Oleh : Mariyam Sundari
Pemerhati Sosial dan Peradaban
Untuk memastikan lagi bahwa pemerintah akan menghapus tenaga honorer mulai 28 November 2023 mendatang. Padahal, pada bulan Juni 2021 saat ini, kini masih terdapat sisa honorer sebanyak 40.110 orang. Dan 123.502 orang diantaranya adalah tenaga pendidik.
Kebijakan pemerintah ini hanya berfokus untuk menyelesaikan masalah penumpukan jumlah guru honorer, supaya tidak memberatkan tanggungan dalam bidang keuangan pemerintah pusat. Padahal, bila dipraktikkan kebijakan ini akan berdampak pada ratusan ribu tenaga kerja kehilangan pekerjaan, dan juga dapat menimbulkan masalah sosial ekonomi, bahkan berdampak pada proses belajar mengajar di sekolah.
Guru honorer dan juga masyarakat, sangat berharap pemerintah jangan sampai lepas tangan terhadap sekolah dan guru, demi kebutuhan kesejahteraan para guru khususnya guru honorer. Juga dapat memberikan perhatian sangat lebih terhadap nilai sektor pendidikan, bagi pembangunan sumber daya manusia.
Karena, untuk menjadi seorang guru pendidik bukanlah hal yang mudah. Peran mereka mampu mengubah kehidupan anak didik menjadi lebih baik dan berkarakter mulia. Oleh sebab itu, harus diketahui bagaimana peran strategis seorang guru.
Peran Strategis Guru
Peran strategis untuk menjadi seorang guru, bukan hanya mampu menguasai ilmu yang akan diajarkan. Juga mereka harus menguasai ilmu adab sebagai pendidik, sehingga dapat melahirkan anak didik yang berkarakter (berkepribadian) mulia.
Imam Al-Ghazali rahimahullah, pernah mengutarakan beberapa syarat menjadi seorang guru, yaitu dalam menyampaikan sebuah ilmu ialah dengan cara yang penuh kasih sayang juga lemah lembut, tidak berharap upah atau pamrih, tidak mengharapkan pujian, dan ucapan terimakasih atas jasanya, senantiasa bersikap jujur dan dapat dipercaya bagi anak didiknya, membimbing dengan penuh kasih sayang, tidak dengan kemarahan, luhur budi pekerti, toleransi, serta tidak merendahkan ilmu lain di luar spesialisasinya, dan juga memperhatikan perbedaan individu.
Guru biasanya identik dengan sebuah ungkapan pahlawan tanpa tanda jasa, karena kenyataannya memang gurulah yang banyak memberikan jasa dalam hidup manusia. Sebab jasa gurulah yang mampu mengajari anak didiknya dari mulai sejak taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, yang mengajarkan suatu ilmu hingga anak didik menjadi paham akan suatu ilmu yang sebelumnya tidak diketahuinya, dan mengamalkan setiap ilmu yang telah dia pelajari dan dia pahami.
Karena jasa guru, banyak manusia menjadi berilmu, beramal baik, mulia bahkan terhormat. Oleh sebab, itu Islam sangat memuliakan seorang guru. Karena guru adalah sebuah profesi seseorang yang dikaruniai ilmu oleh Allah SWT, yang menuntun manusia untuk menuju kebaikan baik dunia sampai akhirat.
Selain menyampaikan ilmu guru juga berusaha mendidik muridnya, supaya menjadi manusia yang punya adab atau akhlaq atau budi pekerti yang luhur. Seseorang yang memilih berprofesi menjadi guru bukanlah sesuatu hal yang main-main, artinya sekali dia memilih untuk menjadi guru maka ia harus bertanggung jawab atas pendidikan yang diajarkan kepada muridnya dengan baik dan benar.
Karena, mengingat apapun yang sudah diajarkan kepada orang lain itu kelak akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah SWT. Jadi, seorang guru harus profesional terlebih dahulu hingga ia akan menjadikan manusia lain yang profesional pula.
Profesionalisme seorang guru kini sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Pada pasal 1 ayat 1 yang berbunyi pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, pendidikan menengah.
Oleh sebab itu, guru harus lebih membutuhkan keahlian, keilmuan, penuh jiwa, telaten dengan kualifikasi sesuai dengan apa yang sudah dikuasainya dalam berprofesi.
Di sisi lain terkadang penghormatan terhadap guru itu tidak sepadan dengan amal dan jerih payah yang mereka lakukan. Faktanya, seharusnya mereka menempati posisi yang terhormat atas profesinya yang mulia, sejauh ini masih belum mendapatkan perlakuan yang dianggap layak. Di lapangan sering kali terjadi mereka didekte, tak jarang juga sering dikriminalisasi.
Dari sini ada kesenjangan sikap dari seorang guru yang luar biasa yang ditujukan buat mereka, ketika guru yang sering dianggap salah dan bermasalah, urusannya langsung dibawa ke pengadilan. Namun, ketika mereka berhasil mendidik anak-anak, penghormatan kepada mereka kini kurang diberikan. Yang ada kebanyakan hanya pengabdian mereka sebagai pendidikan mudah sekali untuk dilupakan.
