Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
Opini

Media Sosial untuk Mencerdaskan

×

Media Sosial untuk Mencerdaskan

Sebarkan artikel ini
Ahmad Barjie B
AHMAD BARJIE B

Oleh : Ahmad Barjie B
Komisi Informasi dan Komunikasi MUI Kalsel

Tidur nyenyak di atas tilam
Tilamnya tipis berlapis bantal
Kita semua generasi muda Islam
Bijak dan santun bermedia sosial

Baca Koran

Banyak pasar di pinggir jalan
Terinjak batu sakit di kaki
Media sosial untuk persahabatan
Bukan memfitnah dan mencaci maki

Bertempat di Hotel Golden Tulip (sekarang Hotel Galaksi) Banjarmasin, beberapa tahun lalu digelar Forum Dialog Literasi Media bertema “Taat Agama, Bergaul Harmonis, Sopan Berkomunikasi”. Kegiatan atas kerjasama Kominfo RI, MUI Pusat dan Komisi Informasi dan Komunikasi MUI Provinsi Kalimantan Selatan ini diikuti 100 peserta dari kalangan pengurus dan anggota organisasi keagamaan, ormas Islam, mahasiswa, pemuda, pelajar dan generasi muda di bawah usia 40 tahun.

Narasumber pusat diantaranya Staf Ahli Menkominfo Bidang Komunikasi dan Media Massa Gun Gun Siswadi, unsur MUI Pusat Dr Faiz Syukron Makmun, praktisi media Muhammad Nashih Nasrullah, Sementara dari daerah Ketua Umum MUI Kalsel KH Husin Naparin Lc MA dan Ketua Dewan Pertimbangan MUI Kalsel Prof Dr H Kamrani Buseri MA.

Menurut Kominfo, literasi media sosial begini dilaksanakan secara nasional. Pemerintah merasa ada masalah terkait media sosial karena banyak yang disalahgunakan, bukan untuk hal-hal yang bermanfaat seperti pendidikan, pencerahan dan pemberdayaan masyarakat, tetapi sebaliknya seperti menyebar fitnah, ghibah dan ujaran kebencian bernuansa SARA yang dapat memecah bangsa.

Mengapa kegiatan begini lebih ditujukan kepada generasi muda di bawah 40 tahun, sebab dari 137,2 juta warganet saat ini justru didominasi kalangan muda. Merekalah yang lebih lihai dan melek teknologi informasi, sementara kalangan tua umumnya sudah terkena penyakit gatek alias gagap teknologi.

Lebih Objektif

Apabila tujuan kegiatan seperti ini untuk mendidik dan mengarahkan masyarakat agar bijak dan santun dalam bermedia sosial, tentu hal ini positif. Faiz Syukron Makmun menekankan, kemajuan iptek tak bisa dihindari dan pasti memiliki dua sisi, positif dan negatif. Di Cina anak-remaja tidak boleh atau sangat dibatasi memegang HP, karena pemerintahnya menganggap belum waktunya, sementara di Indonesia semua bebas. Kita harus berusaha agar kemajuan iptek itu benar-benar digunakan secara positif.

Baca Juga :  Jangan Takut Masa Depan

Agama Islam, menurut KH Husin Naparin, yang bersumber Alquran dan hadits melarang fitnah, gibah, namimah, adu domba dan sebagainya. Segala sesuatu yang kita dengar dan baca melalui media sosial khususnya, harus dilakukan tabayyun, klarifikasi lebih dahulu benar tidaknya dan layak tidaknya disebarkan. Gun Gun Siswadi dari Kominfo menyarankan, sebelum kita melakukan sharing (penyebaran) informasi, hendaknya melakukan saring, menyaring dan menilai benar tidaknya, dan objektif tidaknya sesuai dengan kejadian yang sesungguhnya. Hal ini penting kalau tersebarkan sesuatu yang tidak benar dan tidak tepat, sehingga terkena sanksi yang tidak diinginkan.

