Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Impor Garam : Sistematis Menghalangi Swasembada

×

Impor Garam : Sistematis Menghalangi Swasembada

Sebarkan artikel ini

Oleh : Mariana, S.Pd
Guru MI Al Mujahidin II Banjarmasin

Pemerintah membuka kembali impor garam sebanyak 3 juta ton pada tahun ini. Hal itu berkaitan dengan kuantitas dan kualitas garam lokal. pada dasarnya garam impor tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri.

Baca Koran

Dalam sistem kapitalisme, kaya dengan sumber daya alam tak menjamin suatu negara berdaulat dan tercipta kemakmuran. Indonesia sebagai negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia harus jatuh bangun memenuhi pasokan garam dalam negeri. Impor garam hampir tiap tahun terjadi.

Adapun pada 2019, Indonesia impor garam dari Cina sebanyak 568 ton. Setahun berikutnya pemerintah kembali impor garam dari Cina yang jumlahnya meningkat menjadi 1,32 ribu ton. Sementara itu, impor garam dari India tercatat sebanyak 719,55 ribu ton pada 2019. Pada 2020 tercatat hanya 373,93 ribu ton. Sedangkan ditahun 2021 kebutuhan garam 4,6 ton.

Kebijakan yang ditetapkan sebagai realisasi UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Dari UU ini terbitlah PP 27/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perikanan dan Kelautan dan Perikanan pasal 289 yang menyebut tidak ada batasan waktu impor garam.

Saat belum ada UU Ciptaker saja, kebijakan impor sudah menjadi kebiasaan pemerintahan Jokowi. Sejak ada UU Ciptaker, kebijakan ini semakin dipermudah dengan regulasi yang bebas hambatan.

Yang paling terdampak atas dibukanya impor garam adalah tentu saja para petani garam. Sudah bekerja keras menghasilkan garam, tapi semua itu seperti sia-sia dilakukan.

Petani garam kristal, di Desa Ketapang Raya, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) meradang. Pasalnya, selama tiga tahun terakhir, garam mereka tak laku dijual. Akibatnya, garam mereka masih menumpuk di gudang. karena pembeli menawarkan harga yang sangat murah, sehingga petani garam terpaksa menstok garam mereka.

Impor garam bukan saja membuat petani merugi, tapi sumber penghasilan mereka juga terancam menurun drastis bahkan hilang. Impor garam membuat serapan garam lokal berkurang. Impor garam membuat garam lokal dipaksa bersaing dengan garam impor. Lebih miris lagi, harga impor selalu lebih murah dibanding harga garam lokal.

Baca Juga :  Menolak "Pikun" Kecurangan Pemilu

Pada akhirnya, kesejahteraan petani garam sangat jauh dari harapan. Bagaimana mau sejahtera bila kebijakan pemerintah tidak pernah berpihak Efek jangka panjang jika impor terus dilakukan, bisa-bisa pencaharian petani garam tak lagi ada karena mereka akhirnya harus menyerah dengan mengalihfungsikan lahan tambak garamnya

Pemerintah mengungkapkan, impor garam dilakukan untuk memenuhi garam bagi bahan baku industri yang belum bisa diproduksi di dalam negeri. Mengutip infografik Indonesia, inilah di antara alasan Indonesia masih bergantung pada impor dalam komoditas garam nasional.

Pertama, tidak semua pantai di Indonesia bisa dijadikan lahan garam. Dari 99.093 km garis pantai Indonesia, hanya sekitar 250 km2 yang bisa digunakan menjadi lahan garam. Kedua, membutuhkan musim kemarau yang panjang agar produksi garam mencukupi. Ketiga, kelembapan udara di Indonesia cukup tinggi pada kisaran 60-70 persen. Keempat, industri pengolahan garam masih tradisional. Sehingga berpengaruh pada kualitas garam yang dihasilkan. Akibatnya, mutu garam lokal tidak terlalu baik dan cocok untuk penggunaan garam dalam skala industri.

Rendahnya produksi garam lokal hanyalah efek dari kurangnya pengurusan negara dalam hal produksi garam nasional. Jika alasan produksi garam rendah lantaran tidak semua pantai bisa dijadikan lahan garam, mestinya pemerintah memetakan potensi serta peluang produksi garam. Pembacaan terhadap aspek ini bisa menjadi acuan dalam mengambil kebijakan yang jelas dan terukur.

Sejak dulu, Indonesia memiliki dua musim, yaitu kemarau dan hujan. Prediksi terhadap cuaca mestinya dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan produksi garam di musim kemarau dan penghujan. Negara seharusnya melakukan perencanaan agar produksi garam tidak terhalang akibat cuaca. Bisa dengan rekayasa teknologi atau semisalnya.

Adapun mengenai mutu garam, hal itu tergantung sejauh mana upaya negara menfasilitasi dan membekali para petani dan industri garam dengan teknologi mutakhir. Hingga saat ini, negara belum berperan penuh untuk meningkatkan produksi dan kualitas garam nasional.

Baca Juga :  Hijrahnya Pustakawan

Penyediaan fasilitas produksi itu penting bagi para petani. Kalau hanya geram terhadap impor, tapi petani memproduksi dengan tangan kosong, ya percuma saja. Inilah buah dari kebobrokan dari sistem yang sangat dibanggakan yang sangat merugikan rakyat dan tidak pernah berhasil.

Peran negara sangat penting dalam membentuk kedaulatan garam dan memberdayakan segala potensi yang ada, baik SDM maupun SDA. Negara yang memiliki political will yang kuat tidak akan memilih jalan instan dengan mengorbankan nasib rakyat.

Mengambil kebijakan itu jangan hanya melihat tersedia atau tidaknya stok garam nasional. Akan tetapi, yang harus dilihat adalah bagaimana memberi solusi terbaik agar potensi garam yang dimiliki negeri ini tidak terbuang percuma.

Jika mengelola negara dengan kacamata kapitalis, kebijakannya pasti menguntungkan satu pihak, yaitu pengimpor atau korporasi.Maka dari itu, bila mau Indonesia bebas impor baik garam atau bahan pangan lainnya, harus berani mengganti sistem yang menjadi biang keladi impor saat ini, yaitu kapitalisme liberal.

Dalam Islam bukan rakyat yang melayani penguasa. Akan tetapi, penguasalah yang melayani rakyatnya. Melayani dalam arti menjamin kebutuhan dasar mereka serta mengerahkan segala potensi SDA dan SDM untuk kemaslahatan rakyat.

Tidak ada solusi selain Islam yang bisa diandalkan dan di harapkan untuk kesejahteraan umat, saatnya kembali ke Islam kaffah yang sempurna dan pernah terbukti kejayaannya pada masa dulu yang membuat umat menjadi sejahtera. Waalahu ‘alam bishowab

Iklan
Iklan