Oleh : Muhandisa Al-Mustanir
Pemerhati Kebijakan Publik
Aturan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait pembatasan pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) pada umur 56 tahun memicu polemik. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua itu akan diberlakukan pada 4 Mei mendatang. JHT yang awalnya bisa diambil satu bulan setelah PHK, dengan peraturan baru berarti harus menunggu hingga umur mereka 56 tahun. Tentu saja hal ini menyebabkan banyak kaum buruh yang tidak setuju dan siap unjuk rasa terhadap aturan yang baru dibuat tersebut karena merasa dirugikan, tak terkecuali para kaum buruh yang ada di Kalimantan Selatan. Di Kalsel sendiri, serikat buruh turun berdemo pada Rabu (23/02/2022) pagi.
Ketua Presidium Aliansi Pekerja Buruh Banua (PBB) Kalsel, Yoeyoen Indharto, menegaskan bahwa pihak pendemo sudah merencanakan aksi besar-besaran sebagaimana yang dilansir dari Radarbanjarmasin.jawapos.com (21/02/2022). Pihaknya juga mengatakan aturan ini sangat menyakiti kaum buruh. Yoeyoen pun melihat pemerintah semakin tidak pro pekerja. Mereka yang bekerja dan membayar iuran bulanan, ketika kehilangan pekerjaan pada usia muda, tak bisa mengambil JHT-nya. Kaum buruh menilai, Permenaker yang mengatur bahwa pencairan dana JHT baru bisa seratus persen dicairkan di usia 56 tahun sangat merugikan kaum buruh dan pekerja. Pasalnya akses sepenuhnya terhadap dana JHT saat buruh dan pekerja ter-PHK atau mengundurkan diri menjadi hal vital tak hanya untuk menyambung hidup tapi juga sebagai modal usaha.
Dijelaskan Yoeyoen, aksi akan diawali dari dua titik kumpul yaitu di Lapangan Kamboja, Jalan Anang Adenansi dan Halaman Gedung Sultan Suriansyah di Jalan Hasan Basri. Dari dua titik tersebut, massa buruh dan pekerja akan berjalan menuju lokasi unjuk rasa yaitu di Gedung Kantor DPRD Provinsi Kalsel di Jalan Lambung Mangkurat dan Kantor BPJS Ketenagakerjaan Cabang Banjarmasin di Jalan Hasan Basri Kota Banjarmasin. Selain berunjuk rasa untuk pencabutan Permenaker Nomor 2 tahun 2022 tersebut, buruh Kalsel juga menuntut pencopotan Ida Fauziah selaku Menteri Tenaga Kerja.
Adanya protes ini adalah hal yang wajar, dan alasan yang disampaikan oleh kaum buruh memang masuk akal dan memang kebijakan yang tertuang pada Pemenaker Nomor 2 tahun 2022 ini sangat tidak berpihak pada kaum buruh. Padahal seperti yang kita tau, JHT sendiri ibarat pertahanan terakhir bagi para buruh ditengah impitan kesulitan hidup. Sebelumnya, kita tentu tidak lupa dengan kebijakan Omnibuslaw yang sangat kontroversial, dari Omnibuslaw saja kita bisa melihat bahwa pemerintah terkesan lebih berpihak pada para korporasi ketimbang rakyatnya sendiri. Lantas, sudah sewajarnya jika para buruh berusaha memperjuangkan haknya, ditambah masa pandemi yang belum usai dan ancaman PHK bagi para buruh dan pekerja kian besar. Adanya Permenaker Nomor 2 tahun 2022 terkait JHT ini, semakin mencekik kehidupan para buruh yang sebelumnya sudah sulit.
Lahirnya kebijakan ini kemudian menjadi tanda tanya, ke manakah dana JHT tersebut disalurkan? Sebab, bukan tidak mungkin aturan ini berpangkal karena dananya yang memang tidak ada, entah digunakan untuk investasi, atau mungkin juga korupsi, mengingat kasus korupsi di negara ini seperti sudah mendarah daging dan tak ada habisnya.