Meskipun hoax itu seolah persoalan baru, tetapi sesungguhnya sudah ada sejak zaman dahulu. Suatu ketika Rasulullah saw dan rombongan bepergian ke luar kota Madinah, ikut serta istri beliau Siti Aisyah. Di tengah jalan rombongan singgah sebentar untuk istirahat, dan Aisyah menyempatkan buang air tanpa memberi tahu kepala rombongan, versi lain anting-anting beliau tercecer, lalu turun sendiri untuk mencari. Ternyata Aisyah ditinggalkan kereta yang membawanya, sehingga terpaksa berjalan sendiri. Di tengah jalan pulang Aisyah bertemu seorang tentara muda yang bersedia mendampingi dan mengawalnya pulang sampai tiba ke Madinah.

Peristiwa ini segera menjadi berita hoax, karena orang munafik Madinah yang dimotori Abdullah bin Ubay menuduh Aisyah berselingkuh. Orang lain yang termakan hoax ikut pula menyebarkan berita tersebut, hanya dengan mengandalkan kabar dari mulut ke mulut, tanpa mau berpikir sehat dan mengklarifikasi kepada Aisyah. Aisyah sangat sedih, namun tak bisa membela diri karena tidak ada saksi yang dapat membenarkannya. Rasulullah menahan diri sampai turunnya ayat Alquran yang membenarkan Aisyah dan si pemuda, bahwa mereka tidak melakukan apa-apa. Peristiwa ini terkenal sebagai hadits ifiq, dan nama Aisyah menjadi bersih kembali.

Baca Juga :  Mentalitas Pemenang

Sekarang hoax disebarkan melalui media elektronik, sehingga semakin cepat dan sulit dilacak. Kamrani meminta agar ketika mengutip berita atau tulisan di media online hendaknya dikenal medianya, penulisnya, kapasitasnya, sumber datanya dan sebagainya. Jangan mengutip dari media dan sumber abal-abal dan kemudian menyebarkannya, tanpa kita ketahui persis pertanggungjawabannya.

Adil dan Seimbang

Meski terkait banyak pihak, tidak salahnya MUI ikut merespon masalah ini dengan pendekatan dan perspektif agama. MUI telah mengeluarkan fatwa larangan hal ini, tetapi fatwa MUI tidak akan efektif, karena hoax tidak berdiri sendiri.

Mengingat hoax berjalan seiring makin canggihnya teknologi informasi elektronik, dan negara-negara maju juga mengalaminya, lebih baik kita sikapi dengan kepala dingin saja. Pemerintah dan segenap pihak perlu bekerja optimal dan jujur dalam segala hal, sehingga tidak membuka ruang lahirnya hoax. Jangan sampai apa yang tersebar melalui hoax dan pemerintah membantahnya, tapi lama kelamaan menjadi kenyataan.

Apabila ingin mengenakan sanksi hukum kepada pelanggarnya, pemerintah harus benar-benar adil, seimbang, objektif dan proporsional. Tidak boleh terkesan tebang pilih karena akan menimbulkan masalah baru dan menjadi hoax baru. Trust (kepercayaan) perlu dibangun bagi semua penganut agama dan elemen bangsa.

Media massa cetak dan elektronik, terlebih yang mainstream, hendaknya menyajikan berita secara objektif, jujur, berimbang, berani, adil dan dapat dipercaya. Media tidak boleh memihak kecuali kepada kebenaran. Tidak boleh menguntungkan sepihak dan merugikan pihak lain. Masyarakat sudah cerdas, tidak bisa lagi dibohongi dengan berita pencitraan dan plintiran.

Rasa ingin tahu (curiosity) publik harus mampu dijawab oleh media secara memuaskan dan tidak ada yang ditutup atau disembunyikan. Jika publik puas dengan media yang ada, mereka tidak akan mencari media alternatif. Sebaliknya jika ada hal-hal yang ditutupi dan menjadikan penasaran, masyarakat akan mencari sumber berita lain, dan di sinilah hoax dan semacamnya bisa tumbuh subur. Wallahu A’lam.

Iklan