Oleh : Dewi Yuanda Arga, S.Pd
Pemerhati Pendidikan dan sosial Kemasyarakatan
Negeri ini tidak hanya mengalami krisis ekonomi dan kesehatan akibat pandemi, namun juga mengalami krisis calon intelektual. Bagaimana tidak, pendidikan saat ini mengalami masalah besar karena setengah juta mahasiswa putus kuliah. Padahal diketahui bahwa keunggulan peradaban suatu bangsa dilihat dari aspek pendidikannya
Kepala Lembaga Beasiswa Baznas Sri Nurhidayah dalam peluncuran Zakat untuk Pendidikan di Jakarta secara virtual Senin (16/8). Mengutip data dari Kemendikbudristek, Sri mengatakan sepanjang tahun lalu angka putus kuliah di Indonesia mencapai 602.208 orang.
Sri mendapatkan informasi soal angka putus kuliah tersebut dari Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan Kemendikburistek. Informasi yang dia terima, rata-rata angka putus kuliah paling banyak ada di perguruan tinggi swasta (PTS). Pada tahun sebelumnya angka putus kuliah sekitar 18 persen. Kemudian di masa pandemi ini naik mencapai 50 persen. (Jawapos.com,16/8/2021). Mengapa ini terjadi?
Krisis pandemi covid-19 penyebab naiknya angka putus kuliah dengan tajam. Pada saat wabah ini banyak orang tua mereka yang kehilangan pekerjaan atau merasakan kian sulitnya mencari nafkah, menurut Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Akhmad Akbar Susamto memperkirakan tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus 2021 diperkirakan akan naik ke kisaran 7,15 persen-7,35 persen.( Bisnis.com, 28/7/2021).
Meskipun pemerintah telah menyalurkan sejumlah bantuan untuk menanggulangi pengangguran akibat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pembatasan kegiatan masyarakat selama pandemi. Namun, dengan proyeksi yang dimilikinya, Akhmad menilai jumlah dan nilai bantuan yang sudah disalurkan tidak cukup untuk menanggulangi tingkat pengangguran yang diprediksi semakin tinggi. Meskipun, arah dari kebijakan dan bantuan tersebut sudah tepat arahnya.
Dampak banyaknya mahasiswa putus kuliah pun menimbulkan masalah lain yaitu PTS kelas bawah terancam tutup, banyak kampus swasta terancam merger, seperti yang dikutip dari kompas.com Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) memastikan kampus yang mahasiswanya tidak sampai berjumlah seribu, akan di merger (digabung). Ada 336 kampus nol mahasiswa. Banayknya kampus tutup disebabkan operasional PTS tergantung iuran mahasiswa. Jika banyak mahasiswanya memilih cuti atau berhenti kuliah tentu mereka tidak mendapatkan pemasukan untuk mengelola kampus.
Mendengar keluhan mahasiswa putus kuliah karena tidak mampu membayar UKT, Peraturan baru mengenai Uang Kuliah Tunggal (UKT) resmi dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud-Ristek), Nadiem Makarim. Peraturan itu untuk memastikan tidak ada mahasiswa yang putus kuliah karena tidak memiliki uang untuk membayar UKT.Pemerintah sudah menyiapkan anggaran sebesar 745 Miliar untuk subsidi UKT bagi mahasiswa yang tidak mampu. Setiap mahasiswa mendapatkan pemotongan UKT sebesar 2,4 juta.
Tingginya angka putus kuliah ini tidaklah tiba-tiba, tapi dipengaruhi oleh serangkain kebijakan terkait pendidikan. Masih segar diingatan kita awal muncul pandemi Mendikbud-ristek bungkam dalam menyikapi protes mahasiswa tentang UKT, meski pada masa wabah mereka tidak mendapat keringanan dalam pembayaran UKT bahkan Mahasiswa baru harus membayar UKT yang besarannya dinaikkan. Tak berapa lama setelah itu Mendikbud menjelaskan bahwa UKT tidak dinaikkan dan biaya kuliah diringankan, sera orang tuannya yang terdampak pandemi diberikan bantuan. Namun kebijakan tersebut dianggap masih belum memuaskan, tiap kampus memiliki peraturan yang berbeda dalam menyikapi aturan tersebut.
Dalam negara yang menerapkan sistem sekular kapitalis neoliberal hal seperti ini biasa saja, kemurahan penguasa selalu sarat dengan syarat dan ketentuan karena selalu berhitung untung-rugi karena mereka ada bukan untuk mengurus rakyatnya melainkan sebagai penjual jasa atau regulator saja. Jasa layanan publik seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan dibeli dengan harga mahal, yang tak punya uang jangan harap bisa mendapatkan.
Berbeda dalam pandangan Islam khususnya aplikasi syariah Islam dam negara Khilafah, pendidikan, kesehatan dan keamanan adalah bagian usaha membentuk manusia dan umat yang berkualitas purna. Sehingga tiga hal poko diatas wajib dipenuhi negara sebaik-baiknya. Perhatian besar terhadap pemenuhan kebutuhan pokok tiap warga negaranya. Hal ini tertuang dalam kitab Muqadimmah ad-Dustur, bagian kedua pasal 125 hlm. 12, “Khilafah wajib menjamin pemenuhan semua kebutuhan pokok seluruh warga negara, orang per orang dengan pemenuhan yang sempurna, dan menjamin adanya peluang setiap individu dari rakyat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap pada tingkat tertinggi yang mampu dicapai.”
Khilafah memiliki mekanisme dalam pemenuhan kebutuhan pokok rakyatnya berdasarkan nas-nas syariat. Rasulullah SAW bersabda, “Cukuplah seseorang itu dianggap berdosa (bila) menelantarkan orang yang wajib ia beri makan.” (HR Abu Dawud)
Begitu pula halnya kebutuhan komunal seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Pemenuhan atas ini semua dijamin oleh Khilafah. Sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW dalam menjamin pendidikan rakyatnya, Rasul mewajibkan tawanan perang mengajarkan kaum muslim sebagai tebusan pembebasan mereka.
Tak ada satupun hak rakyat yang diabaikan. Jika angka putus sekolah dan putus kuliah naik tajam, ini menunjukkan kegagalan negara dalam mencerdaskan anak bangsa. Salah satu isi dari UUD 1945 yang hingga saat ini tak bisa diwujudkan. Seharusnya penguasa dan jajarannya instropeksi dan segera mengevaluasi sistem pendidikan negeri ini.
Kembalilah kepada sistem pendidikan Islam yang hanya bisa diterapkan dalam naungan Khilafah. Sistem yang terlah teruji, berkualitas dan menghasilkan generasi cemerlang pengisi peradaban Islam.