Oleh Adzkia Mufidah, S.Pd
Sungguh tak terhitung jasa orang tua terhadap anak-anaknya. Dari sejak sebelum lahir hingga sang anak dewasa. Kerja keras mereka lakukan tanpa henti demi kebahagiaan anaknya.
Dengan sabar sang ibu membesarkan anaknya. Meski waktu istirahat dan tidur menjadi berkurang karena menyusui, merawat, dan mendidik buah hatinya, namun ia rela. Begitu pula seorang ayah, rela memeras keringat dan banting tulang setiap harinya untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan sang anak dan membayar pendidikan mereka.
Karena itu sudah selayaknya kedua orang tua mendapatkan kebaikan dan penghormatan dari anaknya. Dan sudah selayaknya pula seorang anak berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tuanya..
Namun, akhir-akhir ini kita sering mendengar juga menyaksikan kisah pilu orang tua yang ditelantarkan atau bahkan “dibuang” oleh anak-anaknya. Seperti yang dialami ibu Trimah, 65 tahun, warga Magelang, Jawa Tengah, yang dititipkan ke sebuah panti jompo, oleh anaknya. Alasannya anak-anaknya tidak mampu lagi membiayai dan merawatnya. (VIVA.co.id, 31/10/2021)
Sebelumnya beberapa orang tua juga mengalami hal serupa. Mereka ditelantarkan anak-anaknya, bahkan ada yang meninggal di jalanan. Sungguh memilukan. Masa tua yang diharapkan penuh ketenangan dan kebahagiaan justru berakhir dengan hidup dan berjuang sendiri tanpa kehadiran dan kasih sayang anak-anaknya.
Generasi Durhaka ; Produk Sekulerisme-Kapitalisme
Maraknya fenomena pengabaian dan penelantaran terhadap orang tua ini patut menjadi perhatian kita bersama. Mengapa anak-anak sekarang begitu tega ?
Diakui atau tidak generasi durhaka saat ini merupakan hasil dari system sekularisme-kapitalisme yang diterapkan negeri ini. Anak-anak dibesarkan dan dididik dengan pola sekuler (pemisahan agama dari kehidupan).
Tidak hanya di rumah, bahkan juga di sekolah. Islam hanya dikenalkan sebatas agama yang mengatur ibadah mahdhah. Sehingga anak-anak tidak mendapatkan gambaran utuh tentang syariat. Ditambah lagi, tidak ada upaya untuk membiasakan anak taat/menjalankan syariat dalam kehidupan kesehariannya. Seperti kewajiban menutup aurat, juga untuk menghormati dan berbuat baik kepada kedua orang tua.
Tidak hanya itu, pola pendidikan di negeri ini juga menanamkan nilai-nilai liberal dan HAM yang sejatinya itu racun bagi anak. Anak menjadi jauh dari Islam dan hidup bebas ‘semau gue’. Tidak mau mendengar apalagi mentaati nasehat orang tua.
Lebih dari itu, anak-anak menjadi generasi materialis dan individualis. Standar berbuat mereka bukan lagi halal-haram tapi maslahat dan materi. Mereka tumbuh dewasa dengan standar tersebut. Manfaat-materi menjadi segala-galanya.
Pun dalam hal merawat orang tua. Standarnya bukan lagi syariat Allah tapi untung rugi. Ketika orang tua tidak lagi memberi manfaat, mereka pun dianggap beban yang bisa ditinggalkan atau dibuang kapan saja. Astaghfirullah.
System kapitalis yang diterapkan di negeri ini juga sukses memproduksi kemiskinan massal. Begitu pula para pemimpin negeri ini. Lebih banyak mempertontonkan kelalaian-ketidakbecusannya dalam mengurusi dan menyelesaikan persoalan rakyat. Mestinya merekalah yang bertanggung jawab mengurus rakyat. Namun yang terjadi mereka justru berlepas tangan dari tanggung jawabnya. Mereka lebih berpihak kepada para pemilik modal ketimbang rakyat.
Pada akhirnya rakyat didera kerasnya tekanan hidup akibat himpitan ekonomi. Mereka kian hari kian terpuruk. Kondisi ini seolah menjadi pembenar terhadap prilaku anak menelantarkan orang tua, atau melempar tanggung jawab pengurusan orang tua kepada panti jompo.
Sistem Islam Mencetak Generasi Birrul Waalidain
Apa yang terjadi mestinya membuat kita sadar bahwa system kapitalis rusak dan merusak. Sistem ini hanya menghasilkan orang yang cakap ilmu, akan tetapi bobrok dalam berperilaku. Sistem ini juga telah mematikan fitrah manusia untuk memuliakan orang tua. Anak tidak lagi menjadi penyejuk hati dan kebanggaan orang tua. Tetapi berubah menjadi sosok yang angkuh, tidak mempunyai hati nurani dan belas kasih.
Sangat berbeda dengan kehidupan dalam sistem Islam. Dalam khilafah anak-anak dididik dengan benar sesuai syariat, dan taat syariat. Hal ini dilakukan baik di rumah maupun di sekolah.
Anak-anak akan dibina agar hanya menjadikan Islam sebagai standar berbuat. Dalam hal berbakti kepada orang tua, karena itu wajib, maka anak-anak akan selalu diajarkan untuk birul walidain (berbakti kepada orang tua) dan memuliakan orang tuanya karena Allah. Allah SWT berfirman ;
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya”. (Q.S. Al-Ahqaf [46]: 15)
Mereka juga akan selalu diingatkan bahwa mengabaikan dan berperilaku buruk terhadap orang tua adalah dosa besar dan dibenci Allah. Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh mendurhakai kedua orangtua.
Rasulullah saw. bersabda, “Dosa besar yaitu menyekutukan Allah dan durhaka pada orang tua.” (HR Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi).
Negara sedapat mungkin menjauhkan generasi dari hal-hal yang menyimpang atau yang dapat merusak pola pikir dan prilaku anak.
Khilafah menjamin kesejahteraan rakyat. Hal ini melalui beberapa mekanisme. Pertama, menetapkan bagi laki-laki-khususnya kepala rumah tangga untuk bekerja guna menafkahi keluarganya. Karenanya negara menyediakan lapangan pekerjaan terhadap mereka. Kedua, Khilafah mendorong masyarakat saling tolong-menolong jika terjadi kekurangan atau kemiskinan yang menimpa individu masyarakat.
Ketiga, Khilafah menerapkan sistem ekonomi Islam dan mengatur berbagai kepemilikan demi kemakmuran rakyat. Negara juga menjamin kehidupan setiap individu masyarakat agar benar-benar terpenuhi kebutuhan pokoknya seperti sandang, pangan, dan papan.
Ketika syariat Islam diterapkan secara kaffah, kesejahteraan rakyat terjamin. Tidak akan ditemukan lagi lansia yang terbuang atau terlantar karena faktor ekonomi. Pendidikan pun berjalan dengan benar sesuai syariat. Sehingga tidak akan kita temukan lagi anak durhaka yang tidak beradab atau menelantarkan orang tua.
Karena itu mencetak generasi yang birrul waalidain yang menghormati, menyayangi, dan menghargai orang tua dan sesama manusia butuh sistem Islam. Wallaahua’lam.