Oleh : Nurma Junia
Pemerhati Keagamaan
Ramadhan adalah bulan istimewa, bulan agung dan suci yang penuh ampunan Allah SWT. Seluruh umat Islam dimanapun berada tentunya akan merasa gembira menyambut Ramadhan tiba. Pada saat Ramadhan mesjid akan kembali terisi penuh dengan kegiatan tarawih, tadarus Al Qur’an, ceramah agama, dan segala hal yang terkesan serba agamis. Para pedagang dan pengusaha juga berlomba-lomba memanfatkan kehadiran Ramadhan, seolah menyambut janji Rasulullah SAW bahwa Ramadhan bulan penuh berkah dengan peluang tambahan rezeki berlimpah dari Allah.
Dan dalam rangka untuk menghormati kemuliaan Ramadhan, maka Forkopimda mengeluarkan surat edaran terkait Ramadhan 1443 Hijriyah 2022. Pengaturan itu mencakup 11 poin berisi larangan dan ketentuan yang mengacu ke sejumlah peraturan daerah (Perda) serta Inmendagri Nomor 19 Tahun 2022. SE ini ditujukan kepada pengelola/pimpinan usaha hiburan umum, hotel, restoran, rumah makan dan tempat makan hingga masyarakat umum di Banjarmasin.
Suasana Ramadhan memang selalu identik dengan pelarangan sejumlah kemaksiatan agar Ramadhan mulia tidak ternoda, namun setelah berlalunya ramadhan maka aktivitas apapun kembali akan diperbolehkan. Seperti itulah ritual tahunan umat Islam di tanah air selama Ramadhan. Sungguh, hadirnya Ramadhan memang penuh keajaiban karena bisa mengubah sekulerisme menjadi lebih Islami. Tapi Sayang, keindahan itu ternyata hanya bertahan sesaat hilang tanpa kesan, disebelas bulan berikutnya aktivitas kemaksiatan pun akan kembali dijalankan.
Benar sabda Rasulullah SAW, “Banyak orang menempatkan Ramadhan hanya sebagai kegiatan ibadah yang terpisah dari kehidupan”. Mungkin nafsu makan minum saja yang hanya sekedar ditahan, tetapi berbagai bentuk kemaksiatan mungkin pula tetap dilakukan. Berbagai macam kerusakan dan permasalahan terus selalu terjadi silih berganti dalam segala aspek kehidupan baik dalam pergaulan, pendidikan, ekonomi maupun sosial budaya bahkan berbagai upaya propaganda terhadap ajaran Islam masih gencar ditiupkan oleh musuh-musuh Allah untuk menghalangi tegaknya syari’ah.
Inilah bukti bahwa negeri ini menerapkan kapitalisme sekuler, yang hanya menjadikan agama mengatur urusan individu saja dan lebih mementingkan keuntungan materi demi para koorporasi. Sekularisme telah nyata berhasil memperdaya umat ini dalam menjalankan ibadah puasa, seolah umat telah menundukkan diri dalam ketaatan yang sempurna kepada Allah SWT padahal sebenarnya mereka hanya sekedar tunduk pada hawa nafsu sesaat saja. Bagaimana umat ini bisa dikatakan menghormati bulan puasa jika menjaga kemuliaannya hanya sebatas Ramadhan saja? Bukankah tujuan puasa adalah untuk mendapatkan gelar takwa? Bukankah seharusnya ketaatan kepada Allah berlaku selama hayat dikandung badan, sepanjang menjalani kehidupan di dunia fana ini?
Jika ‘buah’ dari puasa adalah takwa, tentu idealnya kaum muslim menjadi orang-orang yang taat kepada Allah SWT tidak hanya di bulan Ramadhan saja, tidak hanya dalam tataran ritual individual semata tetapi juga dalam tataran sosial dan bernegara. Dan seharusnya, juga terlihat di luar bulan ramadhan sepanjang tahun, dalam seluruh tataran kehidupan. Karena, Puasa adalah bagian dari serangkaian ketundukkan total kepada Allah SWT, bukan sesuatu yang terpisah dari rangkaian ketaatan yang lain. Memisahkan puasa dari hukum-hukum Allah SWT yang lain adalah sebuah perbuatan tercela. Layakkah kita bergembira saat Idul Fitri tiba, karena dosa akibat terabaikannya syariah Allah masih terus terjadi dan umat masih terus terjajah secara pemikiran, ideologi, politik, ekonomi dan sosial budaya?
Bulan Ramadhan adalah bulan suci yang penuh dengan ladang amal shalih dan limpahan pahala berlipat ganda dibanding bulan-bulan lainnya. Pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, setan-setan dibelenggu. Allah SWT telah mencatat hamba-hamba-Nya yang akan dibebaskan dari api neraka. Subhanallah, begitu indah dan berkahnya bulan suci ini. Namun, tidak setiap orang menyadarinya dengan segenap rasa. Dari sekian orang yang sadar, mungkin hanya sedikit yang mampu mengisinya dengan baik pula dan lebih sedikit lagi yang mampu menjaga semangat istiqamah sampai berakhirnya Ramadhan hingga berpengaruh di sebelas bulan berikutnya.
Terkadang, nuansa Ramadhan terasa begitu cepat terlupakan. Dari bulan ke bulan dan tahun ke tahun, Ramadhan selalu ditinggalkan tanpa perubahan signifikan. Begitulah, kita melihat Ramadhan sebagai syiar yang terlepaskan dari seperangkat aturan, sejarah dan memori kemuliaan yang menyertainya. Ini jelas merupakan upaya untuk membelokkan Islam agar menjadi agama yang tidak mempunyai pengaruh dalam kehidupan. Mencerabut Islam dari hukum-hukumnya, kesucian maknanya hingga rukun dan kewajiban yang terkait dengan individu, masyarakat, dan negara.
Sejatinya, kewajiban menjalankan syari’ah Allah dalam rangka menegakkan islam kaffah untuk melindungi umat, menjaga agama dan memakmurkan dunia adalah sesuatu yang pasti bukan hanya ilusi. Karena, ramadhan adalah bulan kemenangan dan pembebasan.
Ramadhan dalam kekuasaan Islam pastinya tidak akan di isi hanya dengan menahan lapar dan dahaga, membaca Al Qur’an atau sholat tarawih saja. Umat Islam di seluruh penjuru dunia dan tentara-tentara Islam yang terlatih dari berbagai bangsa, ras dan warna kulit akan bergerak bersama mengisi ramadhan dengan salah satu amalan paling mulia yaitu “Jihad fi sabilillah” untuk membebaskan negeri-negeri Islam yang masih terjajah, ramadhan akan diisi dengan keringat dan darah yang tertumpah untuk memperjuangkan agama Allah dan untuk membebaskan saudara-saudara seiman kita yang masih tertindas oleh penjajah.
Kemulian ramadhan pasti akan bisa dirasakan, hingga tiap orang mukmin akan meneteskan air mata karena Allah SWT akan senantiasa diangungkan dengan sebenar-benarnya.
Marilah kita jadikan bulan Ramadhan ini sebagai momentum bagi kita untuk kembali pada ketaatan yang sempurna bukan taat syaria’t hanya sesaat. Serta menjadikan akidah Islamiyah dan syariahnya sebagai pengokoh tali ukhuwah. Insha Allah.