Walaupun pihak kementerian menegaskan dana tersebut tidak hilang dan masih ada, namun rumor ini tentu tak bisa kita abaikan begitu saja, apalagi masyarakat tidak mendapat bukti konkret terkait hal ini, dan malah terkesan kebijakan-kebijakan yang ada mendukung rumor tersebut. Ditambah citra buruk dari pemerintah yang semakin membuat tingkat kepercayaan masyarakat semakin rendah.
Tersebab hal inilah, para buruh menuntut pencopotan jabatan Ida Fauziah yang hari ini menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja, karena dianggap telah melahirkan kebijakan yang merugikan ini. Namun sebenarnya, apakah dengan pergantian orang di bangku kementerian adalah solusi dari masalah ini? Tentu tidak. Sebab, siapa pun yang duduk di bangku pemerintahan tersebut, kebijakan dan aturan yang serupa masih akan terus lahir, jika Negara kita masih menerapkan sistem kelola negara ala Kapitalisme Demokrasi.
Sistem demokrasilah yang melahirkan penguasa-penguasa bermental pedagang, yang menjadikan kekuasaannya sebagai wasilah untuk mendulang keuntungan demi keuntungan. Maka tidak heran juga, jika dalam demokrasi simbiosis mutualisme antara penguasa dengan pengusaha dalam mengeruk harta rakyat dan merampas hak-haknya adalah kolaborasi yang menguntungkan di atas penderitaan rakyat. Hal ini juga disokong oleh sistem Ekonomi Kapitalis yang menjadikan Investasi sebagai orientasi pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya kehadiran para investor alias pihak korporasi menjadi tulang punggung Negara kita ini.
Menyedihkan memang melihat fakta yang terjadi, bahwasanya permasalahan yang ada hari ini hanyalah dampak dari kesalahan akibat tata aturan negara yang salah sejak awal. Oleh karenanya, solusinya sendiri tidak bisa hanya dengan solusi pragmatis yang tidak menyelesaikan akar masalah.
Hal ini tentu sangat berbeda jika dibandingkan dengan bagaimana Islam mengatur terkait jaminan kebutuhan dasar bagi rakyatnya. Yang mana di dalam Islam, tidak ada istilah Jaminan Hari Tua, malah yang ada adalah, jaminan hidup bagi seluruh rakyatnya tanpa memandang usia, gender, dan apakah dia kaum buruh atau tidak. Negara di dalam Islam, bertanggung jawab untuk memberikan kebutuhan dasar berupa sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, bahkan keamanan. Oleh karenanya, rakyat tidak punya beban untuk memikirkan segala sesuatu yang memang sudah menjadi hak mereka dari negara.
Pembahasan upah di dalam Islam hanyalah berbicara akad antara majikan dan pegawai. Pemerintah tidak berhak ikut campur menentukan besaran upah, kecuali memilihkan pakar untuk menentukan besaran upah, itu pun jika ada pertikaian di antara kedua belah pihak. Sedangkan jaminan atas kebutuhan hidup bukan tanggung jawab majikan, tetapi tanggung jawab pemerintah. Pemerintahlah yang akan menjamin kebutuhan dasar umat agar terpenuhi. Baik itu sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan maupun keamanan. Dengan demikian, jika upah mereka tidak mencukupi untuk menghidupi diri dan keluarganya karena cacat atau lainnya maka itu urusan pemerintah, bukan majikan.
Tentu kebijakan seperti ini hanya bisa dilakukan oleh sistem pemerintahan Khilafah yang memiliki aturan administrasi yang kuat pada baitulmal. Ditambah pemasukan kas Negara yang sesuai dengan jalur-jalur yang telah di tetapkan oleh Islam, bukan sebagaimana Ekonomi Kapitalisme yang bersandar pada para investor dan juga bank dunia.
Oleh karena itu, berharap akan ada jaminan hidup sejahtera baik di masa tua maupun di masa muda dalam tata kelola demokrasi kapitalisme bagai punuk merindukan rembulan. Karenanya ini tersebab kita hari ini meninggalkan syariat Islam secara sempurna tadi dan berharap pada aturan-aturan cacat buatan manusia, sehingga umat manusia harus terus diselimuti oleh kesengsaraan dan keterpurukan, terutama kaum muslimin. Maka solusi yang terbaik adalah kembali mengatur segala bentuk kehidupan ini denga aturan Islam yang mulia dan memuliakan manusia. Wallahu A’lam bishawab.