelanjakan harus memberi manfaat bagi rakyat. Dan setiap rupiah yang dibelanjakan tidak boleh tercederai oleh penyelewengan dan korupsi.

Iklan
Iklan