Oleh : Normaliana, S.Pd
Pengajar di MTsN 2 HSU, Amuntai
Media massa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keberadaan dan kemajuan zaman. Media kini telah menjelma dalam berbagai bentuk dan sarana yang senantiasa berkembang lebih canggih dan modern baik media cetak maupun media elektronik, khususnya televisi saat ini seakan sudah menjadi bagian yang menyatu dalam kehidupan. Dahulu sarana informasi hanya melalui gelombang suara, tetapi sekarang sudah meningkat dalam bentuk gambar warna warni, bersuara dan semakin hidup. Keunggulan teknologi dan kemahiran memproduksi menambah besarnya pengaruh media itu sendiri bagi masyarakat.
“Anda layak dapat tayangan yang sehat”, adalah sebuah kalimat yang ada pada iklan layanan masyarakat tentang tayangan televisi. Hal ini tentu menjadi peluang yang patut kita perhatikan bersama jika ada tayangan media yang dirasa tidak sehat karena mengandung unsur kekerasan, berbau pornografi dan pornoaksi atau hal-hal lain yang meresahkan maka bisa kita laporkan ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Dan saat ini, kinerja KPI disorot oleh masyarakat dengan kritikan pedas dari berbagai kalangan atas tayangan yang tak bermutu ditelevivi yang minim edukasi dan miskin manfaat. Mereka mempertanyakan kinerja KPI atas tampilnya kembali seorang artis mantan pelaku kekerasan seksual di industri pertelevisian swasta. Sikap beberapa stasiun tv swasta ini pun ditolak masyarakat bahkan seruan boikot ramai ditujukan untuk sang artis tersebut. Masyarakat menilai bahwa seorang publik pigur yang berstatus eks narapidana pencabulan tidak sepantasnya diberi ruang lagi di dunia hiburan tanah air dengan alasan apapun. Tapi, sekalipun protes kerap ditujukan masyarakat atas berbagai tayangan di televisi yang tak bermutu nyatanya masih seperti tebang pilih untuk ditindak lanjuti.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai pengatur penyelenggaraan penyiaran di Tanah Air dinilai tidak tegas karena terkesan begitu wajarnya memperlakukan seorang mantan pelaku kekerasan untuk kembali eksis di dunia hiburan. KPI seakan tidak punya nyali untuk menghentikan keinginan korporasi yakni para penguasa stasiun tv swasta. Padahal, dasar utama pembentukan KPI menurut UU Nomor 32 Tahun 2002 adalah pelayanan informasi publik yang sehat dan terbebas dari campur tangan pemodal dan kepentingan kekuasaan sehingga bermanfaat sepenuhnya untuk kepentingan umum. Melalui KPI sebagai lembaga pembina dan pengontrol penyiaran diharapkan media mampu menjalankan fungsinya, namun nyatanya KPI justru disetir oleh media penyiaran. Inilah kegagalan media dalam negara yang mnenerapkan sistem kapitalis sekuler.
Dunia modern berhasil mempropagandakan gaya hidup hedonis liberal akibatnya semakin banyak masyarakat yang terhipnotis, hidup tanpa arah yang jelas. Bahkan secara nyata dunia modern juga berhasil mengajarkan semua bentuk kemaksiatan lewat tayangan film-film, musik, berita, acara talkshow, infotaiment dan lain-lain. Dunia modern dengan segala kecanggihan teknologi informasi telah mampu menyulap wajah dunia yang kusam menjadi lebih gemerlap. Tanpa kita sadari semua kemajuan itu secara perlahan tapi pasti telah mampu mengikis habis niali-nilai moral. Sehingga tak bisa dipungkiri kini manusia semakin asyik terbuai dengan pesona yang ditawarkan oleh media dengan berbagai suguhan tayangan yang bernuansa kemaksiatan, kekufuran, kriminalitas, kerusakan moral dan lain-lain.
