Apapun alasan apapun kejadian tersebut sangat berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, korupsi dan juga pelanggaran yang tidak hanya bertentangan dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, tetapi juga pelanggaran hukum.
BANJARMASIN, KP – Iuran wajib dalam penyelenggaraan puncak Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-57 di Kota Banjarmasin dinilai bisa berpotensi menjadi dugaan penyalahgunaan wewenang.
Hal itu diungkapkan oleh Pengamat Hukum, Muhammad Pazri saat dihubungi awak media pada Rabu (16/11).
Menurutnya, selain potensi penyalahgunaan wewenang, iuran wajib yang menyertakan nominal minimal besaran iuran itu, kemungkinan juga bisa menjadi tindak pidana korupsi, pungli serta gratifikasi.
Seperti diketahui. Penarikan iuran itu dilayangkan melalui surat edaran (belakangan diketahui sebuah proposal). Selain diteken Ketua Pelaksana Kegiatan, proposal itu juga diteken oleh Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Banjarmasin, Machli Riyadi.
Mirisnya, proposal itu pun diketahui dikeluarkan tanpa sepengetahuan pimpinan daerah, yakni Wali Kota Banjarmasin.
Pazri menegaskan, untuk alasan apapun kejadian tersebut sangat berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, korupsi dan juga pelanggaran yang tidak hanya bertentangan dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, tetapi juga pelanggaran hukum.
“Adanya surat permohonan iuran dana dalam kondisi tertentu itu bisa dianggap sebagai dugaan pungli yang termasuk dalam kategori kejahatan jabatan,” tegasnya.
Ia lantas mengingatkan bahwa dalam Pasal 3 Undang-Undang Tipikor, setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan, bisa menjadi dugaan gratifikasi.
Lalu, Direktur Borneo Law Firm (BLF) itu juga menekankan, bahwa KPK dalam surat edarannya tentang pengendalian gratifikasi telah mengingatkan kepada para pimpinan kementerian.
Kemudian, lembaga dan pemerintah daerah untuk menghindari gratifikasi. Dan patuh terhadap ketentuan hukum yang berlaku demi mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.
Maka, untuk mencegah potensi penyimpangan, korupsi, dan munculnya pungutan yang tidak berdasar, transparansi dan akuntabilitas menjadi hal yang sangat penting.
“Dalam perspektif hukum, adanya iuran dana tersebut juga dapat menyebabkan terjadinya dugaan penyimpangan kewenangan atau penyalahgunaan wewenang dan korupsi,” tekannya.
Untuk itu, Pazri pun lantas menyarankan sebelum nantinya menjadi aduan dan masuk ranah penyelidikan hingga penyidikan ke aparat penegak hukum yakni kepolisian dan kejaksaan, Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) Inspektorat Kota Banjarmasin mesti turun tangan.
“Setidaknya, untuk membuat jelas kejadian tersebut. Baik dalam ranah ketentuan Undang-Undang ASN, aturan kepegawaian dan ranah hukum,” sarannya.
Ia pun menegaskan, bahwa dalam permasalahan iuran itu, juga diperlukan komitmen Pemko Banjarmasin untuk mewujudkan good governance. Khususnya, untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme.
“Kinerja penyelenggaraan organisasi pemerintah menjadi perhatian untuk dibenahi. Salah satunya melalui sistem pengawasan yang efektif, dengan meningkatkan peran dan fungsi dari APIP,” tekannya.
Pengawasan internal meliputi seluruh proses audit, review, evaluasi, monitoring, dan kegiatan pengawasan lainnya terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi.
“Jika memang melanggar ketentuan hukum maka harus dikembalikan iuran-iuran dana tersebut. Dan tentu, jadi pembelajaran bagi semua pihak agar tidak terulang lagi,” tambahnya.
“Saya berharap tidak ada lagi ke depan acara yang dipaksakan digelar atau gagah gagahan. Padahal anggarannya tidak ada dalam perencanaan keuangan daerah. Itu, tentu dan tidak boleh dipaksakan,” tuntasnya.
Sementara itu, saat awak media menghubungi Ketua Pelaksana HKN, Yanuar Diansyah pada Rabu (17/11) siang. Yang bersangkutan memberikan klarifikasi yang sama dengan Kepala Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin, Machli Riyadi.
Ia menilai bahwa surat yang dilayangkan pihaknya yang didalamnya mencantumkan nominal minimal iuran itu merupakan sebuah proposal.
Tujuannya, seperti yang tertera di dalam proposal itu. Yakni, untuk seluruh rangkaian kegiatan HKN.
Disinggung terkait adanya nominal minimal, Yanuar membeberkan bahwa itu hanyalah harapan pihaknya. Dalam artian, bukan kewajiban si penyumbang menyetor sesuai dengan angka minimal.
“Dalam notulen rapat kami selaku panitia, sumbangan itu sukarela. Tetapi dalam bahasa proposal dibuat seperti itu yang bunyinya permohonan,” jelasnya.
“Misalnya, seperti yang tertera untuk RSUD Sultan Suriansyah sebesar Rp25 juta. Itu hanya harapan. Kenyataannya, yang kami terima tidak sebesar itu. Hanya Rp22 juta saja,” ungkapnya.
Lelaki yang saat ini menjabat sebagai Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat di Dinkes Kota Banjarmasin itu pun kembali menekankan, bahwa iuran yang dilakukan bukanlah kewajiban juga tanpa adanya unsur pemaksaan.
Kemudian menurutnya, dari sekian banyak sasaran proposal pun tidak semua yang memberikan sumbangan atau iurannya. Itu, dibuktikannya dengan jumlah total hasil iuran yang terkumpul.
“Total yang iuran yang terkumpul itu sebesar Rp236 juta,” ungkapnya. “Baik yang disumbang dari ASN Puskesmas, dinkes, rumah sakit swasta, klinik, apotek dan laboratorium, instalasi farmasi, hingga profesi kesehatan,” tambahnya.
Kemudian, ia menekankan, bahwa tidak semua sasaran proposal itu memberi sumbangan berupa dana. Karena ada juga yang berupa barang. “Itu yang kami gunakan dan kami bagikan untuk doorprize alias keperluan untuk kegiatan. Jadi tidak ada maksud apa-apa, murni untuk kegiatan,” tutupnya. (Zak/K-3),.