Banjarmasin, KP – Tanaman bunga menjadi salah sumber mata pencaharian bagi sejumlah warga di Banjarmasin. Namun, yang ini bukan bunga hias untuk orang yang masih hidup, melainkan bunga untuk keperluan ziarah kubur yang ditabur di makam leluhur.
Di Banjarmasin, pedagang bunga tabur atau orang Banjar sering menyebutnya kambang barenteng ini cukup banyak ditemui. Keberadaannya tak sulit dicari, lantaran para pedagang biasanya mangkal di dekat pasar tradisional dan pinggiran jalan yang selalu ramai dilalui kendaraan bermotor maupun pejalan kaki.
Biasanya, kambang barenteng ini digunakan untuk keperluan ritual keagamanan, kematian, pernikahan hingga menyambut pejabat penting yang berkunjung ke Kota Seribu Sungai. Bahkan, beberapa kalangan menjadikannya sebagai oleh-oleh.
Dari pantauan Kalimantan Post, ada sejumlah titik pedagang kambang barenteng yang menjajakan dagangannya di Banjarmasin. Misalnya, yang paling banyak di kawasan Pasar Ujung Murung dan Pasar Kesatrian, Jalan Banua Anyar – A Yani II Banjarmasin.
Wardiah, salah seorang pedagang kembang barenteng di pinggiran Pasar Ujung Murung menuturkan, saat ini tingkat penjualan kembang barenteng datar-datar saja. Ada masa pasang surutnya, kadang ramai, tak jarang sepi pembeli.
Menurutnya, meski pada momentum lebaran atau perayaan keagamaan lainnya banyak orang yang mencari kembang barenteng, namun hal itu juga diiringi dengan bertambahnya jumlah pedagang yang menjualnya.
“Kebanyakan orang banyak mencari kembang ini saat menjelang lebaran dan beberapa hari setelah lebaran untuk dibawa ziarah kubur. Ada pula yang beli untuk peringatan haul ulama besar ataupun acara selamatan. Walau banyak yang mencari, tapi penjualan kami biasa-biasa saja. Soalnya yang jualan juga tambah banyak, jadi pembelinya juga terbagi,” ujarnya, Minggu (23/5).
Wardiah menceritakan, kembang barenteng yang ia jual terdiri dari beberapa jenis tanaman, seperti bunga mawar, melati, kenanga dan cempaka. Semua pasokan kembang tersebut didapatkannya dari daerah Bincau, Kabupaten Banjar.
“Kalau sekarang, di Banjarmasin sulit sekali mencari tanamannya. Hampir tak ada lagi yang tumbuh di sini, karena lahan sudah banyak yang dibangun ruko dan perumahan,” tutur wanita paruh baya itu.
Dalam satu ikatan kembang barenteng, kata dia lagi, terdiri dari beberapa jenis kembang yang dirangkai jadi satu menggunakan helai daun kelapa atau gedang pisang. Terkadang, bisa pula diganti menggunakan tali rafia sebagai media pengikatnya.
Tiap satu gedang pisang atau tali rafia terdiri dari 10 renteng kembang, harganya kurang lebih Rp 30 ribu perpunduh atau perhelainya. “Kadang bisa dijual setengahnya, Rp 15 ribu. Orang mau beli kembang taburnya saja juga boleh, bisa Rp 3 ribu, Rp 5 ribu atau Rp 10 ribu,” imbuh Wardiah, yang sudah menggeluti profesi tersebut sejak belasan tahun lalu.
Eksitensi para penjual kambang barenteng ini telah ada sejak puluhan tahun silam hingga saat ini. Kambang barenteng menjadi salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat Banjar, modelnya tidak berubah sejak dulu. Namun, kadang susunan isinya bisa berbeda-beda, tergantung musim tumbuh bunga.
“Selain kembang melati, mawar dan cempaka, kalau lagi musim ada pula kembang kertas, kenanga, kaca piring, dan juga kembang kuning,” pungkasnya. (opq/K-1)