Pantaslah jika seorang pengarang fiksi ilmiah terkemuka, Aldous Huxley pernah meramalkan ihwal kehancuran spiritual (iman) akibat gencarnya tayangan penuh kepura-puraan yang sering dianggap “Musuh berwajah ramah”. Begitu pula menurut Neil Postman dalam bukunya
“A Musing Ourselves To Death” (Sinar Harapan, 1995), mengatakan bahwa saat ini orang tengah menghibur diri sampai mati. Hal ini dikarenakan segala bentuk tayangan yang ditawarkan hanya bertujuan untuk menjadi tontonan bukan tuntunan, media hanya sekedar menjadi sarana hiburan bukan sebagai sarana pendidikan.
Hingga kini banyak orang yang tidak mengetahui besarnya pengaruh media bagi masyarakat dan generasi masa depan dalam wawasan berpikir, perkembangan jiwa, tingkah laku dan pembinaan pola hidup. Media dapat diibaratkan seperti pedang bermata dua. Disatu sisi, media merupakan obat yang ampuh dalam memberikan manfaat kepada masyarakat dengan program tayangan sehat sehingga dapat memainkan peranan pentingnya dalam membina dan memotivasi masyarakat untuk memberantas buta wawasan pendidikan dan pencerahan dari kejumudan dengan bantuan teknologi dan sarana informasi yang beragam. Namun, di sisi yang lain media juga bisa menjadi ‘alat penghancur’ generasi, ketika media telah kehilangan tanggung jawab moralnya karena sering kali menyodorkan aneka hiburan yang miskin manfaat dan penuh maksiat. Kita harus menyadari dibalik berbagai sarana media pada umumnya terdapat niat-niat jahat yang diprogramkan dengan cermat untuk meracuni pikiran dan merusak kepribadian umat, sehingga terjadilah dekadensi moral.
Media yang ada saat ini ternyata sangat jauh dari program edukasi umat dalam menanamkan nilai-nilai kebaikan karena prinsip media dalam sistem kapitalis adalah mengejar rating tinggi demi meraup keuntungan yang dikehendaki agar tidak rugi. Dengan adanya korporasi media beraroma kapitalis sekuler maka dapat dipastikan berbagai tayangan informasi yang dimuat akan mengarah pada kepentingan ekonomi maupun politis dari pemilik modal, sehingga tak peduli pesan yang dijual jutru akan merusak moral generasi masa depan. Jadi, jelas terlihat bahwa betapa pentingnya peranan media bagi juru media dalam mengarahkan perasaan serta pikiran masyarakat sesuai dengan tujuan yang dikehendakinya. Jika media digunakan untuk mengarahkan orang ke jalan kebaikan maka pengaruhnya sangat luar biasa tiada taranya dalam pembangunan manusia sesungguhnya. Dan sebaliknya jika peran media hanya digunakan untuk kejahatan dan kesesatan maka pengaruhnya pun juga sungguah luar binasa tak terhingga tragisnya. Oleh karena itu, kontrol sosial sang
at diperlukan untuk mematikan media-media yang tidak sehat.
Keberadaan media jika diserahkan kepada mekanisme pasar justru tidak mendorong orang untuk berpikir secara mendalam dan ide-idenya tidak substansif, sebaliknya justru terkesan instan dan dapat menarik perhatian dengan cepat.
