Oleh : Gumaisha Syauqia Azzalfa
Pemerhati Masalah Sosial
Dilansir dari kompas.com, sebagian masyarakat Indonesia memandang konflik Israel-Palestina sebagai konflik agama. Pandangan tersebut tidak memiliki basis empiris sebab penduduk negara Israel dan Palestina heterogen dalam hal suku bangsa dan agama.
Membingkai konflik di Palestina sebagai konflik agama juga kontra produktif untuk mewujudkan perdamaian, sebab narasi perang agama akan memicu sikap pro kontra yang bersumber dari emosi keagamaan.
Penduduk Israel heterogen dalam hal suku bangsa. Data dalam situs jewishvirtuallibrary.org menyebutkan, penduduk Israel terdiri dari 6. 894.000 orang Yahudi (74,9 persen), 1.966.000 (21,1 persen) orang Arab dan sisanya penduduk dari berbagai suku bangsa. Heterogenitas penduduk Israel juga terlihat dalam agama. Mayoritas adalah penganut Yudaisme (78 persen).
Umat Islam menempati prosentasi kedua terbesar, sebanyak 1.636.000(18 persen). Sebanyak 85 persen umat Islam di Palestina beraliran Sunni. Umat Kristiani dan Druze, masing-masing sebanyak 2 persen atau sekitar 180.000 orang. Menariknya, ada beberapa Muslim Arab yang menjadi politisi Israel, bahkan menduduki jabatan penting secara politik.
Rhaleb Majadele, politisi Arab Muslim, ditetapkan menjadi menteri Ilmu pengetahuan, budaya dan olah raga pada 28 Januari 2007.
Selain itu, ada Ahmed Tibi, pemimpin Ta’al, sebuah partai Arab di Israel. Ia menjabat sebagai anggota Knesset (parlemen) sejak 1999.
Warga negara Israel yang beragama Islam, baik yang bersuku bangsa Arab mau pun etnik di luar Arab, ada yang bergabung menjadi bagian dari militer Israel.
Mereka mendukung berdirinya negara Israel di Palestina. Mereka ikut melakukan tindakan militer ketika konflik dengan orang Arab Palestina terjadi. Penduduk Palestina juga heterogen. Tidak semuanya bersuku bangsa Arab. Ada yang bersuku bangsa Yahudi, Druze dan beberapa suku bangsa minoritas lainnya.
Dari sisi agama, umat Islam menjadi mayoritas penduduk (sekitar 85 persen). Tetapi ada juga orang Arab Kristen.
Ketika kekuasaan Ottoman berakhir di tahun 1922, umat Kristen di Palestina mencapai 22 persen dari total populasi. Di tahun 2017, jumlahnya tinggal 47.000 orang, sekitar satu persen dari total penduduk Palestina.
Dalam survei yang dilakukan oleh Palestinian Center for Policy and Survey Research (PCPSR) kepada 995 orang Kristen di Palestina, ditemukan fakta yang menarik.
Banyak orang Kristen Palestina ingin meninggalkan Palestina karena alasan ekonomi dan keamanan. Tetapi jauh lebih banyak lagi yang ingin tetap tinggal di sana. Jumlahnya hampir 70 persen.
Alasannya, mereka merasa sudah merasa menjadi bagian dari negara Palestina. Mereka juga mendukung keberadaan negara Palestina dan tidak menyukai tindakan militer Israel.
Kesepakatan gencatan senjata yang dicapai antara Israel dan Palestina di jalur Gaza terjadi pada jum’at (21/05/2021) dini hari, tetapi masih ada ketegangan di Yerusalem Timur dimana Polisi Israel menyerbu kompleks Masjid Al- Aqsa dan menembakkan gas air mata ke arah warga Palestina setelah shalat jum’at (21/05/2021).
Gencatan senjata yang di tengahi mesir mulai berlaku pada dini hari Jum’at setelah 11 hari pemboman Israel tanpa henti didaerah kantong yang di kepung dan ribuan roket diluncurkan ke Israel oleh Hamas .
