Oleh : Normaliana, S.Pd
Pemerhati Sosial Keagamaan
Adanya Penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) RI No.20 tahun 2021 tentang kebijakan dan pengaturan impor yang salah satunya adalah aturan impor minuman keras, tentunya akan selalu menuai kontroversi banyak kalangan dengan didasari berbagai motif, sudut pandang dan kepentingan.
Ketua MUI Cholil Nafis pun telah mengkritisi Permendag tersebut. Menurut Cholil adanya Permendag RI Nomor 20 tahun 2021 Tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor ini memang memihak kepentingan wisatawan asing agar datang ke Indonesia, tetapi merugikan anak bangsa dan pendapatan negara. Jelasnya (Minggu, 7/11). “Kerugian negara terletak pada perubahan pasal 27 Permendag tahun 2014 yang menyatakan bahwa pengecualian bawaan minuman beralkohol (minol) boleh di bawah 1.000 ml menjadi longgar di Permendag No. 20 tahun 2021 bahwa minol bawaan asing boleh 2500 ml. Pastinya ini menurunkan pendapatan negara,” beber Cholil Nafis.
Semakin banyak kuantitas beredarnya miras yg dibawa wisatawan mancanegara dan berinteraksi dengan anak bangsa, ini jelas akan merusak moral anak bangsa. Jadi, penolakan tidak boleh dicukupkan pada pelonggaran kuantitas miras saja, tapi juga harus menolak secara menyeluruh masuknya miras berapapun jumlahnya. Penolakan Juga harus tetap disuarakan terhadap produksi-distribusi miras dengan alasan apapun karena hal itu bertentangan dengan syari’at Islam.
Miras Sumber Kerusakan Moral
Aroma kuatnya pengaruh bisnis miras jelas semakin menyeruak. Para pengusaha miras tentu sudah sejak lama mengeluhkan kesulitan memasarkan produk mereka karena adanya larangan pengadaan, peredaran, dan penjualan minuman beralkohol. Padahal Indonesia dianggap pangsa pasar miras potensial. Selama ini yang pertama-tama menentang larangan miras adalah pengusaha miras karena dengan adanya permendag itu akan dianggap mematikan usaha mereka, dan imbasnya tentu saja akan mengurangi pendapatan pemerintah dari hasil pembayaran pajak. Miras termasuk golongan produk pengecualian dari komoditas bebas tarif di Era MEA yang tentu saja sangat menguntungkan bila miras bebas beredar dengan pajak tinggi sebagai sumber pendapatan utama negara.
Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, tentu sudah tahu bahwa keberadaan miras merupakan sumber berbagai macam kejahatan, tindak kriminalitas dan kerusakan moral. Sekitar 15 persen kecelakaan lalu lintas karena pengaruh dari minuman keras. Miras juga menjadi pemicu beberapa tawuran massal yang akan menyebabkan sejumlah korban tewas. Begitu juga tak sedikit orang yang meregang nyawa setelah menenggak miras.
Jika memang benar-benar memperhatikan suara mayoritas negeri ini seharusnya permendag yang dikeluarkan secara demokratis itu bisa diterima dengan lapang dada tanpa pengabaian terhadap bahaya negatif dari pengedaran miras tersebut.
Mengingat selama ini, setiap ada peraturan yang bertujuan untuk kemaslahatan umum yang dianggap kental dengan syariah islam selalu saja digugat oleh kelompok sekuler liberal yang lebih mengutamakan kepentingan bisnis diatas segalanya. Mereka meanggap syariah Islam mengancam negara. Sungguh, Tudingan yang sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin syariah Islam yang bersumber dari Allah SWT yang maha tahu apa yang terbaik bagi makhluk ciptaanya justru dianggap membahayakan? Bagaimana mungkin aturan Allah SWT melarang miras yang menjadi salah satu sumber kejahatan dianggap merugikan masyarakat?
Islam dengan tegas mengharamkan khamr, (QS. al-Maidah : 90). Sesungguhnya yang dimaksud dengan khamar di dalam Islam itu tidak selalu merujuk pada alkohol. Khamar adalah segala sesuatu minuman dan makanan yang bisa menyebabkan mabuk. Sedangkan alkohol hanyalah salah satu bentuk zat kimia. Zat ini juga digunakan untuk berbagai keperluan lain seperti dalam desinfektans, pembersih, pelarut, bahan bakar dan campuran produk-produk kimia lainnya. Untuk pemakaian tersebut, maka alkohol tidak bisa dianggap sebagai khamar, karenanya pemakaiannya tidak dilarang dalam Islam.
Sebaliknya, jenis obat-obatan (psikotropika dan narkotika) walaupun tidak mengandung alkohol, dalam pandangan Islam tetap saja dikategorikan sebagai khamar yang hukumnya haram/terlarang. Aturan pengharaman minuman keras (khamar) berlaku untuk seluruh umat Islam serta tidak ada pengecualian untuk individu tertentu. Yang dilarang dalam Islam adalah tindakan meminum khamar itu sendiri, terlepas apakah si peminum tersebut mabuk atau tidak.
Islam memandang, meminum khamar merupakan kemaksiatan besar dan pelakunya harus dijatuhi sanksi had yaitu dijilid 40 kali dan bisa ditambah. Islam juga mengharamkan semua hal yang terkait dengan khamr (miras), termasuk produksi, penjualan, kedai dan hasil darinya. Karena itu sistem Islam akan melarang produksi khamar (miras), penjualannya, tempat-tempat yang menjualnya serta peredarannya. Orang yang melanggarnya berarti melakukan tindakan kriminal dan dia harus dikenai sanksi ta’zir. Syariah Islam juga menghilangkan pasar miras, membabat produksi miras, penjualan, peredarannya dan tempat penjualannya di tengah masyarakat. Dengan itu Islam menutup salah satu pintu semua keburukan. Islam menyelamatkan masyarakat dari semua bahaya yang mungkin timbul karena khamar.
Dan sejatinya, masyarakat yang bebas dari bahaya khamr (miras) tidak akan terwujud dengan sistem kapitalisme sekuler saat ini yang hanya sekedar memikirkan keuntungan bisnis semata. Sistem ini tidak akan memberikan kebaikan sedikitpun kepada manusia. Bahaya khamr dan semua keburukannya yang diakibatkannya hanya akan bisa dihilangkan dari masyarakat dengan penerapan syariah Islam secara menyuluruh. Karena itu impian kita akan masyarakat yang tenteram, bersih, bermartabat dan bermoral tinggi, hendaknya mendorong kita melipatgandakan perjuangan untuk menerapkan Islam dalam sistem kehidupan. Karena hanya hukum yang bersumber dari Allah SWT lah sebaik-baik aturan hidup bukan dengan hukum jahiliyah yang bersumber dari hawa nafsu manusia yang tidak ada batasnya. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.