Penghormatan Terhadap Guru
Dikutip dalam kitab “Madza Qaddama al-Muslimuna li al-‘Alam (2009: 1/244) oleh Raghib As-Sirjani yang menyebutkan beberapa contoh penghormatan terhadap guru itu. Terkait kebijakan negara kepada guru dari keterangan Abdullah bin Mubarak ia mengungkapkan belum pernah menjumpai guru, ahli Al-Qur’an, orang-orang yang berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan dan menjaga diri dari larangan Allah sejak masa Rasulullah hingga sekarang melebihi apa yang ada di zaman Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Pada masa pemerintahannya, anak usia 8 tahun sudah hafal Al-Qur’an, ada anak usia 11 tahun menguasai fiqih juga termasuk ilmu-ilmu lain, dalam riwayat hadits, berdialog dengan guru sudah menjadi sesuatu yang lumrah dan biasa. Karena, tidak lain ada kepedulian Khalifah Harun terhadap ilmu, guru serta murid sejak usia dini.
Untuk mencapai keunggulan tersebut, tidak sedikit dana yang memang harus dikeluarkan olehnya. Marwah seorang guru dimata beliau sangat dimuliakan dan diagungkan dengan diperlakukan secara baik, rasa hormat dan memberikan martabat tinggi.
Selanjutnya masih dalam kutipan buku yang sama (1/245), perhatian daulah terhadap guru juga diwujudkan dalam bentuk mencukupi kebutuhan anak-anak para guru. Kebutuhan pokok dan biaya sekolah mereka ditanggung oleh negara, sehingga membuat hidup mereka menjadi lebih nyaman.
Tunjangan Guru Masa Daulah
Pertama, pada masa kepemimpinan Umar Ibn Khattab ra, beliau memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pendidikan. Pada masanya, ia sangat antusias dalam meningkatkan mutu pendidikan bagi para generasi muslim.
Salah satu langkah kebijakan yang diambil oleh Khalifah Umar ialah menetapkan gaji bagi setiap pengajar sebanyak 15 dinar setiap bulan. Ini merupakan angka nominal yang luar biasa diberikan. Jumlah uang yang tidak sedikit, artinya jika 1 dinar saja setara dengan Rp2.258.000, jadi kalau dikalikan 15 maka gaji guru mencapai Rp33.870.000.
Jika dibandingkan dengan gaji guru di negeri kita ini yang berada pada kisaran 2 juta. Kalau dinyatakan dalam dinar, gaji guru sekarang hanyalah berkisar 1 dinar saja. Ini artinya sama saja menyatakan bahwa gaji guru sekarang hanya 1/15 dari gaji guru pada masa kepemimpinan Umar.
Dengan catatan, dinar merupakan uang yang terbuat dari bahan logam mulia emas. Satu dinar itu setara dengan 4,25 gram emas. Mata uang mempunyai nilai yang terbuat dari emas, sejarah mengungkap mata uang emas ini tahan banting terhadap inflasi.
Kedua, pada masa Daulah Abbasiyah, tunjangan kepada guru begitu tinggi seperti yang pernah diterima oleh Zujaj pada masa Abbasiyah. Setiap bulan beliau mendapat gaji 200 dinar. Sementara Ibnu Duraid digaji 50 dinar perbulan oleh al-Muqtadir. (1/231).
Ketiga, yang tak kalah menarik dan cukup fantastik, terjadi pada masa Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi Rahimahullah, menjadi seorang guru sangat dihormati dan dimuliakan. Misalnya, seperti tunjangan dan penghargaan yang diberikan kepada Syaikh Najmuddin Al-Khabusyani Rahimahullah, yang pada saat menjadi guru di Madrasah al-Shalahiyyah, setiap bulannya beliau digaji sebesar 40 dinar dan 10 dinar atau jika dirupiahkan setara dengan (Rp110.000.000) untuk mengawasi wakaf Madrasah.
Di samping itu juga mendapat 60 liter roti setiap harinya. Juga mendapat air minum segar dari Sungai Nil.
Kesimpulan
Guru, baik itu guru honorer maupun guru ASN tidak ada bedanya dihadapan Allah SWT. Semua harus bisa mendapatkan penghormatan dan kemuliaan. Walaupun saat ini guru honorer seperti halnya dianaktirikan oleh negara, seolah mereka lebih banyak bekerja, namun mendapat upah yang tidak seberapa.
Di balik upah yang belum tentu mencukupi itu ada banyak hikmah pahala yang mereka dapatkan, selain pahala kemuliaan jadi seorang guru, juga mereka mendapat pahala karena menafkahi keluarga termasuk orang tua. Walaupun bersusah payah guru tetap berkarya demi masa depan anak bangsa. Jadi, butuh pertimbangan untuk menghapuskannya. Penghormatan dan kemuliaan yang diberikan kepada guru secara sempurna hanya ada dalam Islam. Wallahu a’lam.