Hal ini tentu sangat berbeda dengan Islam, media dalam Islam berfungsi strategis dalam melayani pemikiran Islam baik dalam negeri maupun luar negeri. Media dibawah kontrol penuh pemerintah, melarang keberadaan media berhaluan selain ideologi islam. Media di dalam negeri berfungsi untuk membangun masyarakat yang kokoh yaitu yang beriman dan bertakwa. Karenanya, media akan senantiasa menayangkan acara yang menjaga suasana iman dalam masyarakat. Keberadaan media harus memiliki fungsi edukasi kepada publik tentang pelaksanaan kebijakan dan hukum Islam didalam negara. Sedangkan media di luar negeri berfungsi untuk menyebarkan Islam baik dalam suasana perang maupun damai untuk menunjukkan keagungan ideologi Islam sekaligus membongkar kebobrokan ideologi kufur buatan manusia. Maka, sangat jelas keberadaan media adalah sebagai alat propaganda dakwah dan jihad untuk memudahkan upaya menggabungkan negeri Islam menjadi bagian integral dari daulah khilafah islamiyah. Dan untuk mendukung tujuan media didalam negeri, khila
fah akan mengeluarkan undang-undang memuat panduan umum pengaturan informsi siaran berbagai program acara yang akan membentuk pengokohan masyarakat islam yang kuat memegang syariat sehingga melahirkan banyak kebaikan ditengah masyarakat.
Islam memiliki etika dalam penyiaran, diantaranya pertama, isi siaran mengandung nilai pendidikan yang baik, mendorong manusia untuk maju dan menjalankan hidup sesuai dengan ajaran Islam. Kedua, menyampaikan berita atau informasi yang benar dan bersih dari penipuan ataupun kebohongan. Ketiga, berisi nasehat atau peringatan agar pemirsa tidak melakukan perbuatan tercela yang melanggar hukum syara’. Keempat, tidak melakukan fitnah baik secara ucapan, tulisan atau gambar yang bisa merugikan kehormatan orang lain. Kelima, dilarang membuka atau menyiarkan aib orang lain kecuali untuk mengungkap kedzaliman. Keenam, larangan mengadu domba dengan siapapun antara seseorang atau sekelompok orang karena dapat menimbulkan perpecahan ditengah umat. Ketujuh, menyuruh berbuat baik dan mencegah dari perbuatan munkar seperti menyiarkan hal-hal yang berbau pornografi dan pornoaksi serta yang mengandung unsur elgebete, karena semua itu diharamkan dalam islam.
Dan, jika umat menginginkan media berhenti mengharuskan ide kebebasan yang menayangkan program perusak moral generasi maka urgen untuk menjadikan media berhaluan islam. Oleh karena itu, masyarakat kita juga harus diingatkan dengan penuh rasa waspada dan tanggung jawab bersama agar selalu senantiasa menyadari bahaya dibalik pesona yang ditawarkan oleh berbagai media. Kita juga harus mengingatkan kepada lembaga-lembaga resmi agar berusaha sekuat-kuatnya memperbaiki jalannya program media demi menghindari kehancuran masyarakat. Berkenaan dengan kebebasan pers, tentu yang diharapkan adalah kebebasan untuk memperoleh informasi yang terkait dengan kepentingan publik.
Kalau ada informasi yang justru berbahaya bagi publik berarti harus dibatasi dan tetap harus waspada, karena kita harus menghormati hak masyarakat untuk memperoleh, menyebarkan, mendapatkan informasi yang penting untuk kepentingan mereka. Kebebasan untuk mengontrol pemerintah, kebebasan untuk mengkritik, berbicara dan berpendapat itu memang harus benar-benar dijamin.
Sejatinya, perlu ada kesadaran akan pentingnya semangat untuk bersungguh-sungguh melawan segala macam rangsangan hedonisme. Penting sekali menumbuhkan keinginan untuk menjadi yang terbaik, tulus ikhlas untuk selalu peduli terhadap kepentingan dan keselamatan masyarakat.
Kuncinya, tetaplah disandarkan kepada negara untuk memainkan perannyadalam memfilter derasnya serangan budaya liberal melalui media. Karena tugas utama negara adalah untuk menjaga akidah umat dan melindungi generasi masa depan yang akan meneruskan estafet bangsa ini. Dan kondisi ini hanya terwujud jika media berada dibawah kontrol negara yang menjadikan akidah islam sebagai dasar negaranya secara kaffah dalam bingkai syaria’ah khilafah islamiyah. Wallahu’alam.