Oleh : Ismail Wahid
Konsultan Hukum Keluarga
Untuk mewujudkan sebuah keluarga yang harmonis, sakinah, mawadah wa rahmah diperlukam suatu pondasi yang menupang tegaknya sebuah rumah tangga tersebut dan penegakan pondasi tersebut sangat tergantung pada manusianya atau pasangan suami isterl itu sendiri. Kalau pondasi rumah tangga kuat, maka rumah tangga tidak akan goyah meski diterpa badai. Dalam kehidupan berumah tangga adalah bersatunya dua pasangan laki-laki dan perempuan yang masing-masing mempunyai sifat dan tabiat yang berbeda. Perbedaan tersebut jika dikelola dengan baik, maka akan menjadi sinergi, maka rumah tangga tersebut akan mampu mempersepsikan stimulus secara profesional. Tetapi jika perbedaan itu tidak blsa disamakan atau bertolak belakang, maka segala permasalahan dipersepsikan menjadi prinsipil dan meresponnya juga dengan sikap prinsipil berpijak pada perbedaan masing-masing, maka rumah tangga sakinah akan sangat sulit untuk diwujudkan dan yang akan muncul adalah kesalahpahaman dalam rumah tangga yang berkesinambungan. Mungkin saja akibatnya kehidupan rumah tangga tidak lagi menjadi surga melainkan menjadi neraka.
Dalam berumah tangga, tiap keluarga memiliki probelem yang spesifik, tetapi problem yang sering berkembang menjadi batu sandungan yang berkarakter sama yaitu, pertama, persepsi terhadap rezeki keluarga. Dalam hal rezeki inl sebenarnya Allah telah menjamin rezeki hamba-Nya, bahkan jika seseorang ingin menikah, tetapi ekonominya masih lemah, maka nikah sajalah karena Allah akan menjamin rezekinya (QS. An-Nur : 32). Banyak pasangan ketika baru menikah belum memiliki harta apa—apa, tetapi kemudian mereka berkecukupan. Sebaliknya ada yang menikah sengaja mencari pasangan atau mertua orang kaya, ternyata setelah menikah tak terlalu lama sudah jatuh menjadi orang miskin. Ada yang semula suami lancar mencari nafkah, tetapi kemudian jatuh sakit berkepanjangan sehingga tak lagi produktif, kemudian sumber rezekinya berpindah kepada isteri.
Persoalan saluran rezeki bisa menjadi problema ketika orang memandang bahwa rezeki itu hanya rezekinya, bukan rezeki keluarga. Suami yang sukses sering merasa bangga atau sering merasa dirinya paling sukses dan menjadi terpenting dalam keluarga, karena ia yang mencari nafkah dan sering memandang rendah isterinya, tetapi ketika saluran pindah
kepada isteri, sang isteri kemudian menjadi sombong dan merasa hebat dan memandang rendah suami, karena merasa Ia yang mencari nafkah dan membiayai kehidupan dalam rumah tangga. Bila ini terjadi, maka inilah yang sering menjadi kerikil tajam yang mengganggu rumah tangga, meski rezeki melimpah, sebenarnya suami atau isteri lupa, bahwa rezeki itu adalah rezeki bersama yang diberikan Allah untuk keluarga.
Kedua, sifat egois dan tinggi harga diri, sering mendistorsi persepsi, Ada ungkapan dalam psikologi komunikasi yang berbunyi “whorld don’t mean, people mean”, bahwa kata-kata itu tidak punya arti apa-apa, oranglah yang memberi arti. Ada orang tanpa beban apa-apa membeli mobil baru karena memang membutuhkan, tetapi tetangganya ada yang memberi arti sombong, sok, mentang—mentang mampu dan tak menenggang perasaan dan sebagainya. Dalam rumah tangga, sifat egois dan tinggi harga diri sering mengubah perasaan yang normal menjadi tidak normal, apa yang sebenarnya biasa-biasa saja, proporsional, dipersepsi sebagai tidak menghargai, menyakitkan dan sebagainya, sehingga apa yang semestinya seiring sejalan berubah menjadi ada yang merasa menjadi korban. Ada isteri atau suami yang merasa selalu disakiti, padahal tidak ada yang menyakitinya, merasai tidak dihargai, padahal harga diri seseorang itu sudah menempel pada dirinya.
Ketiga, perkembangan psikologi pasangan. Jiwa manusia itu tidak bisa menghindar stimulus dan respon. Setiap hari ia melihat mendengar dan merasakan sesuatu, kemudian mempersepsinya dan meresponnya. Proses stimulus dan respon yang dinamis, bisa mendewasakan seseorang bisa juga membuatnya menjadi terganggu kejiawannya.
Hubungan interpersonal suami dan isteri berlangsung inten, lama dan peka. Hubungan itu kemudian bisa menumbuhkan kejiwaan mereka secara seimbang, menjadi sinergi. Hubungan interpersonal suami isteri itu mengandung muatan partner seksual, sosial dan persahabatan.
Pada laki-laki muatan partner seksualnya itu pada umumnya stabil, partner sosialnya pasang surut dan partner persahabatannya berjalan lambat. Sedang bagi wanita, muatan partner seksual mulai menurun setelah manopause, yang meningkat justeru partner sosial dan persahabatan. Pada pasangan paruh umur (yang normal) gairah seksual suami tetap stabil, sementara isteri lebih merasa bersahabat dengan suami.
Menurut dokter ahli seksologi, pada wanita, gairah seks (libido) meningkat sejak haid sampai puncaknya di usia 25 tahun dan terus menetap sampai usia 45 tahun dan dapat bertahan terus sampai setelah manopause, terutama pada wanita yang rajin memelihara kesehatan secara tradisional, minum jamu misalnya. Pada laki-laki, puncak gairah seks dicapai pada umur 20—30 tahun dan bertahan sampai umur 50 tahun, kemudian berkurang
dan menetap sampai umur lanjut. Pusat libidonya di dalam otak, oleh karena itu, keadaan jiwa yang positif dapat menahan libido, sebaliknya keadaan jiwa yang tidak tenang dapat merusak libido.
Pada kasus tertentu, jiksa suami merasa tidak lagi stabil gairahnya apa lagi jika merasa gagal menunjukan kejantanannya (impoten atau ejakulasi dini), muatan persahabatan bisa berubah menjadi permusuhan (untuk menutupi kelemahannya). Setiap hari suami marah-marah dan memandang keliru apa saja yang dilakukan isterinya, sehingga isteri yang ingin tetap berbuat dan menyangi suami menjadi bingung.
Pada usia paruh baya, ada suami yang padanya muncul apa yang disebut puber kedua dan puber ketiga. Pada masa puber kedua (usia sekitar 40 tahun) ada kecendrungan pria senang berdekatan dengan gadis belasan tahun, sedang pada puber ketiga (antara usia 50-60 tahun) pria tidak lagi tertarik dengan gadis belia, tetapi lebih suka berakrab-akrab dengan wanita paruh baya, yakni wanita yang sudah menunjukan keberhasilannya sebagai wanita dewasa yang anggun. Gejala ini sebenarnya normal dan akan reda sendirinya direspon secara profesional. Tetapi jika isterinya disalahpahami atau dimarahi dan dicaci maki, maka gejala pubertas ini justeru menuntut aktualisasi. Jadi untuk membangun ketahanan keluarga diperlukan daya pikir yang sehat dan sikap arif masing-masing antara suami dan isteri menyikapi sikap dan kepribadian pasangannya.