Oleh : Khansa
Pemerhati Sosial Keagamaan
Bom bunuh diri di gereja kembali terjadi. Pekan lalu, kita dikejutkan dengan teror bom bunuh diri di Makassar. Bom bunuh diri terjadi di gerbang Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (28/3/2021) pukul 10.30 WITA.
Tidak sendiri, pelaku teror bom bunuh diri adalah pasangan suami isteri yang diidentifikasi sebagai L dan YSF. Identifikasi keduanya dilakukan Tim Inafis Polrestabes Makassar dan Tim Labfor Mabes Polri. Keduanya masih muda dan disebut polisi sebagai “milenial”. L dan YSF berboncengan mengendarai sepeda motor dengan nomor polisi DD 5984 MD.
Menurut keterangan polisi, pelaku bom bunuh diri ini adalah salah satu anggota jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang diidentifikasi terkait bom Jolo di Filipina, 2018.
Jumlah korban luka akibat ledakan bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar bertambah. Polisi menyebut, 14 orang mengalami luka-luka akibat terkena serpihan ledakan bom.
Muhammadiyah mengecam aksi peledakan bom Makassar ini di depan Gereja Katedral di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (28/3). Aksi bom Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan diduga menggunakan bom high explosive atau berdaya ledak tinggi oleh seorang pelaku bom bunuh diri.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir meminta Polri segera mengusut tuntas siapa dan apa motif peledakan bom tersebut termasuk jaringan dan aktor di balik teror bom bunuh diri tersebut. Menurutnya segala bentuk kekerasan yang menimbulkan ketakutan, kekacauan, serta mengancam dan mengorbankan nyawa manusia sangatlah biadab. Haedar menegaskan agar tidak mengaitkan tindakan bom tersebut terhubung dengan agama dan golongan umat beragama tertentu. Bisa jadi aksi bom Makassar ini menjadi adu domba kepada rakyat Indonesia.
“Boleh jadi tindakan bom tersebut merupakan bentuk adu domba, memancing di air keruh, dan wujud dari perbuatan teror yang tidak bertemali dengan aspek keagamaan,” tegas Haedar.
Semenjak insiden bom Bali pada tahun 2002 silam dan bom mariot. Sering terulang kembali insiden bom bunuh diri di gereja. Dari insiden inilah stigmatisasi istilah terorisme yang dilekatkan pada paham islam militan, islam fundamental, islam radikal dan sebagainya mencuat ke publik.
Melalui media, pelaku selalu diidentikkan dengan simbol-simbol keislaman seperti cadar, celana cingkrang, keluarga aktivis, penggemar ajaran Islam, Islam radikal, Islam fundamental, Islam militan dan sebagainya. Apalagi pada saat kasus bom mariot. Menlu Australia, Alexander Downer menyisipkan sebutan militan pada komentarnya seolah menambah kuat islam adalah teroris. Ditambah lagi kemunculan kasus serupa seperti bom thamrin, peledakan di markas polisi dan gereja di Surabaya ditambah lagi baru ini kasus peledakan bom bunuh diri di gereja katedral Makassar. Selalu difrasakan ini adalah kasus terorisme.
Kasus bom bunuh diri selalu terulang. Seolah pengingat dan justifikasi bagi masyarakat terhadap isu terorisme seolah benar-benar masalah besar bangsa dan dunia. Jika ini masalah besar, seharusnya pemerintah menuntaskan masalah yang meresahkan masyarakat ini agar tidak terulang kembali.
Sayangnya, langkah law enforcement yang dipresentasikan oleh Densus 88 dalam menangani terorisme justru menimbulkan problem serius.
Penegakan hukum yang seharusnya berdasarkan keadilan, keterbukaan, berdasarkan bukti yang kuat, menghormati hak asasi dilanggar secara serampangan oleh densus 88. Bukti yang nyata adalah banyaknya pembunuhan tanpa melalui proses pengadilan terhadap orang-orang yang masih diduga pelaku aksi terorisme. Melihat tindakan Densus 88 ini alih-alih menuntaskan permasalahn terorisme justru yang terjadi sebaliknya, yaitu menimbulkan rasa curiga pada orang yang terlihat islamis seolah-olah setiap orang yang terlihat islamis yaitu memakai simbol-simbol islami adalah teroris.
Selain itu low enforcement yang diterapkan selama ini hanya bisa menghukum tindakan kekerasan namun tidak bisa menghukum ide atau gagasan. Karena itu dibuatlah berbagai hukum agar ide masuk dalam kategori bisa ditindak. Contoh nya perppu Nomor 2 tahun 2017 yang disahkan menjadi undang-undang yang berbunyi, memasukkan ajaran dan paham yang bertentangan dengan dasar negara dilarang dianut dan dikembangkan. Adapun definisi tentang isi undang undang ini sangatlah subjektif, sebagai contoh gagasan sistem pemerintahan islam yang merupakan bagian dari ajaran islam disebut-sebut bertentangan dengan dasar negara. Hal ini berpotensi memecah belah kaum muslimin dan umat beragama dan mengarahkan opini demi kepentingan politik tertentu.
Hal itu tentu akan menjadi stigma bagi orang-orang yang mempelajari dan mendakwahkan ide ajaran Islam sebagai pihak yang membuat kerusuhan dari kalangan muslimin. Padahal sistem pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan warisan Rasulullah SAW yang terbukti mampu menjadi solusi segala permasalahan kehidupan yang disebabkan perbuatan manusia yang melampaui batas. Baik kehidupan individu maupun bernegara.
Sebagai contoh, ketimpangan sosial ekonomi sekarang yang disebabkan oleh monopoli SDA oleh kapital korporat, maka di dalam sistem ekonomi Islam SDA dipandang sebagai hak kekayaan milik umum yang mana dikelola dengan baik oleh negara dengan tujuan murni untuk menyejahterakan rakyatnya bukan untuk kepentingan pihak tertentu.
Tentu ajaran Islam ini sangatlah bertentangan dengan ajaran sistem kapitalisme sekuler yang merupakan penyebab kerusakan kehidupan manusia saat ini. Oleh karena itu kasus terorisme tak lebih hanya mendestruksi upaya ajaran Islam agar ajatan sistem sekuler kapitalisme tetap ada.