Oleh : Mawar Kareem
Aktivis Dakwah Banjarmasin
Heboh! Tes wawasan kebangsaan (TWK) terhadap pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menuai kontroversi, khususnya di kalangan umat Islam. Tes yang merupakan asesmen dalam proses alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) diduga untuk memojokkan pihak tertentu dengan pertanyaan yang diskriminatif. Sebanyak 75 pegawai dibebastugaskan akibat tak lolos dalam tes ini. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 652 Tahun 2021 yang ditandatangani Ketua KPK Firli Bahuri 7 Mei 2021, pegawai yang tak lolos TWK diminta menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya pada pimpinannya masing-masing. Hal ini dinilai tidak sejalan dengan makna alih status pegawai. (Kompas.com/17/05/2021)
Giri, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK, adalah salah seorang pegawai yang dinyatakan tidak lulus, mengonfirmasi adanya soal-soal janggal dalam tes wawasan kebangsaan (TWK). Giri mengatakan, ada seorang pegawai perempuan yang ditanyakan kesediaannya untuk melepas jilbab. Dia melanjutkan, pegawai tersebut akan dicap egois jika tidak bersedia melepas jilbab untuk kepentingan negara. (Republika.co.id/08/05/2021)
Kemudian soal TWK yang paling banyak disoroti ialah pegawai KPK diharuskan memilih salah satu antara Al-Qur’an atau Pancasila, tidak boleh keduanya. “Pilih yang mana, Al-Qur’an atau Pancasila mengingatkan saya pada pertanyaan tes wawasan kebangsaan KPK,” kata tulis Febri melalui akun Twitternya, @febridiansyah, Selasa (1/6/2021). Lalu Febri menceritakan salah satu pegawai itu memilih Al-Qur’an dan Pancasila dalam konteks yang berbeda.
“Pegawai jawab, dalam konteks beragama saya memilih Al-Qur’an. Dalam konteks bernegara, saya memilih Pancasila. Pewawancara mendesak beberapa kali, harus pilih salah satu, dan seterusnya,” kata Febri. (detik.com/01/06/2021)
Problem bangsa saat ini adalah korupsi yang sudah terbukti sangat kronis dan diperlukan amputasi untuk memotong alur koruptor yang kian menjalar, yang terjadi mulai dari pejabat daerah hingga pusat. Alih-alih memberantas korupsi, sekarang malah muncul kebijakan kontroversial dalam TWK terhadap pegawai KPK. Wajar jika masyarakat sulit menaruh harapan besar terhadap lembaga ini. Lembaga independen ini kerap kali mendapat tekanan besar dari berbagai pihak.
Dari TWK ini semakin terbukti betapa alerginya negeri ini dengan ajaran Islam, seolah jika mau pilih agama tinggalkan negara, dan jika mau pilih negara tinggalkan agama. Tes ini hanya fokus mempertanyakan ajaran Islam yang diklaim radikal. Apakah ajaran Islam yang dipraktikkan secara konsisten akan menghalangi pemberantasan korupsi?
Dari 75 pegawai yang dibebastugaskan diduga memang sudah direncanakan dari awal, hal.ini menandakan bahwa KPK mudah diotak-atik oleh orang-orang berkepentingan. Memang sudah sejak lama KPK kehilangan wibawanya, lumpuh dihadapan para Kapital. Negara penganut Kapitalis ini semkin rusak dari segala arah, ekonominya, sosialnya, pendidikannya, kesehatannya, hingga kasus para tikus berdasi (koruptor) yang tak kunjung jera menggerogoti negeri ini.
Sampai kapanpun korupsi tak akan bisa diselesaikan jika jalan penyelesaiannya masih dengan asas kapitalistik. Butuh aturan yang bisa menutup akses kecurangan dari orang-orang licik, butuh aturan yang membabat habis para koruptor dengan memberi hukuman menjerakan.. Butuh aturan yang tidak tebang pilih dalam mengadili. Aturan itu hanya bisa didapatkan di dalam sistem Islam, Khilafah Islamiyah.
Adapun cara strategi Khilafah dalam memberantas korupsi, dilakukan melalui beberapa langkah sebagai berikut:
Pertama, menguatkan keimanan para penguasa, pejabat dan penegak hukum, serta rakyat akan pengawasan Allah (maraqabah), senantiasa merasa diawasi Allah, sehingga tidak sedikit pun kesempatan manusia untuk menerima suap sebab merasa senantiasa diawasi Allah.
Kedua, penghitungan kekayaan pejabat sebelum dan sesudah menjabat jabatan yang diamatkan kepadanya. Hal demikian dilakukan dalam rangka tabayyun atau mencari tahu jumlah kekayaan seorang pemangku jabatan, yang memungkinkan rehabilitasi terhadap nama baik terhadap tindakan kejahatan berikutnya, misalnya suap dan korupsi (mencuri).
Ketiga, diberlakukannya seperangkat hukuman pidana yang keras, hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pencegah bagi calon pelaku. Sistem sanksi yang berupa ta’zir bertindak sebagai penebus dosa (al-jawabir), sehingga mendorong para pelakunya untuk bertobat dan menyerahkan diri. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh sistem yang diterapkan sekarang.
Keempat, untuk menghindari membengkaknya harta kekayaan para pegawai, sistem Islam juga melakukan penghitungan harta kekayaan. Pada masa kekhilafahan Umar Bin khatab, hal ini rutin dilakukan. Beliau selalu menghitung harta kekayaan para pegawainya seperti para Gubenur dan Amil.
Kelima, pilar-pilar lain dalam upaya pemberantasan korupsi dalam Islam adalah dengan keteladanan pemimpin. Bisa di ambilkan contoh, khalifah Umar Bin abdul aziz pernah memberikan teladan yang sangat baik sekali bagi kita ketika beliau menutup hidungnya saat membagi-bagikan minyak wangi karena khawatir akan mencium sesuatu yang bukan haknya. Belaiu juga pernah mematikan fasilitas lampu di ruang kerjanya pada saat menerima anaknya. Hal ini dilakukan karena pertemuan itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan Negara.
Keenam, dalam Islam status pejabat maupun pegawai adalah ajir (pekerja), sedangkan majikannya (Musta’jir) adalah Negara yang di wakili oleh khalifah atau kepala Negara maupun penguasa selain khalifah, seperti Gubenur serta orang-orang yang di beri otoritas oleh mereka. Hak-hak dan kewajiban diantara Ajir dan Musta’jir diatur dengan akad Ijarah. Pendapatan yang di terima Ajir diluar gaji, salah satunya adalah yang berupa hadiah adalah perolehan yang di haramkan.
Itulah beberapa strategi khilafah dalam memberantas korupsi atau suap-menyuap yang diharamkan dalam Islam. Maka inilah keuntungan ketika kita menerapkan syari’at islam karena hanya dengan aturan islamlah korupsi mampu diminimalisir atau bahkan dihilangkan.