Oleh: Nor Aniyah, S.Pd
Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi
Ketua DPP PKS Bukhori Yusuf menyebut penempatan Abdee Slank sebagai komisaris hanya akan merugikan Telkom karena latar belakang profesi yang tidak sesuai. “Ini jelas merugikan Telkom, karena tidak sesuai dengan profesi yang dijabatnya sebagai komisaris dan, jika Telkom dirugikan, negara yang akan dirugikan,” katanya kepada wartawan, Sabtu (29/5/2021). Ia lantas menyinggung orang yang selama ini berada di balik pemenangan di Pilpres 2019 kerap mendapat posisi. Dia menilai hal itu akan merusak tatanan pemerintah (news.detik.com, 30/05/2021).
Sejumlah nama yang pernah mendukung pencalonan Presiden maupun wakilnya dalam Pilpres sebelumnya mendapatkan kursi komisaris di perusahaan pelat merah. Pengangkatan itu dilakukan melalui Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang juga sempat menjabat sebagai Ketua Tim Pemenangan Jokowi-Ma’ruf di Pilpres 2019 lalu. CNNIndonesia.com merangkum nama-nama yang diangkat sebagai petinggi di perusahaan BUMN sejak 2020 lalu, dalam “13 Orang di Lingkaran Istana Jadi Komisaris BUMN.” Di antaranya, Abdi Negara Nurdin alias Abdee Slank. Namanya santer menjadi pemberitaan dan banyak diperbincangkan di media sosial. Bukan karena Bandnya – Slank mengeluarkan album baru, melainkan diangkat menjadi Komisaris PTTelkom IndonesiaTbk (Persero).
Pengangkatan itu dilakukan melalui Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) yang digelar pada Jumat, (28/5) kemarin. Ia adalah salah satu personel Slank, Band yang memang dikenal sebagai salah satu pendukung Jokowi bahkan sejak mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2012 lalu (cnnindonesia.com, 29/05/2021).
Penunjukan komisaris BUMN bukan berdasar kompetensi menegaskan pengelolaan negara bukan untuk kemaslahatan rakyat, tapi demi keuntungan pihak tertentu. Jabatan professional diberikan kepada pihak yang berjasa untuk menaikkan ke kursi kekuasaan sebagai balas budi. Meniscayakan pemerintahan korup dan merugikan kepentingan publik.
Ideologi sekuler Kapitalisme dengan sistem politik demokrasi, membebaskan siapa saja menjadi pemimpin. Proses pemilihan pemimpin pun sarat dengan kepentingan kelompok. Bahkan, cenderung terjerumus ke dalam cengkeraman korporatokrasi. Yaitu sistem pemerintahan yang dikendalikan, dikuasai, dijalankan sejumlah korporat/pengusaha/pemilik modal. Sebab, mereka bisa menentukan peraturan dengan sendirinya sesuai kepentingannya.
Dalam sistem sekuler ini pun sangat memungkinkan terjadi liberalisme politik. Yakni siapa saja bebas mengambil peran atau ditunjuk sebagai pemimpin. Sehingga, juga tak aneh jika negara-negara demokrasi secara global kerap dipimpin oleh orang yang tidak benar-benar mampu, tidak adil bahkan zalim.
Inilah sesat pikir soal kepemimpinan dalam sistem Kapitalisme Barat. Jauh berbeda dengan Islam yang memiliki aturan yang jelas, termasuk dalam mengatur masalah kepemimpinan. Bahkan, syarat menjadi pemimpin sangatlah jelas. Yakni, untuk menjadi pemimpin negara haruslah laki-laki Muslim yang sudah baligh, mampu, adil dan merdeka. Syarat ini bersumber dari wahyu Allah SWT, sehingga pasti akan mengandung maslahat.
Dari Abu Musa al-Asy’ariy ra, ia berkata: “Aku masuk menemui Nabi Saw, aku dan dua orang dari marga pamanku, lalu salah seorang dari keduanya berkata: ‘Ya Rasulullah jadikan kami pemimpin atas sebagian apa yang Allah serahkan urusannya kepada engkau.’ Yang lain mengatakan semisal itu juga. Maka Nabi Saw bersabda: “Kami demi Allah, tidak mengangkat atas tugas ini seorang pun yang memintanya dan tidak pula seorang pun yang berambisi terhadapnya.” (HR. Muslim, Ibnu Hibban, Ibnu al-Jarud, Abu ‘Awanah).
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa suatu ketika Abu Dzar berkata kepada Rasulullah Saw: “Wahai Rasulullah Saw angkatlah aku sebagai amir (pemimpin)!” Atau dalam riwayat Imam Muslim: “Wahai Rasulullah Saw seandainya Anda mengangkatku sebagai ‘amil (penguasa setingkat bupati atau sebagai petugas negara).”
Lalu Rasul Saw menjawab: “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya ia (jabatan/kepemimpinan) adalah amanah, dan ia pada Hari Kiamat akan menjadi kerugian dan penyesalan kecuali orang yang mengambilnya dengan cara yang haq dan menunaikan kewajiban yang ada di pundaknya.” (HR. Muslim dan Ahmad).
Kepemimpinan merupakan amanah, yang bisa kita lihat dari dua segi. Pertama, karena kepemimpinan adalah perintah Allah SWT dengan segala konsekuensinya berupa kewajiban dan hak. Kedua, kepemimpinan merupakan amanah dari orang yang dipimpin kepada pemimpin.
Amanah kepemimpinan ini antara lain, amanah untuk menjalankan hukum-hukum syara’ secara keseluruhan, amanah untuk memutuskan segala perkara dan persengketaan dengan hukum syara’, amanah untuk mengurus segala bentuk urusan dan kepentingan rakyat, dan sebagainya. Sesuai dengan sabda Rasulullah Saw, siapa saja yang memegang amanah kepemimpinan ini pasti akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT di Akhirat nanti.
Salah satu bentuk disia-siakannya amanah, seperti yang disebutkan dalam hadits: “Jika amanah disia-siakan maka tunggulah kehancurannya.” Ia berkata: “Bagaimana disia-siakannya?” Jawab Rasul Saw: “Jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang tidak layak maka tunggulah kehancurannya.” (HR. al-Bukhari dan Ahmad).
Dengan demikian, diangkatnya orang-orang yang tidak kapabel demi kepentingan pihak tertentu untuk menangani suatu urusan atau untuk menempati suatu jabatan adalah bentuk khianat terhadap amanah kepemimpinan. Hal itu juga merupakan bentuk menyia-nyiakan amanah yang akan berakibat kehancuran. Sebab dengan begitu urusan tersebut tidak terurus sebagaimana mestinya.
Oleh karena itu, Islam sangat mendorong agar para pemimpin selalu bersikap adil dan melaksanakan amanah dengan sebaik-baiknya. Sayangnya, pemimpin dengan karakter tersebut tidak mungkin lahir dari rahim sistem demokrasi sekuler Kapitalisme yang memang kufur. Pemimpin dengan karakter tersebut hanya mungkin lahir dari sistem yang juga adil dan shahih. Itulah sistem Islam yang diterapkan dalam institusi pemerintahan Islam, yaitu Khilafah. Oleh karena itu, kaum Muslim jika merindukan kembali kehadiran para pemimpin terbaik, wajib melenyapkan sistem Kapitalisme untuk kemudian digantikan dengan sistem Islam.[]