Oleh : Nor Hasanah, S.Ag, M.I.Kom.
Pustakawan UIN Antasari Banjarmasin
Seperti yang diketahui bersama bahwa bangsa Indonesia selalu memperingati Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas yang bertepatan dengan lahirnya Bapak Pendidikan Indonesia yaitu Ki Hajar Dewantara yaitu 2 Mei yang pada 2022 ini bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri 1443 H. Adapun tema yang diangkat dalam Hardiknas 2022 ini adalah “Pimpin Pemulihan, Bergerak untuk Merdeka Belajar”.
Merdeka belajar menjadi salah satu program inisiatif Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nadiem Makarim yang ingin menciptakan suasana belajar yang bahagia dan suasana yang happy. Tujuan merdeka belajar adalah agar para guru, peserta didik, serta orang tua bisa mendapat suasana yang bahagia. Merdeka belajar itu bahwa proses pendidikan harus menciptakan suasana-suasana yang membahagiakan. Bahagia buat siapa? Bahagia buat guru, bahagia buat peserta didik, bahagia buat orang tua, dan bahagia untuk semua orang.
Kata “merdeka” pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring mempunyai tiga arti, yakni : (1) Bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya), berdiri sendiri; (2) Tidak terkena atau lepas dari tuntutan; (3) Tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu, leluasa (Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, 2016). Sedangkan belajar, menurut Sanjaya (2010) adalah proses mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga menyebabkan munculnya perubahan perilaku. Aktivitas mental itu terjadi karena adanya interaksi individu dengan lingkungannya yang disadari. Selanjutnya Trianto (2010) secara umum mengemukakan bahwa belajar sebagai perubahan pada individu yang terjadi melalui pengalaman dan bukan karena pertumbuhan atau perkembangan tubuhnya atau karakteristik seseorang sejak lahir. Djamarah dan Zain (2010) mengemukakan bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku, baik yang menyangkut pengetahuan, keterampilan maupun sikap berkat pengalaman dan latihan.
Merdeka belajar bermakna memberikan kesempatan belajar secara bebas dan nyaman kepada siswa untuk belajar dengan tenang, santai dan gembira tanpa stres dan tekanan dengan memperhatikan bakat alami yang mereka punyai, tanpa memaksa mereka mempelajari atau menguasai suatu bidang pengetahuan di luar hobi dan kemampuan mereka. Dengan demikian masing-masing mereka tumbuh dan berkembang sesuai potensi dan kemampuannya. Memberi beban kepada anak di luar kemampuannya adalah tindakan yang tercela yang secara esensi berlawanan dengan semangat merdeka belajar. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh guru yang bijak. Ini tak ubahnya seperti siswa tuna netra lalu guru memintanya menceritakan keindahan pemandangan kepada teman-temannya. Bila kemerdekaan belajar terpenuhi maka akan tercipta “pembelajaran yang merdeka” dan sekolahnya disebut sekolah yang merdeka atau sekolah yang membebaskan (Herbert, 2019). Perasaan nyaman ini harus diciptakan oleh seluruh komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan, baik di sekolah, rumah, maupun masyarakat.
Dalam pandangan HAMKA (Setiawan, 2016), kata “merdeka” mempunyai tiga dimensi : (1) Merdeka kemauan bermakna berani menyuruh, menyarankan menganjurkan dan menciptakan perkara yang baik dan diterima baik oleh masyarakat; (2) Merdeka pikiran, atau bebas menyatakan pikiran, yaitu melarang, menahan, mengkritik, mengaposisi yang mungkar; (3) Kemerdekaan jiwa, bebas dari ketakutan. Dalam konteks merdeka belajar, pandangan Hamka ini memberikan makna bahwa dalam belajar harus dilakukan dengan membangun kemauan dan semangat, mewujudkan kebebasan untuk menyatakan pikiran, dan bebas dari segala bentuk rasa ketakutan. Itulah sebabnya Ki Hajar Dewantara menggambarkan sekolah sebagai Taman Siswa, yaitu tempat yang indah, menyenangkan, membuat orang betah berada di sana, dan jauh dari ketakutan. Dengan demikian konsep merdeka belajar ini sudah digagas sejak lama oleh Bapak Pendidikan kita.
Dalam hal apa merdeka belajar ini diberikan kepada siswa? Ki Hajar Dewantara menekankan berulang kali tentang kemerdekaan belajar, “…kemerdekaan hendaknya dikenakan terhadap caranya anak-anak berpikir, yaitu jangan selalu “dipelopori”, atau disuruh mengakui buah pikiran orang lain, akan tetap biasakanlah anak-anak mencari sendiri segala pengetahuan dengan menggunakan pikirannya sendiri. Anak pada dasarnya mampu berpikir untuk “menemukan” suatu pengetahuan.” Merdeka belajar memberikan kebebasan dalam proses untuk mencapai tujuan namun dengan tetap melaksanakan semua aturan dan prosedur yang ada.
Anak yang belajar dalam kondisi menyenangkan diyakini memberikan dampak positif dalam berbagai aspek. Kondisi yang menyenangkan akan memicu timbulnya perasaan menyenangkan dalam diri anak. Perasaan senang secara psikologis menjadi landasan penting dalam membangun kecintaan pada belajar dan mewujudkan ketahanan belajar. Anak akan cenderung mau mempelajari semua materi yang ada dan mampu belajar dalam jangka waktu yang relatif lebih lama. Anak tidak merasa cepat bosan dan tidak mudah berputus asa ketika menghadapi materi yang menantang. Ide-ide akan mengalir deras sehingga memuncul kreativitas.
Disinilah perlu peran penting bagi para guru, orang tua, atau para pelaku pendidikan dalam mewujudkan merdeka belajar. Mereka berfungsi sebagai fasilitator yang harus menciptakan kondisi menyenangkan bagi belajar siswa. Hal ini dilakukan melalui pendekatan personal, penggunaan metode, dan media pembelajaran yang dapat mewujudkan kegiatan belajar menyenangkan dan terbebas dari perasan tertekan.
Proses belajar yang dijalani dengan cara menyenangkan memungkinkan siswa mampu mengingat materi lebih banyak dan lebih lama dengan tingkat retensinya lebih kuat, sehingga pada gilirannya menghasilkan generasi kreativitas yang merupakan elemen penting bagi kemajuan sebuah bangsa.