Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Konflik Persoalan Hidup Tiada Akhir

×

Konflik Persoalan Hidup Tiada Akhir

Sebarkan artikel ini

Oleh : Dr. Syaiful Bahri Djamarah, M.Ag.
Dosen PAI Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Antasari Banjarmasin

Manusia tidak bisa terbebas dari konflik batin dan konflik selama masih punya kehendak dan harapan. Jika konflik sosial berbahaya, maka konflik batin jauh lebih berbahaya. Oleh karena itu, berhati-hatilah terhadap konflik batin yang belum terselesaikan.

Baca Koran

Hidup ini tidak pernah sepi dari masalah. Masalah yang satu dapat diselesaikan, muncul lagi masalah baru. Begitu seterusnya. Masalah itu ada karena setiap orang punyai kehendak dan harapan. Setiap kehendak pasti menyimpan harapan. Setiap kehendak harus diwujudkan. Terwujudnya harapan itulah bentuk nyata dari terpenuhinya kehendak.

Namun sayangnya, tidak setiap kehendak dapat diwujudkan. Itulah harapan yang hampa. Dalam kondisi seperti ini seseorang memperlihatkan sikap kecewa, marah, membentak-bentak, dan sebagainya. Inilah sikap dan perilaku manusiawi yang setiap orang memilikinya. Ketidaksiapan menerima kegagalan melahirkan konflik batin. Jadi, sebenarnya dalam setiap masalah selalu menyimpan konflik. Demikianlah, selama hidup kita tidak bisa terbebas dari konflik. Lalu, apa itu konflik?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konflik adalah percekcokan, perselisihan, pertentangan, ketegangan. Secara definitif, konflik adalah suatu kondisi yang menggambarkan ketegangan atau pertentangan yang terjadi dalam diri kita yang belum terselesaikan. Konflik yang semula membatin, kemudian menjelma dalam bentuk nyata dalam kehidupan. Misalnya, korupsi, mencuri, merampok, berkelahian, perselingkuhan, dan sebagainya. Dalam kajian Psikologi Sosial, konflik dibagi dua, yaitu konflik batin dan konflik sosial. Konflik batin adalah konflik yang hanya kita sendiri yang merasakannya. Orang lain tidak dilibatkan sama sekali dengan ketegangan atau pertentangan batin yang kita rasakan. Sementara konflik sosial selalu saja terkait dengan orang lain karena ada masalah tertentu dalam lingkungan sosial. Di sini kita sudah mempermasalahkan ketegangan atau pertentangan yang ada di dalam batin kita dengan cara memperlihat sikap, perilaku atau ucapan yang mungkin tidak menyenangkan bagi orang lain. Akhirnya kemudian membuat orang lain tidak nyaman.

Baca Juga :  Konsistensi Pahlawan Lingkungan Kalpataru Lestari untuk Indonesia

Dalam kajian Psikologi Umum disebutkan ada tiga dorongan dasar dalam diri manusia, yaitu  dorongan mempertahankan diri, dorongan mempertahankan jenis, dan dorongan mengembangkan diri. Dorongan mempertahankan diri yang bersifat biologis, misalnya lapar dan haus, dan sebagainya. Dorongan mempertahankan diri yang bersifat psikologis, misalnya marah bila dihina, melawan bila serang, membalas dengan pukulan jika dipukul, mempertahankan harga diri jika dipermalukan, melarikan diri jika tidak bisa melawan, dan sebagainya. Dorongan mempertahankan jenis misalnya melakukan hubungan kelamin antara lelaki dan wanita, antara jantan dan betina. Wujud dari tidak terpenuhinya kedua dorongan itu lahirlah istilah konflik batin dan konflik sosial. Sedangkan dorongan mengembangkan diri misalnya menuntut ilmu. Untuk dorongan ini biasanya melahirkan konflik batin.