Kantor berita Aljazeera, sabtu (22/05/2021), melaporkan bahwa dari pendudukan Yerusalem Timur, penyerbuan kompleks Masjid Al – Aqsa oleh Polisi Israel tidak terduga dan mencerminkan betapa rapuhnya gencatan senjata itu.
“Polisi Israel mengatakan bahwa beberapa pemuda yang berada di kompleks Al – Aqsa melempari polisi Israel dengan batu. Namun, warga Palestina mengatakan bahwa mereka telah dilecehkan sejak dini hari ketika mereka tiba di Masjid. Mereka dikepung oleh polisi dan mereka merasakan banyak tekanan,” kata Abdel Hamid, wartawan Aljazeera melaporkan.
“Saya pikir ini hanya menceritakan tentang bagaimana hal-hal akan berjalan dan rapuhnya gencatan senjata, dalam arti bahwa Hamas dengan jelas mengatakan telah mendapat jaminan bahwa tidak akan ada lagi ketegangan di sekitar kompleks Masjid Al-Aqsa atau di Sheikh Jarrah. Itu belum terwujud sejauh ini,” tuturnya.
Gencatan senjata memang disambut baik oleh warga di kota Gaza, dengan melakukan aksi turun ke jalan untuk merayakan gencatan senjata tersebut, dengan mengibarkan bendera dan mengibarkan tanda “V” untuk kemenangan.
Gencatan senjata yang dimotori oleh PBB bukanlah merupakan angin segar bagi rakyat palestina, tapi justru semua itu seakan menjadi buruh diri politik yang menyebabkan Israel punya waktu untuk menggunakan senjata yang lebih canggih, sementara kaum muslimin hanya menjadi penonton dan sangat senang dengan gencatan senjata tersebut. Banyak kaum muslimin menyangka bahwasannya gencatan senjata merupakan solusi terakhir untuk meredam gejolak palestina.
Padahal sejatinya gencatan senjata yang diusulkan berbagai pemimpin dunia Islam hanya menegaskan tiadanya pembelaan sempurna terhadap saudara muslim Palestina. Semakin menegaskan keengganan dunia Islam mengirimkan militer dan memberi solusi menghentikan kependudukan dan mengusir zionis dari bumi Palestina.
Selain itu gencatan senjata juga dapat dimanfaatkan oleh zionis Israel untuk berlindung dan memulihkan kekuatan dibalik istilah gencatan senjata dan perdamaian tersebut. Parahnya, kelicikan Israel selalu menodai masa gencatan senjata yang terjadi. Sebagaimana terjadi beberapa hari yang lalu, Israel menghianati gencatan senjata.
Palestina butuh solusi nyata bukan gencatan senjata. Konflik Israel – Palestina yang tak berkesudahan adalah konflik agama dan ideologi, bukan hanya soal hak asasi manusia atau masalah kemanusiaan semata. Menyelesaikannya tidak cukup dengan perjanjian damai atau normalisasi hubungan Palestina-Israel. Karena dengan berbagai perjanjian tersebut justru menjadi pembenaran eksistensi Israel penjajah yang sebenarnya ilegal. Dunia tahu hal itu.
Penjajahan atas nama agama harus segera dihentikan. Islam harus berdiri tegak melawan kezaliman dan wajib melindungi darah dan nyawa setiap muslim. Maka sejatinya kaum muslimin butuh pelindung sejati (junnah). Tak ada lain adalah dengan bersatunya kaum muslimin di bawah panji Tauhid. Tak ada lagi sekat nasionalisme yang menghalangi kaum muslimin satu membela kaum muslimin yang lain.
Kaum muslimin butuh institusi Khilafah Islamiah yang akan menjamin nyawa dan kedamaian hidup kaum muslimin. Membela warga negaranya dari ketidakadilan dan kebiadaban. Maka sudah saatnya, ayo, buka hati dan mata kita untuk mendapatkan kemenangan kaum muslimin yang hakiki.
“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam (Khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah ’azza wajalla dan berlaku adil, maka dia (Khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.” (HR Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad). Wallahu a’lam bi as-sawab.