Konflik sosial merupakan perwujudan dari konflik batin. Konflik batin adalah penyebab yang mengakibatkan konflik sosial di masyarakat. Maka dari itu, yang harus diwaspadai adalah konflik batin yang tidak pernah terselesaikan. Banyak kasus yang bisa dijadikan contoh untuk menggambarkan masalah konflik batin dan konflik sosial ini.

Dalam kasus E-KTP, misalnya. Dalam kasus ini Setya Novanto telah memasuki fase konflik batin yang luar biasa karena politisi yang licin bagai belut ini telah diputus bersalah. Vonis 15 tahun oleh hakim bukan waktu yang singkat akibat korupsi dana E-KTP yang dilakukannya secara berjamaah. Tentu saja Mantan ketua Umum Golkar ini tidak terima dengan keputusan itu. Dia tidak tinggal diam. Di batinnya sedang terjadi konflik. Dia pasti berpikir keras, menyusun siasat untuk bisa keluar dari jerat hukum untuk mengukir kembali prestasi jeleknya yang telah berhasil keluar dari ancaman terali besi.

Berbagai kasus pembunuhan biasanya berawal dari konflik batin. Abdus Salam adalah seorang pembunuh. Kini dia terancam hukuman mati. Dia dijerat Pasal 340 KUHP. Pasalnya, dia telah melakukan pembunuhan berencana terhadap Siti Mulin Nikmah mantan kekasihnya. Ini konflik sosial yang disebabkan konflik batin yang tidak terselesaikan (Radar Banjarmasin, 5 Mei 2018).

Baca Juga :  Ekologi Emosional, Ketika Merawat Bumi Sama dengan Merawat Diri Sendiri

Konflik batin berupa sakit hati yang dipendam Abdus Salam tidak mampu lagi dikelola dengan baik sehingga kemudian menjelma menjadi konflik sosial, yaitu dorongan nafsu untuk membunuh. Ini ada pada semua makhluk.

Dalam kehidupan berlalu lintas juga tidak terbebas dari konflik. Di dalam setiap diri pengendara pada suasana tertentu menggejala konflik batin sebagai pemicu konflik sosial. Kemacetan lalu lintas adalah ladang konflik bagi pengendara kendaraan bermotor seperti sepeda motor atau mobil.

Dalam kehidupan bermasyarakat konflik batin adalah konflik yang cukup sulit untuk dikelola bagi orang tertentu. Konflik sosial boleh jadi berakhir. Tetapi, belum tentu mampu mendamaikan konflik batin dalam diri pribadi seseorang. Untuk mendamaikan sebuah perkelahian, misalnya. Berjabat tangan belum tentu simbol hati yang damai. Tetapi, hanya meredam konflik sosial. Sebab jabatan tangan meski diperkuat dengan ucapan kata “maaf” terkadang tidak selalu keluar dari hati yang ikhlas. Setelah berjabat tangan siapa tahu di tempat lain terjadi lagi perkelahian akibat konflik batin yang belum terselesaikan dengan baik.

Dalam kehidupan ini selama kita hidup bermasyarakat, maka kita tidak bisa terbebas dari ketegangan dan pertentangan. Apa yang kita kehendaki tidak selalu sama dengan kehendak orang lain. Apa yang menurut kita baik, belum tentu menurut orang lain. Itulah kehidupan. Selama kita memiliki kehendak dan harapan selama itu pula potensi konflik ada di dalam diri kita. Konflik itu ada di mana-mana. Entah di bidang hukum, kenegaraan, perdagangan, pertanian, perternakan, kelautan, kehutanan, pendidikan, keagamaan, dan sebagainya. Di mana ada kehidupan di situ ada konflik.

Dari semua uraian ini, kitapun sampai pada titik temu bahwa konflik adalah bagian dari kehidupan. Jika konflik sosial berbahaya, maka konflik batin jauh lebih berbahaya. Oleh karena itu, berhati-hatilah terhadap konflik batin yang belum terselesaikan. Kalau begitu, adakah yang meragukan, bahwa konflik adalah persoalan hidup tiada akhir. Wassalam

Iklan
Iklan